21.5 C
Madura
Monday, March 27, 2023

KLOPS Reborn, 32 Tahun setelah Kelahiran (2–Habis)

Membangun Ekosistem Seni Rupa yang Saling Menguatkan

Oleh HIDAYAT RAHARJA*

TERNYATA usia memang tidak dapat dibohongi. Pertambahan usia membuat semakin jarang berkumpul. Kesibukan pribadi terus menumpuk sehingga keberadaan personal mulai berkurang dalam kegiatan kolektif. Usia yang mematangkan mereka bekerja dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial, sehingga keberadaan yang semakin jarang dalam kegiatan kolektif, namun mampu membangun jejaring dengan dunia luar.

Je Muhammad, Taufik Rahman, Tamar Saraseh, Ochez (Sumantri), Edy Supratman, Liem Pingsun, S. Gani, Farid Wajdi, nama-nama yang tidak bisa dilepas dari berdirinya KLOPS. Di antara mereka tidak diragukan lagi eksistensinya; Tamar Saraseh, Taufik Rahman, Ochez, mereka pernah mendapat penghargaan internasional. Juga karya Fendi Ompung, Zain A. Thoif, Stanbai, R. Hidayat, dan lainnya. Suatu realitas yang menandaskan bahwa KLOPS telah menjadi ruang saling berinteraksi dan membangun jejaring dengan dunia luar. Bahwa, dinamika perkembangan seni rupa dan regenerasi di Sumenep terus berlangsung. Fakhita Madury, Chantika, sebuah regenerasi yang tengah tumbuh saat ini dan mulai mewarnai perkembangan seni rupa di Jawa Timur.

Karya-karya Tamar Saraseh terasa puitis imajinatif, gambar yang banyak bercerita tentang cinta dan kemanusiaan. Gambar yang memenuhi ruang kanvas dengan warna-warna teduh sehingga menenangkan bagi penikmatnya. Karya yang mengalir dengan aneka makhluk yang saling bersapa, seperti ekosistem yang saling menjaga kebahagiaan di antara mereka. Bunga-bunga mekar, perempuan menghirup aroma dengan tenang dan bintang- bintang bertabur di cakrawala. Atau pada lukisan ”Wayang yang Mencintai sang Dalang” menggambarkan sosok wayang di tangan dalang dan bagaimana imajinasi liar saat berubah menjadi cinta kepada dalang. Sebuah simbolisme yang melambangkan cinta makhluk kepada Khaliqnya. Cinta abadi dari seluruh makhluk kepada penciptanya.

Je Mohammad terasa sekali suasana pada lukisan dan terlihat semuanya sepeti sedang bergerak. Sebuah kesibukan yang membuat mereka dalam keadaan bekerja. Tubuh yang tak diam sebuah ciri khas dengan tubuh melengkung seperti menahan beban hidup yang berat. Lebih tepatnya lukisan yang melambangkan berat beban tanggung jawab yang diembannya.

Baca Juga :  Novi Kamalia : Satu Buku, Sejuta Ilmu untuk Perpustakaan Madura

Taufik Rahman salah seorang maestro yang karya-karya banyak diapresiasi di Malaysia dan Singapura. Karya-karya hidup, cerah, dan penuh gairah. Goresannya ekspresif, namun tetap terasa kuat formalitasnya. Wujud objek terlihat jelas, semuanya seperti tidak pernah diam, bergerak. Lukisan yang menggambarkan hidup yang selalu dinamis. Elang, ayam jago, simbol kekuatan dan kemandirian sosok yang berani untuk mempertahankan hidup. Puluhan ikan koi seperti tengah berkompetisi berebut oksigen dalam air. Hidup yang harus dipertarungkan, tak boleh diam. Elan vital yang selalu memberikan ”nyawa” pada karya-karyanya.

