Oleh HAZMI BASYIR
DALAM beberapa bulan ke depan akan marak acara karnaval yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Karnaval ini merupakan bagian dari perayaan haflatul imtihan. Yaitu, sebuah acara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dalam rangka menutup akhir tahun pelajaran. Biasanya diisi dengan lomba-lombadan dipungkasi dengan karnaval dan pengajian umum pada acara puncak.
Konon, menurut sejarahnya, karnaval merupakan bagian dari lomba untuk meningkatkan kreativitas siswa yang diharapkan berdampak positif pada kemampuan siswa secara umum. Dalam acara itu, tiap tim peserta yang mewakili kelas masing-masing menyajikan penampilan atau adegan sesuai tema yang sudah dipilih, dan pemenangnya dipilih berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh panitia penyelenggara.
Temanya menyesuaikan dengan pilihan masing-masing kelas. Misal, ada tema perjuangan kemerdekaan yang menampilkan adegan bagaimana pribumi menghadapi para penjajah. Atau tema kesenian tradisional yang menampilkan hiburan can–macanan, musik tongtong, dan lainnya.
Dulu tak banyak lembaga yang menyelenggarakan acara ini. Namun seiring perkembangan zaman, kini terlihat hampir semua membutuhkannya. Bahkan, jikalau dulu hanya lembaga swasta, kini sekolah negeri pun –terutama yang ada di pedesaan– tak mau ketinggalan. Sebagai pemikat daya tarik untuk menjaring siswa baru adalah salah satu alasannya. Di daerah tertentu, sering kali ditemukan beberapa lembaga pendidikan yang letaknya saling berdekatan. Entah antara sesama lembaga swasta atau swasta dengan negeri. Bahkan, kadang ada dua lembaga swasta yang pengelolanyamasih satu ikatan keluarga, tapi membina lembaga pendidikan sendiri-sendiri. Namun karena letak sekolah berdekatan, konsekuensinya adalah tidak mudah untuk mendapatkan siswa baru, sehingga berlomba-lombalah lembaga itu menyelenggarakan kegiatan yang dianggap dapat menarik minat bagi calon siswa baru, semisal karnaval yang dikemas besar-besaran.
Dari sisi tema dan bentuk pun mengalami pergeseran dan meluas dari yang semula sebagai ajang penampilan kreativitas siswa, kini ada yang menjadi ajang tontonan hiburan belaka.
Ajang hiburan saja? Ya, kira-kira begitulah. Karena siswa tak lagi perlu bersusah payah memikirkan tema yang akan diusung timnya,tak perlu melakukan latihan untuk persiapan penampilan terbaik, tapi cukup bermodalkan sejumlah uang untuk menyewa kuda hias yang sudah terlatih dan si siswa tinggal duduk manis menungganginya. Atau, cukuplah si siswa menyewa becak hias dan biarlah pemilik yang sibuk mendandaninya.
Dan atas semua itu, saatnya kembali pada kesadaran bahwa setiap segala sesuatu pasti memiliki sifat alami yang senantiasa melekat, yakni di samping memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan. Begitu pun acara karnaval, meski mengandung nilai edukasi, pada kenyataan di lapangan sering kali tak lepas dari hal yang dianggap sebagai kekurangan yang solusinya perlu dipikirkan bersama.
Pertama, adalah tentang biaya. Untuk peserta karnaval yang diikuti oleh tim perwakilan kelas dan dengan tema sederhana, tentu tak akan butuh biaya banyak. Tapi jika peserta adalah perorangan dengan cara menyewa kuda atau becak hias, biaya yang dikeluarkan tentu tidak sedikit, karena ditanggung sendiri. Sementara kemampuan finansial wali siswa tidaklah sama. Ada yang tergolong mampu dan menyewa kuda hias bukan masalah besar baginya. Tapi,pasti ada juga yang kemampuannya pas-pasan dan si anak ngotot ingin menyewa. Akhirnya, si wali harus menjual ternaknya demi untuk memenuhi keinginan sang anak. Atau bahkan sampai harus berutang. Apalagi, siswa yang sudah lulus tahapan tertentu di tempat belajarnya, di rumahnya kadang masih disambut acara selamatan mengundang kerabat dan tetangga yang lagi-lagi pasti butuh biaya.
Masih dalam aspek fiansial, ada lelucon ironis bahwa kini karnaval bukan hanya ajang penampilan siswa, tapi juga catwalk bagi para ibu yang mendampingi anak-anaknya. Konon ada semacam rivalitasantar para ibu untuk tampil yang terbaik dibanding yang lain sehingga mereka akan bersolek, berpakaian baru, yang berarti itu menambah beban keuangan keluarga. Jika sudah seperti ini, tujuan awal karnaval bisa dinilai sudah keluar jalur.
Kedua, terkait arena karnaval. Karena karnaval pasti terdiri dari iring-iringan panjang dan butuh tempat beraksi yang luas, makajalan rayalah yang jadi pilihan. Pengguna utama jalan raya adalah pengendara, dan ketika pengendara dan karnaval bertemu di titik dan waktu yang sama, sedikit banyak pasti akan menimbulkan kemacetan yang tingkat keparahannya bergantung pada seberapa banyak pengendara yang akan melintas dan jumlah iring-iringan karnaval, serta seberapa akomodatif jalan rayanya. Jalan raya nasional yang lebar pun akan macet ketika diokupasi karnaval, apalagi jalan provinsi atau kabupaten. Intinya bahwa karnaval memiliki potensi besar untuk menimbulkan kemacetan lalu lintas di jalan raya.
Ketiga, terkait waktu. Acara ini umumnya diselenggarakan pada siang hingga sore hari atau pada malam hari. Yang jadi fokus di sini adalah yang siang hari. Misal, karnaval dimulai pada jam satu siangdan selesai setelah asar. Kemungkinan masalah pertama adalah,siswa yang jadi peserta harus dirias sebelum salat Duhur sehingga dia akan kesulitan memenuhi kewajiban salatnya. Kemungkinan masalah kedua adalah molornya waktu selesai karnaval hingga menjelang waktu salat Magrib. Maka, terbuka kemungkinan siswa tidak cukup waktu untuk bersalat Asar.
Walhasil, tak bisa dipungkiri bahwa tibalah saatnya bagi penyelenggaraan kegiatan yang sudah menjadi rutinitas tahunan ituuntuk dilakukan penataan dan penyempurnaan agar tidak makin melenceng dari tujuan semula. Ini memang bukan perkara mudah,tapi jika penyelenggara, wali siswa, dan semua yang berkepentingan duduk bersama, kiranya tidaklah sulit untuk menghasilkan keputusan aspiratif. (*)
*)Ketua Penasihat MPC Pemuda Pancasila Sumenep