23 C
Madura
Saturday, June 10, 2023

Serpihan Narasi Melayang di Atas Animal Plasticum

Animal Plasticum merupakan esai karya M. Faizi dalam buku Merusak Bumi dari Meja Makan diadaptasi menjadi pertunjukan oleh Sanggar Andalas Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk, Sumenep.

 

ISU lingkungan merupakan tema besar yang terus mengalir dari waktu ke waktu, menandai berbagai peristiwa dan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari yang terhubung secara langsung ke bumi. Sampah adalah persoalan manusia di bumi yang melanda setiap hari sebab angka kebutuhan yang tak bisa tercegah.

Animal Plasticum termasuk bagian yang membidik isu lingkungan tersebut: menimbunnya sampah plastik, tisu, sisa makanan yang terbuang, bekas masker dari hari ke hari semakin menjulang, menggelapkan pandangan, bau yang mengunci lubang hidung, aroma tidak sedap menyerap ke dalam tubuh, menyatu dalam gelembung udara, dihirup seperti oksigen, mengalir ke darah, menggumpal di daging, bergerak di antara aktivitas hidup sehari-hari.

Dalam agenda pentas produksi Sanggar Andalas di halaman Masjid Jamik Annuqayah Daerah Lubangsa, Guluk-Guluk, Sumenep, 30 September 2021 berjudul Animal Plasticum. Aktor Junaidi, Mufid, Adryal Haq, Abdillah, Abil Qabil, dan Fahrur Rozi. Naskah tersebut berangkat dari esai M. Faizi dalam buku Merusak Bumi dari Meja Makan. Hasil dari kerja interpretasi terhadap naskah tersebut menghasilkan pengucapan bentuk adegan tentang sampah. Mereka memulainya lewat aktor dijatuhi ember plastik dan suara azan beriringan dengan bunyi yang terdengar seperti suara mesin pubrik. Lalu, muncul dua aktor yang mendekap ember dengan sampah plastik di dalamnya, mereka saling bertanya tentang sumber bunyi yang terdengar.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap diperlakukan sebagai narasi yang tidak diperankan lewat adegan, melainkan hadir sebagai teks performatif ruang yang diartikulasikan dengan cara puisi. Juga tersedia keraguan di dalamnya karena mereka terus melemparkan pertanyaan dan menerka jawabnya secara reflektif sehingga tubuh melahirkan kerja dramaturgi teks atau narasi.

Berkaitan dengan narasi, mereka aktor berusaha keluar dari jebakan teks dalam persepsi tunggal, lalu memasuki pintu teks secara terbuka terhadap kemungkinan yang lain untuk bahan pertunjukan. Namun di dalam kerja menafsir, mereka masih memperlihatkan cara memindah naskah dalam pertunjukan daripada bermain-main dengan narasinya, sebab lokus pengucapan mereka yang cenderung sama dalam mendekati isu lingkungan. Hampir setiap memasuki naskah lewat dari pintu yang sama, isu lingkungan. Belum ditemukan bentuk praktik yang mendekonstruksi naskah ke dalam pembacaan yang luas. Apalagi, memberi porsi sebagai ungkap kritik. Apa yang mereka bunyikan lewat Animal Plasticum terjebak dalam ruang linear, tidak tersampaikan ke titik yang lebih luas sebagai pelebaran isu.

Suara mesin melatari adegan sampah. Mesin sebagai literasi pubrik kapital dan budaya konsumsi hari ini. Sedangkan sampah adalah literasi yang dihasilkan dari dampak pubrik kapital tersebut. Pada gilirannya, narasi pubrik dan sampah seperti mengambil alih sutradara dan ikut menentukan peran aktor.

