Oleh AHMAD MUHLI JUNAIDI*
BAGI santri, menunggu datangnya bulan Ramadan ibarat menunggu sesuatu yang amat memukau hatinya. Saking rindu terhadap bulan suci ini, santri punya tradisi tersendiri untuk menyambutnya, yaitu dengan menghitung mundur. Siapa pun yang pernah menjadi santri diyakini akan melakukan ritual ini, lebih-lebih santri putri.
Momen libur Ramadan punya posisi magis tersendiri bagi para santri. Tidak saja bulan ini sebagai bulan penuh rahmah, tapi jauh lebih krusial, Ramadan merupakan wahana sosial santri dalam masyarakat, dan juga momen tampil diri bagaimana dunia khayali waktu di pondok pesantren mulai tampak nyata. Contohnya, sebagian dari santri menabalkan dunia khayalinya dengan bertunangan, dan meningkatkan diri kepada bentuk tali asih yang benar-benar nyata.
Siapakah santri yang tak tergiur dengan nuansa libur Ramadan ini, jika di dalamnya hadir pernak-pernik sosial khas dunia santri, yang membuhul kenangan manis dan atau kenangan pahit selama menjalaninya di pondok pesantren. Tak terbatas itu pesantren salaf atau khalaf, misalnya, libur Ramadan memang menawarkan kehidupan lebih nyata tentang eksotisme dunia pesantren itu sendiri.
Keterkungkungan di balik tembok pesantren yang monoton dan menggurita selama setahun, maka adanya Ramadan merupakan bulan yang nyata-nyata penuh pembebasan dari hal-hal tersebut. Naluri fitrah insani/ah kembali lahir di tengah liburan Ramadan.
Ingat, dan jujur saja, bagaimana perilaku ”menyimpang” di balik tembok pesantren ala kaum Nabi Luth as, misalnya. Dengan libur Ramadan hal itu dibuat kembali kepada ”normal”, yakni bahwasanya ”jeruk makan jeruk itu memang jauh dari fitrah”. Hehehe…! Ups. Dan pada batas normal itulah, rangkaian akal sehat kembali terurai rapi, serta meneguhkan jati diri seorang insan, seperti apa dan bagaimana menata keinsaniannya itu sesuai dengan hakikat kemanusiaan. Pada tahap ini, jelas sekali LGBT pada santri tak punya tempat.
Selanjutnya, momen menarik lainnya, terkait aktivitas santri selama libur Ramadan, adalah adu ketangkasan fisik dan nonfisik. Sebagaimana dimaklumi secara umum, pesantren ibarat pedepokan pencak silat. Ia menawarkan bela diri dari berbagai aliran di Nusantara ini. Hanya pada waktu libur sajalah, aura kompetisi antar aliran itu terjaga dan dipertaruhkan secara riil. Dan, ini pergumulan yang positif terkait ketangkasan fisik santri. Terutama santri putra. Sebab, setelah jadi kepala rumah tangga, mereka harus menjadi pengayom, pelindung, penuntun, dan penegas arah generasi selanjutnya. Dengan kekuatan fisik yang bagus, semua itu dapat terbantukan.
Dari sisi nonfisik atau rohani, tak kalah menariknya jika kita bedah. Berbagai pesantren juga menawarkan sisi-sisi batiniah yang berbeda. Misalnya, santri A dari pesantren A mempunyai cara baca Al-Qur’an yang khas. Santri B dari pesantren B juga punya ciri khusus dalam tilawah ini. Santri A rupanya punya bekal kebatinan yang khas. Demikian pula santri B, mempunyai kemampuan khusus yang berbeda.
Semua ciri khas ini, dalam nuansa suci Ramadan mempunyai panggung tersendiri untuk terjadinya kompetisi baik atau positif antara berbagai pesantren tersebut, sehingga dalam suasana yang lain, yakni tatkala tiba kembali ke pondok, mereka punya cerita terbaik hasil interaksi selama libur itu antar berbagai santri dari pesantren lainnya. Dalam tataran psikologis akan menambah kedewasaan mereka dan menambah jam terbang mereka di dunia kesantrian yang benar-benar nyata.
Namun, semua hal di atas mempunyai tantangan yang tak mudah di hadapan dunia digital. Karena, rupanya, dunia ini mempunyai kekuatan merampas sisi-sisi sosial yang terbangun secara baik, untuk dipindah ke dunia lain yang tetap dalam bentuk maya atau khayali. Jika tak diarahkan secara praktis oleh pendamping santri di rumah, yaitu orang tua mereka, dunia khayali santri waktu terkepung tembok-tembok pesantren, sesampainya di rumah, akan tetap mendominasi gerak langkah santri tersebut. Bahkan, akan terperosok kepada permainan nisbi yang lebih berbahaya, sebab di pondok pesantren masih terkontrol ketat. Namun, di rumah orang tua abai mengontrol dunia mayanya.
Agar aktivitas santri betul-betul nyata, dan semua hal yang penulis dedahkan tepat guna dan berdaya guna, selaiknya para pendamping santri di rumah masing-masing terus mengadakan pengawasan melekat, namun terus memberikan arahan, sambil lalu tak terlalu masuk mencampuri urusan pribadi putra-putrinya. Kecuali mereka meminta secara terbuka. Wallahu’alam bis-sawab. (*)
*)Santri PP Annuqayah Daerah Nirmala 1990–1995.