Oleh IKROM F.*
SEJAK pertama datang dan menetap di Pondok Pesantren Annuqayah, saya menemukan sesuatu yang menarik. Ketertarikan itu bermula dari majalah dinding yang terpajang di depan kantor. Bentuknya sederhana; ditulis di atas kertas folio, menggunakan pensil dan krayon untuk melukiskan gambar jurnalisme pesantren.
Saya sempat berbincang-bincang melalui salah satu kru. Namanya Abdul Warits. Dia mengatakan, seorang jurnalis pesantren memiliki tempat yang cukup krusial jika mau dibicarakan. Pria asal Bragung itu menyebut, ketika seorang menjadi jurnalis, sama sekali tidak memprioritaskan gaji. Selain tidak ada, gaji merupakan materi dunia bila hendak diberikan.
”Di pesantren, distribusi keuangan bukanlah urat nadi dalam pekerjaan pers. Bahkan, materi adalah sesuatu yang tidak pernah diajarkan oleh kiai. Tetapi kita yakin, dengan mengabdi dan ikhlas untuk melaksanakan petuah dari para kiai, insyaallah barokah akan menghampiri,” tegasnya.
Perjalanan jurnalis di Pondok Pesantren Annuqayah agaknya tidak bisa dilepaskan dari soal pengabdian. Dari beberapa ungkapan santri—termasuk Abdul Warits itu—menjadi insan pers perlu diniatkan untuk mengabdi. Di sini secara logika, ketika masalah ”mengabdi” adalah pokok utama, maka tidak ada yang namanya usaha ”kerja” pers. Karena setiap ”kerja” harus mempunyai upah. Tanpa upah, semua orang dipastikan malas atau tidak sudi melakukan pekerjaan. Di Annuqayah, insan pers sama sekali tidak akan menemukan apa itu bayaran, artinya mereka tidak digaji.
Meskipun tidak digaji, wartawan santri tetap melakukan peliputan atas dasar cinta. Sebagai seorang abdi pers, cinta adalah mantra ampuh di saat mereka mulai lelah dan mengharap sesuatu yang sama sekali utopis. Mereka seakan-akan ingin membuktikan bahwa bukan penghasilan yang dicari. Mereka seperti mengamalkan ajaran apa yang diutarakan oleh Radinal Mukhtar Harahap, bahwa bagaimanapun, pengabdian itu sejatinya adalah memberikan apa yang telah didapat untuk kemudian mengembangkan kreasi dan inovasi dari diri sendiri.
Ironisnya, para awak media dianggap membuang-buang waktu dan uang, karena dalam setahun mereka biasa melakukan penerbitan. Tidak jarang, insan pers diperlakukan layaknya santri yang tidak sedang mengabdi. Mereka selalu dipandang sebelah mata. Barangkali benar, abdi pers tidak sama dengan abdi lingkungan, yang bentuk kerjanya menyapu. Atau para ustad yang mengajar di madrasah, atau pekerja yang saban hari membangun gedung yang tampak ke permukaan. Dan, itu bisa dinilai oleh setiap mata dan telinga bahwa itulah produk pengabdian yang paling luhur.
Mungkin benar pula, insan pers hanya melakukan wacana dan memberi informasi supaya publik tahu dan gempar terhadap apa yang sudah dikritisi; mempertanyakan setiap kejadian, yang barangkali melabrak kemapanan. Tetapi, mereka tidak akan sudi melakukan sesuatu secara kritis tanpa fakta, seperti pengandaian kita; mula-mula membuat tema, diskusi, melakukan wawancara, klarifikasi kembali, menulis naskah dan terbit.
Satu-satunya contoh yang memaparkan wartawan santri tidak berwacana serampangan ketika menyangkut soal dawuh atau kebijakan kiai. Layaknya santri yang takzim, setiap apa pun yang muncul dari kiai itu mutlak diikuti. Sikap ini merupakan pola antara hubungan murid dan guru. Tentunya pola seperti ini tidak terlepas dari sistem pembelajaran yang bernuansa budaya.