Ochez Sumantri dengan objek lukisan-lukisan yang sangat dinamis dengan garis lengkungnya lepas seperti melepaskan objek lukisannya bergerak. Kuda yang tampak gerakan gesitnya sehingga menyisakan semburat garis memenuhi kanvas. Kuda yang lepas kendali berlari seperti gerak gelombang mencari tepian. Juga pada karya Suripto Hadi dengan garis yang ekspresif dengan warna cerah dengan tekstur kasar di permukaan bagai ”tarian” warna yang membangun harmoni dari goresan-goresan warna yang saling menopang.

Misnaya, Agus Purnomo, Wahyu NR sosok yang kuat dalam lukisan foto. Lukisan potret mereka sangat hidup seperti tengah menatap kita yang ada di hadapannya. S. Gani, Rahmatullah, Khairul Fatah bermain-main dengan objek realis dan cukup menarik bagi pengunjung pameran.

Satu-satunya pelukis kaligrafi Edy Supratman tetap istiqamah sejak 1990-an. Tekstur dan warnanya khas dengan ukuran yang cukup besar. Kaligrafi Edy Supratman dengan energinya yang tetap terjaga sehingga masih tetap dan mampu menjelajahi bidang yang luas.

Pelukis muda Chantika dan Fakhita Madury, dua sosok yang menegaskan bahwa regenerasi perupa Sumenep terus berlangsung. Lukisan-lukisan dekoratif karya Chantika dengan warna-warna cerah di kanvas dengan objek permainan anak dan dunia binatang. Sebuah proses yang terus bergerak bersamaan dengan perjalanan usia mereka. Juga pada karya Fakhita dengan warna-warna cerah yang saling melapis di antara kompleksitas kehidupan yang gaduh, yang menari, bersimpuh, tersungkur dan semua men-”Jalani Hidup” – (sebagaimana judul lukisannya) tanpa beban. Hidup yang cuek dan bahagia. Jiwa muda perempuan yang menolak untuk takluk.

Baca Juga :  Seniman Prancis Pentas di Labang Mesem Sumenep

Perkembangan seni rupa di Sumenep sangat menarik, bahkan belakangan ini banyak bermunculan ruang ekshibisi, aula perkantoran, Gedung Adi Poday, Gedung Ki Hadjar Dewantara, telah lama digunakan sebagai ruang ekshibisi. Belakangan beberapa kafe dan hotel membuka diri untuk memberikan ruang untuk pameran. Sebuah kemungkinan baru, peluang bagi perupa untuk berkarya dan kreatif. Pertumbuhan galeri justru menemukan titik balik yang sangat signifikan. Jika selama ini galeri berada di kota, di Sumenep tepatnya Ganding di Lembâna terdapat sebuah rumah yang dijadikan Galeri Seni Rupa dan selama dua tahun ini telah mengundang beberapa perupa untuk berpameran dalam tajuk ”Babad Lembâna” di bulan Desember. Ruang pamer sekaligus berfungsi sebagai ruang edukasi bagi masyarakat luas. Fenomena baru di Sumenep, makin banyaknya space dan gedung untuk memamerkan karya seni rupa.

Galeri Seni Tamar Saraseh bukan sekadar memajang karya, namun di dalamnya menjadi ruang belajar bagi yang berminat untuk memahami tentang seni rupa secara praksis. Hadirnya galeri yang memicu munculnya galeri yang lain dan berada di pinggiran kota.

Beberapa santri Annuqayah mendatangi galeri seni Tamar Saraseh untuk belajar melukis. Sebuah keterbukaan yang memungkinkan dunia seni rupa hadir menemui lapisan masyarakat yang beragam. Seni rupa sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Maka di usia yang memasuki ke-32 tahun, KLOPS telah banyak memberikan warna bagi keberadaan para perupa sekaligus memberikan makna bagi masyarakat pada umumnya.

