Oleh MUHTADI ZL.*
Belajar menulis, Nak, agar kelak kalau kamu patah hati, kamu bukan menangis, tetapi menulis.
KALIMAT Neng Khilma Anis, pengasuh Ponpes An-Nur Jember, seolah memberikan isyarat tersurat bagi kalangan pemuda tanpa memungkiri penulis pemula untuk tetap konsisten menulis. Karena, menulis bukan hanya tentang memilih dan menyusun kata untuk dijadikan paragraf. Apalagi dalam setiap memulai tulisan, penulis dituntut berpikir keras guna mencari problem yang sekiranya layak dibahas secara komprehensif. Semisal persoalan sosial, ekonomi, budaya, dan agama, yang nantinya bakal ditutup dengan kesimpulan solutif secara konseptual ataupun secara laku ritual. Sehingga, tulisan yang digarap tidak hanya menjadi wacana kosong berisikan kata-kata magis yang menghipnotis pembaca tanpa mendapat apa-apa.
Bukan hanya itu, menulis juga menjadi ladang interpretatif bagi siapa saja yang menikmati tulisan dari setiap para penulis. Dari klausul leluhur itulah, penulis selalu dikontrol agar apa yang dihasilkan tidak hanya ”hitam di atas putih” berisikan kata-kata yang tidak orientatif. Fase inilah, setiap penulis harus memberikan ruang berpikir bebas bagi pembaca agar sistem leluhur tetap lestari, yakni menjadikan pembaca cerdas tanpa digurui karyanya.
Belum lagi ketika seorang penulis mengalami fase terpuruk dalam berpikir kreatif, kritis, dan inovatif. Maka, di saat itulah ia harus mencari mentor untuk membuat daya berpikirnya beroperasi kembali. Atau bahasa penulis setengah matang, harus mencari motivasi sebagai penyokong inspirasi guna mengembalikan imunitas berpikirnya. Inspirasi menulis dari setiap penulis pasti berbeda-beda, jika mungkin terdapat pebedaan, barangkali terletak pada bagaimana pengilhaman inspirasinya. Hanya saja, satu yang pasti, membangun dan menjaga kreativitas bernalar memang perlu mentor.
Dari sekian banyak inspirasi penulis dalam menjaga motivasi menulisnya, saya mencantumkan tiga term yang sangat mungkin atau bahkan menjadi primadona setiap penulis dalam menjaga konsistensi menulisnya, yaitu realitas, finansial (uang), dan perempuan. Tiga suku kata ini sangat familier bagi penulis dalam menyokong kreativitasnya.
Belum lagi, kata terakhir seolah menjadi detak jantung—andai inspirasi serupa organ manusia—yang tanpanya tidak akan ada peraliran darah. Dengan kesimpulan awal, kematian di depan mata. Oleh karena itu, penulis yang dilanda kasmaran dijamin inspirasi menulisnya pasti perempuan, baik karena benar memiliki (istri), mengagumi dan menyukai secara diam-diam atau sebab lain. Dari setiap rasa tersebut, penulis akan selalu melahirkan berbagai tulisan atau bisa pula sesuai bidang menulisnya; puisi, cerpen, dan esai.
Karena realitanya memang demikian, beberapa penulis juga sepakat bahwa menjaga konsistensi menulis tidaklah semudah menjaga ibadah lima waktu. Mengapa? Bilamana ibadah lima waktu akan diganjari dosa apabila tidak melaksanakannya dan alasan lain diwajibkan dalam agama, maka mau tidak mau, ibadah mahdhah harus terealisasi. Meskipun menulis juga mendapat ganjaran, tetapi tidak bakal semua penulis siap menaklukkannya. Belum lagi tidak ada kewajiban dari agama untuk setiap muslim/mukmin wajib menulis, satu hari lima judul. Tidak mungkin. Inilah yang menjadi alasan kuat setiap penulis bahwa menulis membutuhkan motivasi dalam menjaga konsistensi menulisnya.
Dengan menjadikan perempuan sebagai sumbu inspirasi menulis, maka untuk menjaga sumbu itu, penulis harus menanam rasa kepada perempuan yang sengaja dijadikan sumbu inspirasi menulisnya, meskipun rasa yang ditanamkan tidak benar-benar diseriusi di kemudian hari, mengingat ”kembali ke niat awal” hanya menjadi sumbu inspirasi menulis. Walaupun nanti rasa itu direspons dengan baik dan dirawat sebagaimana merawat inspirasi menulisnya, maka keromantisan riil itu adalah bonus karena telah membahagiakan makhluk kesayangan Tuhan; perempuan. Jika kandas, kembalikan ke niat awal. Motivasi belaka!
Oleh karena itu, posisi serta konsistensi produksi karya menulis penulis terjaga dengan baik, mengingat sumbu inspirasi terpenuhi meski tidak maksimal. Karena memang, menjaga konsistensi menulis itu tidaklah mudah seperti menjaga suara (penyanyi). Sebab, di samping banyak rintangan dan tantangan yang harus dilompati, banyak pula godaan bernama setan malas (membaca dan menulis) menghantui. Karena godaan tersebut pasti mendatangi, maka banyak penulis yang menjaga produksi dan produktivitas menulis dengan menjaga inspirasinya melalui perempuan sebagai inspirasi menulis penulis. (*)
*)Santri Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk, Sumenep.