Abdurrahman Wahid memandang pola kurikulum pesantren sebagai ”subkultural”. Pandangan local wisdom ini erat kaitannya dengan penerjemahan kembali wajah pesantren yang terlahir dari masyarakat pedesaan, yang umumnya begitu antusias terhadap ajaran Islam damai. Ajaran kedamaian, salah satunya terpatri pada akhlak. Sebagai akibat, semua ilmu yang dilestarikan menjadi induk di saat belajar di pesantren adalah etika; ia akan datang dan tidak bisa ditinggal pergi.
Etika itu masuk dan jadi poros wartawan santri yang dikenal dengan sebutan sami’na, wa atha’na. Perlu digarisbawahi, pers yang identik dengan independensi, ada apabila mereka tidak mempunyai ”tuan”. Tuan di sini diartikan sebagai sang pemilik lembaga pers. Bahkan, lembaga pers perlu menyajikan pemberitaan yang berimbang, tidak ada campur tangan siapa pun dan apa pun. Secara sederhana, wartawan harus bebas dari intervensi pihak luar.
Sami’na wa atha’na wartawan santri agaknya berekspektasi ke arah itu. Ia hadir dalam kacamata lembaga pendidikan sebagai alat untuk tidak semena-mena menggebuki apa yang telah disepakati para kiai. Bukan berarti mereka dipasung peliputannya, tetapi etika dasar sebagai murid yang takzim pada guru adalah jawaban yang sekiranya perlu dijaga, atas nama agama dan budaya. Harapan ajaran ini adalah barokah. Barokah adalah bayaran tertinggi.
Kisah ikonik yang patut kita teladankan ketika mau meliput sosok kiai. Hal ini dinarasikan majalah Muara di Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa. Majalah yang ada sejak 1980 ini punya hasrat untuk melakukan wawancara dengan KH Ahmad Mustofa Bisri. Kendatipun, wawancara bisa dilakukan melalui apa saja, bisa lewat telepon, email, WA atau media sosial lainnya. Dengan pertimbangan jarak tempuh yang terlampau jauh antara Sumenep dan Rembang, redaksi sepakat melakukan wawancara via WA. Namun, pengasuh sama sekali tidak mengizinkan itu. Bahkan, konon, beliau mempertanyakan dengan tegas adab kesopanan dan muruah kesantrian meski dalam rangka wawancara.
Kisah ini menarasikan bahwa kesopanan yang terpancar dalam diri santri, apa pun situasinya, haruslah mencerminkan itu. Banyak orang terjebak pada hiruk pikuk pragmatisme teknologi, sehingga mereka meninggalkan hal yang kerap dilakukan pada masa lalu. Mengutip Ahmad Zainal Huda (penulis biografi Gus Mus) bahwa sejarah adalah bagian dari sikap bijaksana untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih maju—supaya kesalahan tidak terulang dua kali—justru dengan menulis, manusia bisa menggali secara kritis apa yang baik dari masa lalu (the past).
Pada hakikatnya, apa yang dialami redaksi majalah Muara adalah soal menyambung tali silaturahmi. Formula hubungan antara murid dan guru itu diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Semacam kisah ikonik dari KH Kholil Bangkalan yang mengutus Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk membawa tongkat, serban, dan tasbih kepada KH Hasyim Asy’ari. Transportasi minim. Namun karena perintah kiai, maka hal itu dilaksanakan secara baik. Sewaktu-waktu juga, KH Kholil mewanti-wanti santrinya untuk tidak makan di jalan. Persoalannya sepele; menjaga eksistensi muruah.
Parahnya, hal seperti itu sulit kita temukan di lembaga pendidikan mana pun. Bahkan, kita tidak bisa menolak lupa, moral guru dan murid sudah terpasang buta dan tuli, dan kita saat ini hanya bisa berkaca-kaca membaca kengerian seperti itu. (*)
*)Santri Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa