23.9 C
Madura
Sunday, April 2, 2023

Menyoal Tubuh-Tubuh Peduli Multatuli

BANGKANG Etnoteatrikal, Bangkalan, merupakan salah satu di antara delapan penampil teater terpilih yang turut meramaikan Festival Seni Multatuli 2019 di Lebak, Banten. Melalui lakon berjudul Apa yang Ada di Kepala Saya vs Kepala Mereka, kolaborasi yang menggabungkan beberapa pemain dari dalam dan luar Madura ini cukup menjadi sorotan para pengunjung festival.

Mulanya, seorang aktor (Arung Wardhana Ellhafifie, Bangkalan) berteriak di tengah-tengah penonton yang sedang berkumpul di Pendapa Lebak. Lalu, penonton diminta memukul tubuhnya. Beberapa di antara penonton menampar, melempari tubuh Arung dengan kopi dan air. Ada yang mengikat tubuhnya dengan tali dan menarik layaknya kerbau. Lantas, dengan santai, Arung menembang dalam bahasa Madura bahwa sejak kecil dirinya sering disiksa oleh keluarganya dan dipermalukan teman-temannya.

Wacana ”versus” yang ingin dibangun para aktor terwakili adegan Arung yang digiring oleh penonton yang berseberangan dengan tiga aktor lainnya (Abi ML, Jakarta; Kafana, Jogkakarta; dan Densil Lebang, Makassar). Kemunculan tiga aktor tersebut dari mobil yang tadinya ingin menabrak Arung, tetapi urung dilakukan, juga merupakan penanda kuat. Disambut Densil yang merupakan aktor tari, merespons dengan menaiki tubuh Arung. Namun, tubuh yang dinaiki melawan dengan kuat. Di sinilah terjadi interaksi ”versus” antaraktor kali pertama sehingga keempatnya tiba di area patung Max Havelar yang sedang duduk membaca buku.

Menurut Cathy Turner, dalam konsep pertunjukan kontemporer, kehadiran lanskap dramartugi baru yang dipopulerkan oleh Lehmann menekankan pada penyatuan komposisi beberapa unsur visual, sonik, dan fisik yang kedudukannya sama-sama penting. Dengan demikian, gabungan ketiganya mampu mendominasi dan memberikan gangguan timbal balik antara ruang pertunjukan dan penonton.

Baca Juga :  Dhari Sakeng Bungana, Manggana Esonsona

Gangguan timbal balik tersebut berhasil diinisiasi oleh Arung dalam sebuah adegan meminta beberapa penonton merespons untuk membotaki rambutnya yang tipis dengan pisau cukur yang sudah disiapkan. Seorang penonton pun maju, entah terpaksa atau tidak, ia melakukan adegan mencukur dengan pisau cukur. Tak hanya itu, ia juga meminta penonton memberikan air dan segala yang ia butuhkan.

Sementara itu, Abi sibuk keluar masuk panggung arena dan memutar hasil riset berupa wawancara dengan beberapa generasi muda yang ditemuinya secara random. Kafana menjelaskan hasil riset tersebut bahwa ternyata banyak generasi muda yang tidak mengenal Multatuli. Densil, dengan tubuh gemulai menari, seakan-akan menyayat-nyayat tubuh Arung yang sedang melakukan adegan cukuran.

Bersinggungan dengan metode kerja teater modern yang menekankan pada observasi dan riset, boleh jadi akan menimbulkan persepsi berbeda di antara penonton. Terlebih, bagi mereka yang awam akan metode kerja sebuah pertunjukan. Metode kerja pos-dramatik, Lehmann, misalnya, lebih menekankan pengembangan hasil obervasi dengan menyajikan data-data hasil riset.

Sekilas, para aktor terkesan melakukan visualisasi diksi gerak yang gagap. Sebab, teks-teks yang keluar tidak direncanakan secara sistematis sebagaimana pertunjukan pada umumnya. Kedudukan teks diformulasi dengan kondisi yang dibutuhkan untuk membangun adegan panggung.