Bagian spesifik dalam pertunjukan ini, mereka membunyikan ruang eksternal yang berkisar di sekitar lingkungan lalu dipindah ke ruang privasi, dan bunyi terus berulang lewat visual ember plastik yang ditabuh, seolah-olah ada yang perlu dirawat di ruang privasi lalu dibocorkan ke ruang publik. Ruang privasi ini terkadang bertabrakan dengan ruang publik, bila melihat banyak pegiat lingkungan tidak relevan antara apa yang terjadi di ruang privasi dengan apa yang dibangun sebagai aktivisme ruang publik. Meskipun hal ini dapat dibantah dengan pernyataan bahwa ruang publik tidak selalu mempresentasikan ruang privasi, apalagi ketika dihadapkan dengan aktivis lingkungan yang berhasil di ruang publik, tetapi tidak di ruang privasi.

Baca Juga :  Buku Carpan Madura ”Tora” Siap Diluncurkan

Namun yang mungkin kita tengahi lewat suatu pertanyaan, bagaimana relasi antara ruang privasi dan ruang publik? Pertanyaan ini merujuk langsung terhadap konsep pengertian sampah bukan berarti apa yang dibuang ke luar, melainkan apa yang kita masukkan ke dalam saat belanja di supermarket, misalnya, kita membawa kantong plastik dan sebagainya. Berangkat dari pengertian ini, Animal Plasticum adalah gambaran dari apa (sampah) yang terus kita masukkan ke dalam.

Dalam pertunjukan Animal Plasticum, ruang privasi dan ruang publik mengalami interaksi yang sangat halus, suatu jalinan yang saling mengikat. Sebab, tema lingkungan yang diisukan sangat dekat dan dikenali oleh penontonnya. Terutama mungkin karena penonton belum menggeser posisinya dalam persepsi tunggal yang menggiring imajinasi terhadap manusia plastik; manusia yang konsumtif, sehingga pertunjukan ini melahirkan dramaturgi penonton dan dramaturgi gagasan.

Dramaturgi penonton ini merujuk pada posisi mereka yang hadir ke dalam pertunjukan tanpa punya tendensi untuk memahami bahkan mendapatkan makna. Mereka hanya menunaikan diri sebagai penonton. Sedangkan dramaturgi gagasan dapat dikembalikan terhadap sistem operasi yang bekerja pada saat menonton pertunjukan. Sebab saat membaca judul pertunjukan, apalagi deskripsi yang menjelaskan katalog otomatis akan membocorkan isu terlebih dahulu sebelum selesai menonton pertunjukan. Sebagai penonton tentu tidak seperti saat mampir di sebuah warung lalu memesan menu sesuai selera. Pada saat menonton pertunjukan, harapan dapat memahami isi dan imajinasi makna yang dibawa dari kamar masing-masing setidaknya dilepas dan digantungkan di sebuah pintu.

 

Dramaturgi Narasi

Kerja dramaturgi narasi ini berangkat dari konsentrasi aktor terhadap isu lingkungan. Mereka meletakkan teks naskah sebagai ruang terbuka dan bisa dimasuki lalu ditinggalkan begitu saja. Kemudian, ditariknya menjadi sebuah narasi yang membingkai isu secara tematik. Aktor melakukan pendekatan-pendekatan lain di luar naskah dengan mengumpulkan bahan-bahan atau data di luar naskah. Tetapi, data yang mereka gunakan seperti ditempelkan dalam suatu adegan. Kemudian data tersebut didekati berdasarkan kerja representatif dan performatif dalam bingkai sutradara. Hal ini memungkinkan menjadi semacam tawaran dramaturgi untuk melihat peluang naskah yang berangkat dari teks esai dalam aktivisme narasi lingkungan. Dalam narasi: tubuh bisa menggunakan kerja interpretasi peristiwa melalui presentasi dan representasi semiotik (lapisan tanda).

