SUMENEP – Dekan Fakultas Pertanian Universitas Wiraraja (Unija) Sumenep Ribut Santosa berpendapat, tak masalah sarjana pertanian tidak menjadi petani. Menurutnya, keengganan kaum terpelajar bergelut di sektor pertanian karena tidak jelasnya regulasi yang dibuat pemerintah.
”Sebagai contoh, ada program pertanian organik. Pemerintah menganjurkan para petani menggunakan bahan organik. Tetapi, pemerintah tidak menjamin akan membeli produk pertanian organik. Padahal kuantitas produksi pertanian organik lebih rendah dari pertanian dengan bahan kimia,” jelasnya.
Ribut mengakui, tidak semua lulusan Fakultas Pertanian Unija bergelut di bidang pertanian. Dia menyebut hal itu adalah wajar. Dia menegaskan, sarjana pertanian tidak harus bergelut di bidang pertanian.
”Yang penting tidak mencuri, itu sudah bagus. Sarjana pertanian terjun di bidang pertanian itu harapan agar pertanian kita maju. Tapi persoalannya, per individu itu kan tidak sama,” tegas pria asal Bondowoso itu.
Menurut Ribut, ada beberapa permasalahan. Di antaranya, bertani membutuhkan modal besar. Artinya, bagi petani pemula, membutuhkan modal untuk mempersiapkan peralatan dan lahan pertanian.
Kemudian, lanjut dia, untuk membentuk pertanian modern yang memiliki manajemen baik, dibutuhkan relasi dan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. ”Sekarang petani baru tidak punya modal. Petani yang sudah lama kurang memadai. Jadi serbasulit,” ungkap Ribut.
Permasalahan lain datang dari pembangunan daerah. Ribut mengungkapkan, pembangunan daerah yang selama ini terjadi banyak bersinggungan dengan para petani, terutama soal lahan. ”Lihat saja, sampai sekarang banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi bangunan,” kata dia.
Dalam hal ini, universitas sebagai tempat para petani terpelajar sulit memberikan sumbangsih. Sebab, kata Ribut, pembangunan suatu daerah akan berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian. Sehingga sumbangsih yang bisa diberikan hanya pada inovasi.
Di antaranya, inovasi peningkatan produksi dengan lahan seminimal mungkin dan inovasi peningkatan nilai hasil pertanian. ”Kita tidak mungkin dan jangan sampai menghentikan pembangunan daerah. Apa pun itu, pembangunan penting,” ucapnya.
Sayangnya, inovasi dari universitas sering kali kurang berhasil. Hal tersebut biasanya disebabkan sulitnya mengubah perspektif petani. Selama ini, petani masih menggunakan sistem pertanian turun-temurun.
”Kalau kita mau mengganti cara bertani, kita harus jadi petani dulu dan kita harus sukses. Kalau tidak, jangan harap petani mau mengikuti. Itu membutuhkan waktu dan modal yang tidak sedikit,” paparnya.
”Solusi dari permasalahan ini, pemerintah harus mengeluarkan regulasi tegas, seperti membeli produk pertanian dengan harga yang lebih tinggi,” usul Ribut.