23.9 C
Madura
Sunday, April 2, 2023

Menulis Bikin Awet Muda

SUMENEP – Anda termasuk pribadi pelupa? Coba tiru dosen STKIP PGRI Sumenep Suhartatik ini. Dia memiliki cara tersendiri untuk mengatasi amnesia. Yakni, membiasakan diri mencatat setiap hal yang dialami. Selain mudah mengingat, kebiasaan itu juga melahirkan banyak karya tulis.

”Satu catatan lebih baik dari seribu ingatan”.  Moto hidup itu melekat sekali dalam diri Suhartatik. Alasannya sederhana, agar bisa mengingatkan kembali hal yang pernah dialami. Sebab, hanya dengan ditulis pengalaman itu tetap abadi.

Kebiasaan mencatat dilakukan sejak usia belasan tahun. Saat itu dia duduk di bangku SMAN 1 Bluto. Kebiasaan itu tetap dilakukan hingga saat ini.

Catatan itu meliputi materi pembelajaran hingga pengalaman masa remaja. Terutama yang mengesankan. Semua itu dia ramu menjadi berbagai jenis tulisan. Berkat kebiasaan itulah perempuan 39 tahun itu berhasil menelurkan banyak karya tulis.

Karya perempuan asal Kecamatan Saronggi itu sudah berhasil bersaing dalam kancah nasional. Banyak dimuat di berbagai media massa dengan nama pena Tika Suhartatik. Misalnya artikelnya Telisik Kearifan Lokal Sumenep dimuat dalam bunga rampai pada 2020.

Tika aktif dalam kegiatan penelitian, forum ilmiah, dan lokakarya. Tulisannya juga dimuat dalam jurnal nasional hingga internasional. Karya sastranya tidak kalah bernas. Salah satu puisinya dimuat dalam antologi puisi berbahasa Madura berjudul Nemor Kara. Buku hasil lomba antar pelajar dan mahasiswa ini diterbitkan Balai Bahasa Jawa Timur 2006. Selain itu, puisi berbahasa daerah juga masuk dalam antolongi dwibahasa Jhimat.

Baca Juga :  Polres Sumenep Sterilkan Area CFD JPRM, Ini Imbauan dari Kasatlantas

Saat menempuh pendidikan tinggi di STKIP PGRI, dia semakin mantap menjadi penulis. Kebiasaan mencatat semakin terasah. Inspirasi menekuni belajar karya tulis saat memantapkan niat bergabung dengan lembaga pers mahasiswa (LPM). Di unit kegiatan mahasiswa (UKM) ini dia bertemu sahabat yang mendukung dirinya untuk giat belajar literasi.

Kini profesinya sebagai dosen juga dituntut untuk banyak melahirkan karya ilmiah. Namun, kata dia, karya tulis seperti artikel dan jurnal cenderung menggunakan kata baku. Namun, kemampuan meramu untaian sastra itu tidak sirna.

Karena itu, Tika di tengah kesibukan mengajar aktif dalam komunits-komunitas menulis sastra di Sumenep. Diakui, perbedaan sastra dengan karya ilmiah sangat berbeda. Bahkan, efek yang dia rasakan juga tidak sama.

Penulis yang karyanya dimuat dalam buku Lelaki yang Membanting Matanya itu mendapatkan kepuasan tersendiri dalam sastra. Ada kedamaian dalam sastra yang menjadikan manusia lebih beradab. Sastra mengajarkan tentang nurani, yang tidak sekadar membaca teks. Tapi meluas secara kontekstual yang dikemas dalam diksi bebas terbatas.

Baca Juga :  JKN – KIS Hindarkan Keluarga Kami dari Utang Biaya Pengobatan

Alhasil, antologi puisinya Seteguk Kopi Emak masuk dalam nominasi 25 besar Hari Puisi Nasional 2020. ”Betapa sastra itu mengajarkan kita untuk menjadi orang beradab dan lebih berperasaan. Persoalan yang dikemas dengan sastra akan terasa lebih santun,” jelas perempuan kelahiran Sumenep, 14 Oktober 1982 itu.

Aktivis berbagai organisasi itu berharap anak muda juga lebih kreatif dan produktif. Menurut lulusan SMPN 1 Saronggi 1998 itu, zaman boleh semakin berkembang dengan percepatan digial. Namun, dunia literasi tetap sama dan tidak diubah oleh zaman.

Perkembangan zaman tidak akan menutup ruang kreativitas untuk menghasilkan karya. Mungkin saja, kata dia, hanya fasilitas yang berubah. Namun, menulis dengan cara lama tetap perlu dilakukan. Sebab, ada manfaat tersendiri yang secara psikis akan memberikan kepuasan. 

Sampai sekarang Tika tetap memiliki kebiasaan mencatat dengan tulisan tangan. Sebab, ada manfaat untuk kesehatan secara fisik. Sekalipun akhirnya disalin ke komputer.