Dalam kerja penyutradaraan ini, Hariyanto mengajak aktor untuk melihat lingkungan sekitar dalam kompleks pesantren, mereka terjun langsung ke lapangan dan mencari narasumber untuk wawancara. Aktor dan sutradara bergesekan langsung dengan ruang penelitian yang ditetapkan. Kedekatan sutradara dan aktor ini tidak lagi memperlihatkan hubungan dominasi sutradara. Sebab, sutradara juga mengambil peran sebagai aktor. Mereka hadir secara bersama-sama, terutama dalam jangkauan observasi yang dilakukan di sekitar kompleks pesantren, satu sisi merupakan keterbatasan dari perpanjangan tubuh dalam menjaring peristiwa ke dalam pertunjukan. Sebab, mereka mungkin mengalami kendala yang berhubungan dengan teknis perizinan bila mengharuskan keluar pesantren untuk observasi. Namun, mereka juga menggunakan modus teknologi untuk melebarkan tubuh dalam mengakses informasi dengan mencari literasi sampah lewat Geogle kemudian dipilih sebagai pengucapan adegan satu aktor Hariyanto yang membaca teks tentang Indonesia yang diresmikan sebagai TPA (tempat pembuangan akhir) dunia yang ditetapkan pada 2019, dan lima aktor (Mufid, Adryal Haq, Abdillah, Abil Qabil, Fahrur Rozi) berderet di belakangnya.

Baca Juga :  Membaca Sangkol

Mereka bersorak setelah mendengar pemberitaan tersebut seperti sebuah perayaan. Adegan ini memperlihatkan dilema penonton (masyarakat) sebab dalam kasus TPA tidak ada pengelolaan yang jelas setelah sampah berada di tempat pembuangan akhir. Tak ada yang memilah dan memilih sebagai tindak lanjut.

Junaidi salah satu aktor Sanggar Andalas, dalam pertunjukan Animal Plasticum, menjelaskan konsep kerja keaktoran yang menggunakan naskah esai sebagai pijakan geraknya dalam mencari adegan, sehingga suara-suara aktor yang dihasilkan dari teks berita soal TPA seperti udara yang melayang-layang di atas pertunjukan. Namun, tetap terikat dalam tubuh representasi aktor untuk mendapatkan ruang barunya.

 

Pendekatan Terhadap Metode

Dalam pertunjukan Animal Plasticum lebih menggunakan semiotika sebagai metode kerjanya. Pengertian semiotika dalam konteks teater digunakan oleh Sanggar Andalas melalui tatapan Tuiren Hurstfield Performance Opposing the Aesthetic (Beauty) seperti yang ditulis dalam esainya, menyebutkan bahwa pertunjukan teater modern belakangan ini merupakan suatu bentuk dramatik yang berbasis pada pemahaman semiotik terhadap praktik konvensi tradisional. Di sana semiotik (lapisan tanda) kerap bersifat dekonstruktif sehingga sanggup dan berani menentang interpretasi orisinal sebuah teks seraya meninggalkannya dalam kondisi yang amat terbuka terhadap ragam praktik pembacaan. Pada sisi yang lain, praktik kerja ini lumrahnya menggunakan bahasa tubuh sebagai kunci deskripsi terhadap teks atau narasi.

Isu utama yang digulirkan oleh Sanggar Andalas memproduksi masalah lingkungan melalui sistem tanda. Tanda adalah sesuatu yang di baliknya ada makna, sesuatu tersebut bisa merujuk terhadap apa pun. Namun dalam Animal Plasticum terasa begitu pelit untuk memantik penonton terhadap ruang-ruang gagasan yang lebih luas dan kaya. Pertunjukan jadi terlihat linear yang bicara dirinya sendiri, adegan menjadi bising dengan tanda-tanda yang dimainkan: gerobak, sampah plastik, tutup botol, ember, sapu lidi, bekas gelas yang dimaksudkan untuk menggambarkan persoalan lingkungan yang tumpang tindih tanpa memberi jeda dan tidak menyediakan ruang reflektifnya. 

 

*)Aktor bergiat di Language Theatre Indonesia, Masyarakat Santri Pesisiran, Tabun Edu Culture Art, dan perajin batik kontemporer.