Kelahiran kembali KLOPS saat ini tidak pernah saya bayangkan sebagai kebangkitan kembali sebagaimana di usia muda, tetapi lahir sebagai komunitas yang telah dewasa. Komunitas yang mampu menemani dan membiarkan komunitas lainnya tumbuh sehingga terbangun sebuah ekosistem seni rupa yang saling menguatkan dan memungkinkan untuk memunculkan ketakterdugaan dalam pertumbuhan kebudayaan secara menyeluruh. (*)

 

Sampang, 19 Januari  2023

 

*)Penulis, pelukis sketsa, tinggal di Sampang

Oleh HIDAYAT RAHARJA*

TERNYATA usia memang tidak dapat dibohongi. Pertambahan usia membuat semakin jarang berkumpul. Kesibukan pribadi terus menumpuk sehingga keberadaan personal mulai berkurang dalam kegiatan kolektif. Usia yang mematangkan mereka bekerja dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial, sehingga keberadaan yang semakin jarang dalam kegiatan kolektif, namun mampu membangun jejaring dengan dunia luar.

Je Muhammad, Taufik Rahman, Tamar Saraseh, Ochez (Sumantri), Edy Supratman, Liem Pingsun, S. Gani, Farid Wajdi, nama-nama yang tidak bisa dilepas dari berdirinya KLOPS. Di antara mereka tidak diragukan lagi eksistensinya; Tamar Saraseh, Taufik Rahman, Ochez, mereka pernah mendapat penghargaan internasional. Juga karya Fendi Ompung, Zain A. Thoif, Stanbai, R. Hidayat, dan lainnya. Suatu realitas yang menandaskan bahwa KLOPS telah menjadi ruang saling berinteraksi dan membangun jejaring dengan dunia luar. Bahwa, dinamika perkembangan seni rupa dan regenerasi di Sumenep terus berlangsung. Fakhita Madury, Chantika, sebuah regenerasi yang tengah tumbuh saat ini dan mulai mewarnai perkembangan seni rupa di Jawa Timur.


Karya-karya Tamar Saraseh terasa puitis imajinatif, gambar yang banyak bercerita tentang cinta dan kemanusiaan. Gambar yang memenuhi ruang kanvas dengan warna-warna teduh sehingga menenangkan bagi penikmatnya. Karya yang mengalir dengan aneka makhluk yang saling bersapa, seperti ekosistem yang saling menjaga kebahagiaan di antara mereka. Bunga-bunga mekar, perempuan menghirup aroma dengan tenang dan bintang- bintang bertabur di cakrawala. Atau pada lukisan ”Wayang yang Mencintai sang Dalang” menggambarkan sosok wayang di tangan dalang dan bagaimana imajinasi liar saat berubah menjadi cinta kepada dalang. Sebuah simbolisme yang melambangkan cinta makhluk kepada Khaliqnya. Cinta abadi dari seluruh makhluk kepada penciptanya.

Je Mohammad terasa sekali suasana pada lukisan dan terlihat semuanya sepeti sedang bergerak. Sebuah kesibukan yang membuat mereka dalam keadaan bekerja. Tubuh yang tak diam sebuah ciri khas dengan tubuh melengkung seperti menahan beban hidup yang berat. Lebih tepatnya lukisan yang melambangkan berat beban tanggung jawab yang diembannya.

Baca Juga :  Olle ollang: Penjelajahan Melintas Batas

Taufik Rahman salah seorang maestro yang karya-karya banyak diapresiasi di Malaysia dan Singapura. Karya-karya hidup, cerah, dan penuh gairah. Goresannya ekspresif, namun tetap terasa kuat formalitasnya. Wujud objek terlihat jelas, semuanya seperti tidak pernah diam, bergerak. Lukisan yang menggambarkan hidup yang selalu dinamis. Elang, ayam jago, simbol kekuatan dan kemandirian sosok yang berani untuk mempertahankan hidup. Puluhan ikan koi seperti tengah berkompetisi berebut oksigen dalam air. Hidup yang harus dipertarungkan, tak boleh diam. Elan vital yang selalu memberikan ”nyawa” pada karya-karyanya.

Ochez Sumantri dengan objek lukisan-lukisan yang sangat dinamis dengan garis lengkungnya lepas seperti melepaskan objek lukisannya bergerak. Kuda yang tampak gerakan gesitnya sehingga menyisakan semburat garis memenuhi kanvas. Kuda yang lepas kendali berlari seperti gerak gelombang mencari tepian. Juga pada karya Suripto Hadi dengan garis yang ekspresif dengan warna cerah dengan tekstur kasar di permukaan bagai ”tarian” warna yang membangun harmoni dari goresan-goresan warna yang saling menopang.

