SUMENEP, Jawa Pos Radar Madura – Tidak ingin bantuan sosial (bansos) program keluarga harapan (PKH) salah sasaran, pendamping terus melakukan graduasi. Tercatat, untuk Mei–Juni, ada sekitar 200 keluarga penerima manfaat (KPM) yang dinyatakan tidak layak.
Koordinator Kabupaten PKH Sumenep Baihaqi menegaskan, setiap bulan pendamping di lapangan melakukan pendataan kepada KPM yang dinilai tidak memenuhi unsur untuk menerima PKH. Hasilnya, masih ada yang demikian. Namun, pihaknya belum bisa merekap secara keseluruhan. Terutama, untuk Mei dan Juni.
”Kalau dari Januari hingga April sudah ada, yakni 567 KPM yang dicoret sebagai penerima PKH,” ungkapnya kemarin (1/8).
Mengapa untuk Mei dan Juni belum direkap? Menurut Baihaqi, pihaknya belum bisa melakukan input data ke e-PKH. Sementara, aplikasi e-PKH masih trouble. ”Sehingga belum dikatakan valid karena belum dimasukkan ke aplikasi e-PKH,” ujarnya.
Dia menyampaikan, penerima yang sudah digraduasi tetap 567 KPM, baik graduasi karena alamiah maupun mandiri sejahtera. ”Untuk 200 KPM lebih itu nantinya menyusul graduasi berikutnya,” terangnya.
Graduasi alamiah itu terjadi karena KPM PKH dianggap sudah tidak memenuhi komponen. Sedangkan komponen PKH itu terdiri atas komponen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Komponen kesehatan tersebut terdiri atas ibu hamil, balita, dan anak usia dini. Sementara komponen pendidikan meliputi jenjang SD, SMP, dan SMP. Lalu, komponen kesejahteraan sosial di dalamnya ada lansia.
”Tidak semerta-merta melakukan graduasi, tetap harus memenuhi komponen,” katanya
Sementara yang dimaksud graduasi sejahtera yaitu KPM yang secara sadar mengundurkan diri sebagai penerima PKH. Artinya, KPM menganggap bahwa dirinya sudah tidak layak menjadi penerima PKH. Atas kesadaran diri, mereka (KPM) mundur sebagai penerima.
”Bisa karena merasa sudah tidak perlu dibantu, akhirnya melakukan graduasi mandiri,” ucapnya.
Hanya, yang terjadi di lapangan, KPM itu masih enggan graduasi mandiri. Meskipun, secara sosial ekonomi, mereka sudah tidak layak menerima bansos PKH. ”Kami terus melakukan penyadaran sekaligus berkoordinasi dengan pihak pemdes setempat,” tuturnya.
Lagi pula, ketika KPM mengundurkan diri secara mandiri sebagai penerima PKH, itu akan membantu warga yang lain, terutama yang benar-benar tidak mampu. ”Nanti kan bisa dialihkan kepada penerima yang membutuhkan bansos itu,” jelasnya.
Anggota Komisi IV DPRD Sumenep Samiudin mewanti-wanti para pendamping itu serius mendata KPM. Terutama, mengenai kondisi ekonomi mereka. Ketika penerima dianggap tidak layak, dicoret saja supaya bansos tersebut disalurkan kepada yang berhak menerima.
”Karena sejatinya bantuan itu diberikan kepada yang kurang mampu, bukan untuk orang berada,” tandasnya.
Untuk diketahui, besaran bantuan PKH tiap penerima berbeda berdasar kriteria. Untuk anak usia dini (maksimal dua anak dalam satu keluarga) menerima Rp 3 juta per tahun atau Rp 750 ribu setiap kali pencairan. Anak usia sekolah SD (maksimal satu anak dalam satu keluarga) dapat Rp 900 ribu per tahun atau Rp 225 ribu setiap kali pencairan.
Untuk anak usia sekolah SMP (maksimal satu anak dalam satu keluarga) menerima PKH Rp 1,5 juta per tahun atau Rp 375 ribu setiap kali penyaluran. Anak usia sekolah SMA (maksimal satu anak dalam satu keluarga) menerima Rp 2 juta per tahun atau Rp 500 ribu setiap kali penyaluran.
Kemudian, ibu hamil (maksimal kehamilan kedua) menerima PKH Rp 3 juta per tahun atau Rp 750 ribu setiap kali penyaluran. Lansia (maksimal satu orang dalam satu keluarga) dapat PKH Rp 2,4 juta per tahun atau Rp 600 ribu setiap kali pencairan. Terakhir, penyandang disabilitas (maksimal satu orang dalam satu keluarga) menerima Rp 2,4 juta per tahun atau Rp 600 ribu setiap kali penyaluran.