Animal Plasticum merupakan esai karya M. Faizi dalam buku Merusak Bumi dari Meja Makan diadaptasi menjadi pertunjukan oleh Sanggar Andalas Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk, Sumenep.

 

ISU lingkungan merupakan tema besar yang terus mengalir dari waktu ke waktu, menandai berbagai peristiwa dan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari yang terhubung secara langsung ke bumi. Sampah adalah persoalan manusia di bumi yang melanda setiap hari sebab angka kebutuhan yang tak bisa tercegah.


Animal Plasticum termasuk bagian yang membidik isu lingkungan tersebut: menimbunnya sampah plastik, tisu, sisa makanan yang terbuang, bekas masker dari hari ke hari semakin menjulang, menggelapkan pandangan, bau yang mengunci lubang hidung, aroma tidak sedap menyerap ke dalam tubuh, menyatu dalam gelembung udara, dihirup seperti oksigen, mengalir ke darah, menggumpal di daging, bergerak di antara aktivitas hidup sehari-hari.

Dalam agenda pentas produksi Sanggar Andalas di halaman Masjid Jamik Annuqayah Daerah Lubangsa, Guluk-Guluk, Sumenep, 30 September 2021 berjudul Animal Plasticum. Aktor Junaidi, Mufid, Adryal Haq, Abdillah, Abil Qabil, dan Fahrur Rozi. Naskah tersebut berangkat dari esai M. Faizi dalam buku Merusak Bumi dari Meja Makan. Hasil dari kerja interpretasi terhadap naskah tersebut menghasilkan pengucapan bentuk adegan tentang sampah. Mereka memulainya lewat aktor dijatuhi ember plastik dan suara azan beriringan dengan bunyi yang terdengar seperti suara mesin pubrik. Lalu, muncul dua aktor yang mendekap ember dengan sampah plastik di dalamnya, mereka saling bertanya tentang sumber bunyi yang terdengar.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap diperlakukan sebagai narasi yang tidak diperankan lewat adegan, melainkan hadir sebagai teks performatif ruang yang diartikulasikan dengan cara puisi. Juga tersedia keraguan di dalamnya karena mereka terus melemparkan pertanyaan dan menerka jawabnya secara reflektif sehingga tubuh melahirkan kerja dramaturgi teks atau narasi.

Berkaitan dengan narasi, mereka aktor berusaha keluar dari jebakan teks dalam persepsi tunggal, lalu memasuki pintu teks secara terbuka terhadap kemungkinan yang lain untuk bahan pertunjukan. Namun di dalam kerja menafsir, mereka masih memperlihatkan cara memindah naskah dalam pertunjukan daripada bermain-main dengan narasinya, sebab lokus pengucapan mereka yang cenderung sama dalam mendekati isu lingkungan. Hampir setiap memasuki naskah lewat dari pintu yang sama, isu lingkungan. Belum ditemukan bentuk praktik yang mendekonstruksi naskah ke dalam pembacaan yang luas. Apalagi, memberi porsi sebagai ungkap kritik. Apa yang mereka bunyikan lewat Animal Plasticum terjebak dalam ruang linear, tidak tersampaikan ke titik yang lebih luas sebagai pelebaran isu.

- Advertisement -

Suara mesin melatari adegan sampah. Mesin sebagai literasi pubrik kapital dan budaya konsumsi hari ini. Sedangkan sampah adalah literasi yang dihasilkan dari dampak pubrik kapital tersebut. Pada gilirannya, narasi pubrik dan sampah seperti mengambil alih sutradara dan ikut menentukan peran aktor.

Bagian spesifik dalam pertunjukan ini, mereka membunyikan ruang eksternal yang berkisar di sekitar lingkungan lalu dipindah ke ruang privasi, dan bunyi terus berulang lewat visual ember plastik yang ditabuh, seolah-olah ada yang perlu dirawat di ruang privasi lalu dibocorkan ke ruang publik. Ruang privasi ini terkadang bertabrakan dengan ruang publik, bila melihat banyak pegiat lingkungan tidak relevan antara apa yang terjadi di ruang privasi dengan apa yang dibangun sebagai aktivisme ruang publik. Meskipun hal ini dapat dibantah dengan pernyataan bahwa ruang publik tidak selalu mempresentasikan ruang privasi, apalagi ketika dihadapkan dengan aktivis lingkungan yang berhasil di ruang publik, tetapi tidak di ruang privasi.

