22.1 C
Madura
Thursday, June 1, 2023

Perlawanan Manusia Madura terhadap Kapitalisasi Garam

Judul: Sosiologi Garam: Deindustrialisasi, Perlawanan, dan Nasib Petani di Madura
Penulis: Iskandar Dzulkarnain
Penerbit: Cantrik Pustaka
Tahun: Maret, 2023
Tebal: 264 halaman
ISBN: 978-1344-3842

BUKU Sosiologi Garam: Deindustrialisasi, Perlawanan, dan Nasib Petani di Madura melengkapi kumpulan esai A. Dardiri Zubairi, Politik Agraria Madura, dari sisi akademis. Dalam karya Iskandar Dzulkarnain disebutkan bahwa Madura dikenal sebagai salah satu pemasok garam nasional dengan kualitas terbaik di Indonesia. Muasal predikat tersebut dimulai sejak munculnya tokoh Raden Syekh Anggasuto. Ia adalah tokoh penampung para prajurit BlambanganBali yang melarikan diri ke Pinggirpapas karena kalah dalam perang melawan Kerajaan Sumenep di bawah pimpinan Pangeran Wetan. Raden Syekh Anggasuto merupakanutusan Sunan Gunung Jati untuk menebarkan Islam di Pinggir Papas.

Konon, Pinggirpapas abad ke-16 merebak wabah yang menelan banyak korban. Hingga akhirnya, Raden Syekh Anggasutomemerintahkan muridnya, Saman, untuk membaca surah At-Taubah dalam tiga malam Jumat secara berturut-turut. Setelahritual itu diusaikan dengan selamatan, sang raden berjalan-jalan ke pesisir Ambal, membiarkan kakinya diterpa air laut yang kemudian menjadi buih-buih putih. Buih-buih putih tersebutdipercaya sebagai sejarah munculnya garam kali pertama di Madura.

Hingga saat ini, Madura memiliki dua musim: musim hujan biasanya berkisar Oktober—April dan kemarau pada April—Oktober. Rendahnya curah hujan di Sumenep, terutama daerah pesisir, membuat Pinggirpapas dan Gersik Putih potensial digarap menjadi lahan tambak garam.

Baca Juga :  Pemkab Bangkalan Tak Anggarkan Konservasi Koleksi Museum

Kini, masyarakat Sumenep, baik di Pinggirpapas maupun Gersik Putih, telah teralienasi dari lingkungannya. Hal ini terjadi sejakJembatan Suramadu beroperasi sehingga memudahkan para pemodal lokal dan asing mencaplok lahan pegaraman. Aktivitas para pemodal menyebabkan penduduk marginal Sumenep tidak bertani dan memelihara sapi. Pagar-pagar kukuh tambak udang menutup jalan sehingga menghalangi kegiatan agraris mereka.

Kurangnya kesadaran masyarakat Pinggirpapas dan Gersik Putihmenambah persoalan tersebut. Masyarakat kurang terpelajar akan termakan janji-janji manis pemerintahsejak zaman kolonial hingga kiniyang akan mendirikan industri garam demimenyejahterakan rakyat.

Liberalisme kapitalistik yang mulai menjadi nadi pegaraman di Madura semakin membelenggu masyarakat, baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Hal ini membuat masyarakat melakukan perlawanan kepada PT Garam. Mereka melakukan perlawanan tersebut dalam tiga bentuk: insidental, kolektif, dan kultural.

Perlawanan-perlawanam itu digerakkan pantong dan antik. Pantong adalah orang yang memimpin pembuatan garam dan dibantu antik. Rendahnya gaji para pekerja pegaraman juga menjadi salah satu faktor penyebab perlawanan ini berlangsung.Perlawanan itu dilakukan secara diam-diam dengan menyiramkan air laut ke talangan yang siap dipungut. Menyiramkan air laut pada talangan akan menunda panen garam untuk sementara waktu(sekitar 12 hari).