 

Batasan Akting

Kemungkinan lain yang akan terjadi dalam metode kerja pos-dramatik adalah kemampuan aktor dalam meminimalkan adegan. Menurut Dandy Madya, seorang pengamat teater dari Jakarta, kecakapan para aktor dalam merespons penonton masih terkesan tidak efektif. Misalnya, dalam adegan meminta cukur Arung, dilakukan berkali-kali. Apakah motivasi dari adegan tersebut untuk memperpanjang durasi atau benar-benar dibutuhkan?

Baca Juga :  Meneladani Rasulullah dalam Menerapkan Nilai-Nilai Keislaman

Melalui metode kerja pos-dramatik, sebenarnya kedudukan sadar tidaknya sebuah pertunjukan masih perlu dipertanyakan. Sebab, batasan akting atau nonakting dalam pertunjukan tersebut belum benar-benar tegas. Sekali sekala, pemain melakukan diksi gerak yang sangat terasa terbebani dengan kesadaran berakting. Walau kadang-kadang sebagian diksi gerak dan teks yang meluncur merupakan spontanitas yang tidak membebani pemain.

Secara garis besar, sebenarnya yang sangat menarik dari pertunjukan tersebut adalah data-data rekaman yang disajikan. Data-data tersebut mampu mengintervensi penonton bahwa pemikiran Multatuli, secara narasi besar, belum menyesap sebagai sebuah pemikiran. Namun, sebenarnya gagasan-gagasan Multatuli yang menentang praktik kolonialisme dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme justru lebih terasa ketika para penonton peduli merespons para pemain.

Untuk itu, perlu dilacak ulang bagaimana kesadaran atau ketidaksadaran akting dalam hasil metode kerja pos-dramatik. Sebab jika tidak benar-benar dipersiapkan, akan berdampak pada kegagapan tubuh dalam merespons persoalan di atas panggung. Dengan begitu, tidak terjadi lagi pengulangan adegan yang disadari atau tidak hanya dibuat untuk mengulur waktu dan menyiasati kebingungan dalam ”kepala saya” untuk beradu gagasan gerak tubuh dengan kebingungan dalam ”kepala mereka”.

 

ALI IBNU ANWAR

Pegiat seni dan petani asal Jember

BANGKANG Etnoteatrikal, Bangkalan, merupakan salah satu di antara delapan penampil teater terpilih yang turut meramaikan Festival Seni Multatuli 2019 di Lebak, Banten. Melalui lakon berjudul Apa yang Ada di Kepala Saya vs Kepala Mereka, kolaborasi yang menggabungkan beberapa pemain dari dalam dan luar Madura ini cukup menjadi sorotan para pengunjung festival.

Mulanya, seorang aktor (Arung Wardhana Ellhafifie, Bangkalan) berteriak di tengah-tengah penonton yang sedang berkumpul di Pendapa Lebak. Lalu, penonton diminta memukul tubuhnya. Beberapa di antara penonton menampar, melempari tubuh Arung dengan kopi dan air. Ada yang mengikat tubuhnya dengan tali dan menarik layaknya kerbau. Lantas, dengan santai, Arung menembang dalam bahasa Madura bahwa sejak kecil dirinya sering disiksa oleh keluarganya dan dipermalukan teman-temannya.

Wacana ”versus” yang ingin dibangun para aktor terwakili adegan Arung yang digiring oleh penonton yang berseberangan dengan tiga aktor lainnya (Abi ML, Jakarta; Kafana, Jogkakarta; dan Densil Lebang, Makassar). Kemunculan tiga aktor tersebut dari mobil yang tadinya ingin menabrak Arung, tetapi urung dilakukan, juga merupakan penanda kuat. Disambut Densil yang merupakan aktor tari, merespons dengan menaiki tubuh Arung. Namun, tubuh yang dinaiki melawan dengan kuat. Di sinilah terjadi interaksi ”versus” antaraktor kali pertama sehingga keempatnya tiba di area patung Max Havelar yang sedang duduk membaca buku.


Menurut Cathy Turner, dalam konsep pertunjukan kontemporer, kehadiran lanskap dramartugi baru yang dipopulerkan oleh Lehmann menekankan pada penyatuan komposisi beberapa unsur visual, sonik, dan fisik yang kedudukannya sama-sama penting. Dengan demikian, gabungan ketiganya mampu mendominasi dan memberikan gangguan timbal balik antara ruang pertunjukan dan penonton.