Baca Juga :  Membaca Sangkol

Namun yang mungkin kita tengahi lewat suatu pertanyaan, bagaimana relasi antara ruang privasi dan ruang publik? Pertanyaan ini merujuk langsung terhadap konsep pengertian sampah bukan berarti apa yang dibuang ke luar, melainkan apa yang kita masukkan ke dalam saat belanja di supermarket, misalnya, kita membawa kantong plastik dan sebagainya. Berangkat dari pengertian ini, Animal Plasticum adalah gambaran dari apa (sampah) yang terus kita masukkan ke dalam.

Dalam pertunjukan Animal Plasticum, ruang privasi dan ruang publik mengalami interaksi yang sangat halus, suatu jalinan yang saling mengikat. Sebab, tema lingkungan yang diisukan sangat dekat dan dikenali oleh penontonnya. Terutama mungkin karena penonton belum menggeser posisinya dalam persepsi tunggal yang menggiring imajinasi terhadap manusia plastik; manusia yang konsumtif, sehingga pertunjukan ini melahirkan dramaturgi penonton dan dramaturgi gagasan.

Dramaturgi penonton ini merujuk pada posisi mereka yang hadir ke dalam pertunjukan tanpa punya tendensi untuk memahami bahkan mendapatkan makna. Mereka hanya menunaikan diri sebagai penonton. Sedangkan dramaturgi gagasan dapat dikembalikan terhadap sistem operasi yang bekerja pada saat menonton pertunjukan. Sebab saat membaca judul pertunjukan, apalagi deskripsi yang menjelaskan katalog otomatis akan membocorkan isu terlebih dahulu sebelum selesai menonton pertunjukan. Sebagai penonton tentu tidak seperti saat mampir di sebuah warung lalu memesan menu sesuai selera. Pada saat menonton pertunjukan, harapan dapat memahami isi dan imajinasi makna yang dibawa dari kamar masing-masing setidaknya dilepas dan digantungkan di sebuah pintu.

 

Dramaturgi Narasi

Kerja dramaturgi narasi ini berangkat dari konsentrasi aktor terhadap isu lingkungan. Mereka meletakkan teks naskah sebagai ruang terbuka dan bisa dimasuki lalu ditinggalkan begitu saja. Kemudian, ditariknya menjadi sebuah narasi yang membingkai isu secara tematik. Aktor melakukan pendekatan-pendekatan lain di luar naskah dengan mengumpulkan bahan-bahan atau data di luar naskah. Tetapi, data yang mereka gunakan seperti ditempelkan dalam suatu adegan. Kemudian data tersebut didekati berdasarkan kerja representatif dan performatif dalam bingkai sutradara. Hal ini memungkinkan menjadi semacam tawaran dramaturgi untuk melihat peluang naskah yang berangkat dari teks esai dalam aktivisme narasi lingkungan. Dalam narasi: tubuh bisa menggunakan kerja interpretasi peristiwa melalui presentasi dan representasi semiotik (lapisan tanda).