Kultur religius nyadar adalah salah satu bentuk perlawanan pegaraman terhadap dominasi dan hegemoni kelas elite. Ritual inidilakukan tiap Jumat dan dilaksanakan di kompleks Buju’ Gubang(makam Syekh Raden Anggasuto). Acara tersebut berlangsung dari Jumat malam hingga Sabtu pagi.

Baca Juga :  Direktur JPRM Kunjungi Pembuatan Batik Canteng Koneng

Sosiologi Garam berusaha mewedar lanskap kultur sejarah masyarakat Madura dari sudut pandang pegaraman. Isu di dalamnya mengarahkan kita pada beberapa problem yang menimpa penduduk marginal Sumenep. Buku ini memaparkan berbagai cara pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia dari masa ke masa dalam mengontrol proses produksi garam di Madura.

Buku yang diangkat dari disertasi ini bisa dibilang adalah satu dari yang jarang …, tukas Huub de Jonge di awal kata pengantarnya. Sosiologi Garam juga menggemakan derita masyarakat marginal Sumenep terhadap cara pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia yang mengontrol produksi garam di Madura.

Buku ini enak dinikmati. Dzulkarnain berhasil menyeimbangkan konsep teoretis, data historis, dan empiris. Karya setebal 246 halaman tersebut menjadi jawaban atas kecemasan masyarakat Madura sejak Jembatan Suramadu diresmikan. Sejak rencana pembangunan jembatan yang menyatukan Madura dengan Jawa itu bergaung, para tokoh di Pulau Garam sudah memprediksikan adanya perubahan pola hidup penduduknya.

Sudah 150 tahun masyarakat Madura berusaha melawan perbudakan industri garam dari zaman kolonial hingga kini.Akankah perlawanan itu terus berkobar? Atau akan padam? (*)

WARDEDY ROSI
*)Mahasiswa Universitas Madura, bergiat di Sivitas Kotheka dan Lesbumi.

Judul: Sosiologi Garam: Deindustrialisasi, Perlawanan, dan Nasib Petani di Madura
Penulis: Iskandar Dzulkarnain
Penerbit: Cantrik Pustaka
Tahun: Maret, 2023
Tebal: 264 halaman
ISBN: 978-1344-3842

BUKU Sosiologi Garam: Deindustrialisasi, Perlawanan, dan Nasib Petani di Madura melengkapi kumpulan esai A. Dardiri Zubairi, Politik Agraria Madura, dari sisi akademis. Dalam karya Iskandar Dzulkarnain disebutkan bahwa Madura dikenal sebagai salah satu pemasok garam nasional dengan kualitas terbaik di Indonesia. Muasal predikat tersebut dimulai sejak munculnya tokoh Raden Syekh Anggasuto. Ia adalah tokoh penampung para prajurit BlambanganBali yang melarikan diri ke Pinggirpapas karena kalah dalam perang melawan Kerajaan Sumenep di bawah pimpinan Pangeran Wetan. Raden Syekh Anggasuto merupakanutusan Sunan Gunung Jati untuk menebarkan Islam di Pinggir Papas.

Konon, Pinggirpapas abad ke-16 merebak wabah yang menelan banyak korban. Hingga akhirnya, Raden Syekh Anggasutomemerintahkan muridnya, Saman, untuk membaca surah At-Taubah dalam tiga malam Jumat secara berturut-turut. Setelahritual itu diusaikan dengan selamatan, sang raden berjalan-jalan ke pesisir Ambal, membiarkan kakinya diterpa air laut yang kemudian menjadi buih-buih putih. Buih-buih putih tersebutdipercaya sebagai sejarah munculnya garam kali pertama di Madura.


Hingga saat ini, Madura memiliki dua musim: musim hujan biasanya berkisar Oktober—April dan kemarau pada April—Oktober. Rendahnya curah hujan di Sumenep, terutama daerah pesisir, membuat Pinggirpapas dan Gersik Putih potensial digarap menjadi lahan tambak garam.