Baca Juga :  Mengelola Perpustakaan dengan Profesional

Gangguan timbal balik tersebut berhasil diinisiasi oleh Arung dalam sebuah adegan meminta beberapa penonton merespons untuk membotaki rambutnya yang tipis dengan pisau cukur yang sudah disiapkan. Seorang penonton pun maju, entah terpaksa atau tidak, ia melakukan adegan mencukur dengan pisau cukur. Tak hanya itu, ia juga meminta penonton memberikan air dan segala yang ia butuhkan.

Sementara itu, Abi sibuk keluar masuk panggung arena dan memutar hasil riset berupa wawancara dengan beberapa generasi muda yang ditemuinya secara random. Kafana menjelaskan hasil riset tersebut bahwa ternyata banyak generasi muda yang tidak mengenal Multatuli. Densil, dengan tubuh gemulai menari, seakan-akan menyayat-nyayat tubuh Arung yang sedang melakukan adegan cukuran.

Bersinggungan dengan metode kerja teater modern yang menekankan pada observasi dan riset, boleh jadi akan menimbulkan persepsi berbeda di antara penonton. Terlebih, bagi mereka yang awam akan metode kerja sebuah pertunjukan. Metode kerja pos-dramatik, Lehmann, misalnya, lebih menekankan pengembangan hasil obervasi dengan menyajikan data-data hasil riset.

- Advertisement -

Sekilas, para aktor terkesan melakukan visualisasi diksi gerak yang gagap. Sebab, teks-teks yang keluar tidak direncanakan secara sistematis sebagaimana pertunjukan pada umumnya. Kedudukan teks diformulasi dengan kondisi yang dibutuhkan untuk membangun adegan panggung.

 

Batasan Akting

Kemungkinan lain yang akan terjadi dalam metode kerja pos-dramatik adalah kemampuan aktor dalam meminimalkan adegan. Menurut Dandy Madya, seorang pengamat teater dari Jakarta, kecakapan para aktor dalam merespons penonton masih terkesan tidak efektif. Misalnya, dalam adegan meminta cukur Arung, dilakukan berkali-kali. Apakah motivasi dari adegan tersebut untuk memperpanjang durasi atau benar-benar dibutuhkan?

Baca Juga :  Direktur JPRM Kunjungi Pembuatan Batik Canteng Koneng

Melalui metode kerja pos-dramatik, sebenarnya kedudukan sadar tidaknya sebuah pertunjukan masih perlu dipertanyakan. Sebab, batasan akting atau nonakting dalam pertunjukan tersebut belum benar-benar tegas. Sekali sekala, pemain melakukan diksi gerak yang sangat terasa terbebani dengan kesadaran berakting. Walau kadang-kadang sebagian diksi gerak dan teks yang meluncur merupakan spontanitas yang tidak membebani pemain.

Secara garis besar, sebenarnya yang sangat menarik dari pertunjukan tersebut adalah data-data rekaman yang disajikan. Data-data tersebut mampu mengintervensi penonton bahwa pemikiran Multatuli, secara narasi besar, belum menyesap sebagai sebuah pemikiran. Namun, sebenarnya gagasan-gagasan Multatuli yang menentang praktik kolonialisme dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme justru lebih terasa ketika para penonton peduli merespons para pemain.

Untuk itu, perlu dilacak ulang bagaimana kesadaran atau ketidaksadaran akting dalam hasil metode kerja pos-dramatik. Sebab jika tidak benar-benar dipersiapkan, akan berdampak pada kegagapan tubuh dalam merespons persoalan di atas panggung. Dengan begitu, tidak terjadi lagi pengulangan adegan yang disadari atau tidak hanya dibuat untuk mengulur waktu dan menyiasati kebingungan dalam ”kepala saya” untuk beradu gagasan gerak tubuh dengan kebingungan dalam ”kepala mereka”.

 

ALI IBNU ANWAR

Pegiat seni dan petani asal Jember

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/