Dalam kerja penyutradaraan ini, Hariyanto mengajak aktor untuk melihat lingkungan sekitar dalam kompleks pesantren, mereka terjun langsung ke lapangan dan mencari narasumber untuk wawancara. Aktor dan sutradara bergesekan langsung dengan ruang penelitian yang ditetapkan. Kedekatan sutradara dan aktor ini tidak lagi memperlihatkan hubungan dominasi sutradara. Sebab, sutradara juga mengambil peran sebagai aktor. Mereka hadir secara bersama-sama, terutama dalam jangkauan observasi yang dilakukan di sekitar kompleks pesantren, satu sisi merupakan keterbatasan dari perpanjangan tubuh dalam menjaring peristiwa ke dalam pertunjukan. Sebab, mereka mungkin mengalami kendala yang berhubungan dengan teknis perizinan bila mengharuskan keluar pesantren untuk observasi. Namun, mereka juga menggunakan modus teknologi untuk melebarkan tubuh dalam mengakses informasi dengan mencari literasi sampah lewat Geogle kemudian dipilih sebagai pengucapan adegan satu aktor Hariyanto yang membaca teks tentang Indonesia yang diresmikan sebagai TPA (tempat pembuangan akhir) dunia yang ditetapkan pada 2019, dan lima aktor (Mufid, Adryal Haq, Abdillah, Abil Qabil, Fahrur Rozi) berderet di belakangnya.

Baca Juga :  Peserta Sayembara Puisi Ada Yang Tak Cukup Syarat

Mereka bersorak setelah mendengar pemberitaan tersebut seperti sebuah perayaan. Adegan ini memperlihatkan dilema penonton (masyarakat) sebab dalam kasus TPA tidak ada pengelolaan yang jelas setelah sampah berada di tempat pembuangan akhir. Tak ada yang memilah dan memilih sebagai tindak lanjut.

Junaidi salah satu aktor Sanggar Andalas, dalam pertunjukan Animal Plasticum, menjelaskan konsep kerja keaktoran yang menggunakan naskah esai sebagai pijakan geraknya dalam mencari adegan, sehingga suara-suara aktor yang dihasilkan dari teks berita soal TPA seperti udara yang melayang-layang di atas pertunjukan. Namun, tetap terikat dalam tubuh representasi aktor untuk mendapatkan ruang barunya.

 

Pendekatan Terhadap Metode

Dalam pertunjukan Animal Plasticum lebih menggunakan semiotika sebagai metode kerjanya. Pengertian semiotika dalam konteks teater digunakan oleh Sanggar Andalas melalui tatapan Tuiren Hurstfield Performance Opposing the Aesthetic (Beauty) seperti yang ditulis dalam esainya, menyebutkan bahwa pertunjukan teater modern belakangan ini merupakan suatu bentuk dramatik yang berbasis pada pemahaman semiotik terhadap praktik konvensi tradisional. Di sana semiotik (lapisan tanda) kerap bersifat dekonstruktif sehingga sanggup dan berani menentang interpretasi orisinal sebuah teks seraya meninggalkannya dalam kondisi yang amat terbuka terhadap ragam praktik pembacaan. Pada sisi yang lain, praktik kerja ini lumrahnya menggunakan bahasa tubuh sebagai kunci deskripsi terhadap teks atau narasi.

Isu utama yang digulirkan oleh Sanggar Andalas memproduksi masalah lingkungan melalui sistem tanda. Tanda adalah sesuatu yang di baliknya ada makna, sesuatu tersebut bisa merujuk terhadap apa pun. Namun dalam Animal Plasticum terasa begitu pelit untuk memantik penonton terhadap ruang-ruang gagasan yang lebih luas dan kaya. Pertunjukan jadi terlihat linear yang bicara dirinya sendiri, adegan menjadi bising dengan tanda-tanda yang dimainkan: gerobak, sampah plastik, tutup botol, ember, sapu lidi, bekas gelas yang dimaksudkan untuk menggambarkan persoalan lingkungan yang tumpang tindih tanpa memberi jeda dan tidak menyediakan ruang reflektifnya. 

 

*)Aktor bergiat di Language Theatre Indonesia, Masyarakat Santri Pesisiran, Tabun Edu Culture Art, dan perajin batik kontemporer.

Artikel Terkait

Pergulatan Umat Kristen Madura

Merdekakan Keuangan Sekolah

Musim Karnaval Telah Tiba

Sanja’ Agus Widiey

Most Read

Artikel Terbaru

/