Baca Juga :  Trunojoyo Bukan Pemberontak

Kini, masyarakat Sumenep, baik di Pinggirpapas maupun Gersik Putih, telah teralienasi dari lingkungannya. Hal ini terjadi sejakJembatan Suramadu beroperasi sehingga memudahkan para pemodal lokal dan asing mencaplok lahan pegaraman. Aktivitas para pemodal menyebabkan penduduk marginal Sumenep tidak bertani dan memelihara sapi. Pagar-pagar kukuh tambak udang menutup jalan sehingga menghalangi kegiatan agraris mereka.

Kurangnya kesadaran masyarakat Pinggirpapas dan Gersik Putihmenambah persoalan tersebut. Masyarakat kurang terpelajar akan termakan janji-janji manis pemerintahsejak zaman kolonial hingga kiniyang akan mendirikan industri garam demimenyejahterakan rakyat.

Liberalisme kapitalistik yang mulai menjadi nadi pegaraman di Madura semakin membelenggu masyarakat, baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Hal ini membuat masyarakat melakukan perlawanan kepada PT Garam. Mereka melakukan perlawanan tersebut dalam tiga bentuk: insidental, kolektif, dan kultural.

- Advertisement -

Perlawanan-perlawanam itu digerakkan pantong dan antik. Pantong adalah orang yang memimpin pembuatan garam dan dibantu antik. Rendahnya gaji para pekerja pegaraman juga menjadi salah satu faktor penyebab perlawanan ini berlangsung.Perlawanan itu dilakukan secara diam-diam dengan menyiramkan air laut ke talangan yang siap dipungut. Menyiramkan air laut pada talangan akan menunda panen garam untuk sementara waktu(sekitar 12 hari).

Kultur religius nyadar adalah salah satu bentuk perlawanan pegaraman terhadap dominasi dan hegemoni kelas elite. Ritual inidilakukan tiap Jumat dan dilaksanakan di kompleks Buju’ Gubang(makam Syekh Raden Anggasuto). Acara tersebut berlangsung dari Jumat malam hingga Sabtu pagi.

Baca Juga :  Pesona Keindahan Bahasa Kalam Ilahi

Sosiologi Garam berusaha mewedar lanskap kultur sejarah masyarakat Madura dari sudut pandang pegaraman. Isu di dalamnya mengarahkan kita pada beberapa problem yang menimpa penduduk marginal Sumenep. Buku ini memaparkan berbagai cara pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia dari masa ke masa dalam mengontrol proses produksi garam di Madura.

Buku yang diangkat dari disertasi ini bisa dibilang adalah satu dari yang jarang …, tukas Huub de Jonge di awal kata pengantarnya. Sosiologi Garam juga menggemakan derita masyarakat marginal Sumenep terhadap cara pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia yang mengontrol produksi garam di Madura.

Buku ini enak dinikmati. Dzulkarnain berhasil menyeimbangkan konsep teoretis, data historis, dan empiris. Karya setebal 246 halaman tersebut menjadi jawaban atas kecemasan masyarakat Madura sejak Jembatan Suramadu diresmikan. Sejak rencana pembangunan jembatan yang menyatukan Madura dengan Jawa itu bergaung, para tokoh di Pulau Garam sudah memprediksikan adanya perubahan pola hidup penduduknya.

Sudah 150 tahun masyarakat Madura berusaha melawan perbudakan industri garam dari zaman kolonial hingga kini.Akankah perlawanan itu terus berkobar? Atau akan padam? (*)

WARDEDY ROSI
*)Mahasiswa Universitas Madura, bergiat di Sivitas Kotheka dan Lesbumi.

Artikel Terkait

Musim Karnaval Telah Tiba

Sanja’ Agus Widiey

Kalabendu Jangka Jayabaya

Most Read

Artikel Terbaru

/