”Ada penelitian, ketika menulis ada hormon yang beraksi dengan efek menjadikan awet muda. Sampai sekarang saya tetap menulis dengan kertas sebelum dimasukkan dalam komputer,” jelas pengurus Rumah Literasi Sumenep (Rulis) itu. (jun/luq)

SUMENEP – Anda termasuk pribadi pelupa? Coba tiru dosen STKIP PGRI Sumenep Suhartatik ini. Dia memiliki cara tersendiri untuk mengatasi amnesia. Yakni, membiasakan diri mencatat setiap hal yang dialami. Selain mudah mengingat, kebiasaan itu juga melahirkan banyak karya tulis.

”Satu catatan lebih baik dari seribu ingatan”.  Moto hidup itu melekat sekali dalam diri Suhartatik. Alasannya sederhana, agar bisa mengingatkan kembali hal yang pernah dialami. Sebab, hanya dengan ditulis pengalaman itu tetap abadi.

Kebiasaan mencatat dilakukan sejak usia belasan tahun. Saat itu dia duduk di bangku SMAN 1 Bluto. Kebiasaan itu tetap dilakukan hingga saat ini.


Catatan itu meliputi materi pembelajaran hingga pengalaman masa remaja. Terutama yang mengesankan. Semua itu dia ramu menjadi berbagai jenis tulisan. Berkat kebiasaan itulah perempuan 39 tahun itu berhasil menelurkan banyak karya tulis.

Karya perempuan asal Kecamatan Saronggi itu sudah berhasil bersaing dalam kancah nasional. Banyak dimuat di berbagai media massa dengan nama pena Tika Suhartatik. Misalnya artikelnya Telisik Kearifan Lokal Sumenep dimuat dalam bunga rampai pada 2020.

Tika aktif dalam kegiatan penelitian, forum ilmiah, dan lokakarya. Tulisannya juga dimuat dalam jurnal nasional hingga internasional. Karya sastranya tidak kalah bernas. Salah satu puisinya dimuat dalam antologi puisi berbahasa Madura berjudul Nemor Kara. Buku hasil lomba antar pelajar dan mahasiswa ini diterbitkan Balai Bahasa Jawa Timur 2006. Selain itu, puisi berbahasa daerah juga masuk dalam antolongi dwibahasa Jhimat.

Baca Juga :  26 Hewan untuk Dua Kecamatan

Saat menempuh pendidikan tinggi di STKIP PGRI, dia semakin mantap menjadi penulis. Kebiasaan mencatat semakin terasah. Inspirasi menekuni belajar karya tulis saat memantapkan niat bergabung dengan lembaga pers mahasiswa (LPM). Di unit kegiatan mahasiswa (UKM) ini dia bertemu sahabat yang mendukung dirinya untuk giat belajar literasi.

- Advertisement -

Kini profesinya sebagai dosen juga dituntut untuk banyak melahirkan karya ilmiah. Namun, kata dia, karya tulis seperti artikel dan jurnal cenderung menggunakan kata baku. Namun, kemampuan meramu untaian sastra itu tidak sirna.

Karena itu, Tika di tengah kesibukan mengajar aktif dalam komunits-komunitas menulis sastra di Sumenep. Diakui, perbedaan sastra dengan karya ilmiah sangat berbeda. Bahkan, efek yang dia rasakan juga tidak sama.

Penulis yang karyanya dimuat dalam buku Lelaki yang Membanting Matanya itu mendapatkan kepuasan tersendiri dalam sastra. Ada kedamaian dalam sastra yang menjadikan manusia lebih beradab. Sastra mengajarkan tentang nurani, yang tidak sekadar membaca teks. Tapi meluas secara kontekstual yang dikemas dalam diksi bebas terbatas.

Baca Juga :  Putri Guru Ngaji Penyuka Seni

Alhasil, antologi puisinya Seteguk Kopi Emak masuk dalam nominasi 25 besar Hari Puisi Nasional 2020. ”Betapa sastra itu mengajarkan kita untuk menjadi orang beradab dan lebih berperasaan. Persoalan yang dikemas dengan sastra akan terasa lebih santun,” jelas perempuan kelahiran Sumenep, 14 Oktober 1982 itu.

Aktivis berbagai organisasi itu berharap anak muda juga lebih kreatif dan produktif. Menurut lulusan SMPN 1 Saronggi 1998 itu, zaman boleh semakin berkembang dengan percepatan digial. Namun, dunia literasi tetap sama dan tidak diubah oleh zaman.

Perkembangan zaman tidak akan menutup ruang kreativitas untuk menghasilkan karya. Mungkin saja, kata dia, hanya fasilitas yang berubah. Namun, menulis dengan cara lama tetap perlu dilakukan. Sebab, ada manfaat tersendiri yang secara psikis akan memberikan kepuasan. 

Sampai sekarang Tika tetap memiliki kebiasaan mencatat dengan tulisan tangan. Sebab, ada manfaat untuk kesehatan secara fisik. Sekalipun akhirnya disalin ke komputer.

”Ada penelitian, ketika menulis ada hormon yang beraksi dengan efek menjadikan awet muda. Sampai sekarang saya tetap menulis dengan kertas sebelum dimasukkan dalam komputer,” jelas pengurus Rumah Literasi Sumenep (Rulis) itu. (jun/luq)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/