SUMENEP, Jawa Pos Radar Madura – Pasangan suami istri (pasutri) Rifki Utoyo, 38, dan Aisyah Fiyanti, 37, menjalani program bayi tabung lewat metode Frozen Embryo Transfer (FET). Hasilnya, pasutri yang tinggal di Perumnas Giling, Jalan Sapeken Nomor 15, Desa Kebunan, Kota Sumenep, itu dikaruniai dua buah hati.
Dalam literatur, metode FET muncul kali pertama tahun 1977. Seorang ginekolog Inggris Patrick Steptoe dan ilmuwan Robert Edwards menjadi orang pertama yang menangani metode tersebut.
Aisyah Fiyanti menuturkan, cara tersebut dipilih setelah dirinya menempuh berbagai cara agar dikarunia buah hati. Mulai dari minum jamu, obat, hingga inseminasi. ”Seperti sudah masuk ke fase putus asa waktu itu, karena segala cara kami lakukan,” katanya kemarin (22/11).
Dia mengatakan, segala cara dan upaya yang dilakukan tak membuahkan hasil. Terlebih, berdasarkan hasil pemeriksaan medis, Aisyah mengalami polycystic ovaries (PCO) atau biasa dikenal kista ovarium (ovarian cysts).
”Jadi, sel telur saya itu kecil, tidak bisa dibuahi. Kalau suami saya normal,” katanya.
Menurut Aisyah, dirinya dan suami saat itu jadi bahan pembicaraan tetangga di sekitarnya. Sebab, sudah 7 tahun pasca pernikahan belum juga ada tanda-tanda akan dikaruniai keturunan.
”Sejak itu, kami berdua bersepakat untuk mencoba metode bayi tabung. Tentu, atas pertimbangan matang keluarga besar juga. Apalagi, fatwa MUI mengatakan metode itu mubah,” terangnya.
Meski biayanya tidak sedikit, metode yang ditempuh salah satu pasutri di Kota Keris ini tak sia-sia. Penantian panjangnya terbayar dengan kehadiran Ahmad Rifansyah, atau biasa dipanggil Evan. Bayi laki-laki yang lahir dari proses in vitro fertilization (IVF) terjadi pada 2016 silam, tepatnya 5 November 2016.
Sementara itu, dr. Benediktus Arifin, MPH., Sp.OG(K) selaku dokter Spesialis Obgyn Morula IVF Surabaya yang menangani proses FET Rifki Utoyo dan Aisyah Fiyanti mengatakan, embrio yang diambil dari kedua pasangan itu kurang lebih ada enam yang bisa dibekukan. Dua di antaranya sudah berhasil ditanam di rahim Aisyah, sisanya masih dibekukan di laboratorium.
Dia mengatakan, embrio tersebut diproses melalui metode kriopreservasi dan vitrifikasi dibekukan dan disimpan. Kemudian, diencerkan ketika rahim ibu sudah siap menerima kehamilan. ”Diencerkan lagi dan ditransfer ke rahim ibu pada saat yang tepat,” katanya.
Benediktus Arifin menegaskan, metode FET tidak berbahaya. Bahkan, cara tersebut juga bisa mengurangi risiko sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS). Menurut dia, pembekuan dilakukan pada hari yang sama ketika embrio didapatkan.
Perihal proses kehamilan, dia mengatakan tidak jauh berbeda dengan masa kehamilan secara normal, yakni sembilan bulan. ”Istilah dan mekanismenya saja yang berbeda. Kalau proses kehamilannya sama seperti pada umumnya,” katanya.
Menurut dia, FET yang dilakukan Aisyah dan Rifki berjalan dengan lancar. Bahkan, embrio yang dibekukan sejak 2015 bertahan baik, dan berhasil diproses kembali. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran anak kedua berjenis kelamin perempuan.
”Kedua anak tersebut dikatakan kembar karena lahir dari pembekuan embrio yang sama. Yakni 2015, tapi diproses pada tahun yang berbeda,” pungkasnya. (c3)