- Advertisement -

Misnaya, Agus Purnomo, Wahyu NR sosok yang kuat dalam lukisan foto. Lukisan potret mereka sangat hidup seperti tengah menatap kita yang ada di hadapannya. S. Gani, Rahmatullah, Khairul Fatah bermain-main dengan objek realis dan cukup menarik bagi pengunjung pameran.

Satu-satunya pelukis kaligrafi Edy Supratman tetap istiqamah sejak 1990-an. Tekstur dan warnanya khas dengan ukuran yang cukup besar. Kaligrafi Edy Supratman dengan energinya yang tetap terjaga sehingga masih tetap dan mampu menjelajahi bidang yang luas.

Pelukis muda Chantika dan Fakhita Madury, dua sosok yang menegaskan bahwa regenerasi perupa Sumenep terus berlangsung. Lukisan-lukisan dekoratif karya Chantika dengan warna-warna cerah di kanvas dengan objek permainan anak dan dunia binatang. Sebuah proses yang terus bergerak bersamaan dengan perjalanan usia mereka. Juga pada karya Fakhita dengan warna-warna cerah yang saling melapis di antara kompleksitas kehidupan yang gaduh, yang menari, bersimpuh, tersungkur dan semua men-”Jalani Hidup” – (sebagaimana judul lukisannya) tanpa beban. Hidup yang cuek dan bahagia. Jiwa muda perempuan yang menolak untuk takluk.

Baca Juga :  Persipura Jadi Lawan Madura United Selanjutnya

Perkembangan seni rupa di Sumenep sangat menarik, bahkan belakangan ini banyak bermunculan ruang ekshibisi, aula perkantoran, Gedung Adi Poday, Gedung Ki Hadjar Dewantara, telah lama digunakan sebagai ruang ekshibisi. Belakangan beberapa kafe dan hotel membuka diri untuk memberikan ruang untuk pameran. Sebuah kemungkinan baru, peluang bagi perupa untuk berkarya dan kreatif. Pertumbuhan galeri justru menemukan titik balik yang sangat signifikan. Jika selama ini galeri berada di kota, di Sumenep tepatnya Ganding di Lembâna terdapat sebuah rumah yang dijadikan Galeri Seni Rupa dan selama dua tahun ini telah mengundang beberapa perupa untuk berpameran dalam tajuk ”Babad Lembâna” di bulan Desember. Ruang pamer sekaligus berfungsi sebagai ruang edukasi bagi masyarakat luas. Fenomena baru di Sumenep, makin banyaknya space dan gedung untuk memamerkan karya seni rupa.

Galeri Seni Tamar Saraseh bukan sekadar memajang karya, namun di dalamnya menjadi ruang belajar bagi yang berminat untuk memahami tentang seni rupa secara praksis. Hadirnya galeri yang memicu munculnya galeri yang lain dan berada di pinggiran kota.

Beberapa santri Annuqayah mendatangi galeri seni Tamar Saraseh untuk belajar melukis. Sebuah keterbukaan yang memungkinkan dunia seni rupa hadir menemui lapisan masyarakat yang beragam. Seni rupa sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Maka di usia yang memasuki ke-32 tahun, KLOPS telah banyak memberikan warna bagi keberadaan para perupa sekaligus memberikan makna bagi masyarakat pada umumnya.

Kelahiran kembali KLOPS saat ini tidak pernah saya bayangkan sebagai kebangkitan kembali sebagaimana di usia muda, tetapi lahir sebagai komunitas yang telah dewasa. Komunitas yang mampu menemani dan membiarkan komunitas lainnya tumbuh sehingga terbangun sebuah ekosistem seni rupa yang saling menguatkan dan memungkinkan untuk memunculkan ketakterdugaan dalam pertumbuhan kebudayaan secara menyeluruh. (*)

 

Sampang, 19 Januari  2023

 

*)Penulis, pelukis sketsa, tinggal di Sampang

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/