26.4 C
Madura
Sunday, March 26, 2023

Sastra Madura Kembali Melangit dalam Konsistensi LHAG

Laki-laki (suami) sering berposisi tak mau mengalah dan bermuara istrilah tempat kesalahan. Puisi-puisi di dalamnya banyak menyebut tentang perempuan (istri) sebagai tempat menyembuhkan diri, selimut, air ketika dahaga, selalu ada bersedia, dan selalu membahagiakan.

 

BAHASA menunjukkan bangsa. Basa nantowagi tatengka bangsa menjadi konsistensi dari penulis yang juga jurnalis Jawa Pos Radar Madura (JPRM) Lukman Hakim AG (LHAG) untuk menyemestakan bahasa dan budaya Madura. Konsistensi tersebut dapat ditemukan jejaknya. Beberapa di antaranya ketika ia menyampaikan makalahnya dalam Sarasehan Sastra Madura dengan tajuk Revitalisasi Sastra Madura di Kabupaten Bangkalan, 7 Desember 2017. Dalam sarasehan tersebut ia menyampaikan makalah yang berjudul Menguji Identitas Kemaduraan Orang Madura. Ia mempertanyakan apa yang telah orang tua Madura masa kini wariskan. Jangan-jangan orang tua memang menjerumuskan mereka agar terbuang dari identitas kemaduraannya. Isi makalahnya setidaknya penyadaran kembali atas identitas yang seharusnya dijunjung tinggi dan diwariskan dengan baik.

Berikutnya pada 2019 dalam Seminar Nasional Pendidikan bertema Arabat Basa, Ajaga Tengka (Merawat Bahasa, Menjaga Adab) menjadi bukti lanjutan. Tema tersebut dalam bahasa Indonesia bermakna bahwa dengan menjaga bahasa sama pentingnya dengan menjaga akhlak mulia. Tidak jauh berbeda dengan hal yang disampaikan pada acara sarasehan bahwa pendidikan karakter dapat dengan mudah melalui penggunaan bahasa Madura yang sesuai tingkatannya yang berpotensi sangat mampu membentuk akhlak yang baik. ”Sangat tidak mungkin anak yang berbahasa halus kemudian membentak orang tuanya, bahkan anak yang berbahasa enggi-bunten (bahasa kromo) tidak akan mungkin nonggul to’ot (tidak sopan) di depan orang yang wajib dihormati.”

Konsistensi tersebut tentu diikuti oleh sejumlah bukti empirik berupa kreativitas berkarya dalam bahasa Madura. Beberapa judul karyanya antara lain Cengkal Burung (Hampir Keras Kepala) dan Oreng-Oreng Palang (Orang-Orang Sial). Judul dengan bahasa Madura juga merupakan bukti keajekan LHAG dalam menjaga konsistensinya dalam melestarikan sastra Madura walaupun ia kelahiran Sumatera, namun darah Maduranya pekat.

Jauh sebelum menjadi pemimpin redaksi, ia telah mewarnai halaman JPRM dengan banyak karyanya. Setelah menjadi bagian JPRM, makin menguatkan niatnya merealisasikan bahwa bahasa menentukan perilaku bangsa (Madura). Salah satunya dengan terbitnya Tora; Satengkes Carpan Madura pada 2017 lalu. Tora berisi 63 carpan (cerpen) karya 21 penulis. Puluhan carpan tersebut merupakan karya penulis yang pernah ditebitkan di halaman Sastra Budaya JPRM sejak pekan terakhir Juli 2015 hingga Desember 2016. Ia memberi langit pada sastra Madura agar bintang-bintang kembali terang bertaburan.

Sagara Aeng Mata Ojan (Samudera Air Mata Hujan) dan Tang Bine Majembar Ate (Istriku Membahagiakan Hati) adalah dua buku kumpulan puisi karyanya akhir 2020 terbitan Sulur Pustaka. Gambar sampul kedua buku tersebut abstrak, menarik. Dengan ukuran 13×19 cm dan jumlah halaman kurang dari 100, tapi memiliki bobot nilai yang tebal dan berat.

Kedua buku tersebut juga bukti konsistensinya tetap meletakkan sastra Madura dalam langit kesusastraan, setidaknya mulai dari Jawa Timur. Sagara Aeng Mata Ojan merupakan buku cetakan ke-2 sejak kelahirannya tahun 2008. Pada bagian prakata LHAG menyampaikan bahwa memelihara dan melestarikan bahasa Madura adalah kewajiban yang diwariskan oleh orang tua. Salah satu cara menjadi beradab yaitu dengan menjaga bahasa kromo. Orang Madura yang paham bahasa kromo tidak akan sembarangan berdialektika dalam masyarakat.

Baca Juga :  Senopati Nusantara Diminta Permudah Izin Kepemilikan Keris

Sagara Aeng Mata Ojan sebagai karya sastra yang merekam kemanusiaan dan kebudayaan. Ia meletakkan judul pertama sebagai etalase bukunya yaitu Ngonjang Balai (Mengundang Malapetaka). Puisi tersebut sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Begitu banyak bencana: banjir, gunung meletus, fitnah besar, dan sebagainya. Puisi tersebut menyatakan dengan gamblang bahwa semua malapetaka bangsa yang kita alami saat ini merupakan panggilan dari akumulasi tingkah laku negatif kita. Kitalah penyebab semua kejadian tersebut. Kitalah yang mengundang. Berikut puisi judul yang pertama, Ngonjang Balai.

Ngadhebbi kanyata’an odhi’

Se terros apello apongsa

Nete e lan-jalan longlang

Possa’ ona’ carang agalimpangan

Taker ngalocor dhara

Dhari badan geddur ta’ andhi’ ora’

………………………………………….

Banne alamma se ta’ endha’ ataretan

Apapole Pangeranna se ta’ bellas

Panggibat tanang-tanangnga manossa

Se ta’ endha’ arasop otek ban atena

Kaangguy nganggi’ aba’ ban pamengkangnga

Ngonjang balai etartar ka gas-reggas

 

Pada bagian akhir bukunya ia sengaja meletakkan judul Daddali Pote (Dadali Putih) sebagai penutup yang apik. Puisi tersebut berisi tentang pertanyaan di manakah dadali putih bersarang, sebagai tempat beristirahat. Yang dirindukan penyair adalah tempat kembali kepada dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri. Ia memohon kepada Tuhan untuk tetap kukuh memegang keyakinan di tengah zaman yang menghancurkan. Puisi terakhir tersebut semacam refleksi untuk menjawab puisi pertama dan seterusnya hingga halaman ke-80.

Ada 57 judul puisi yang keseluruhannya berbahasa Madura. Ketika membaca pada bagian daftar isi, ada beberapa judul yang mengocok rasa ingin tahu seperti Abangkang Epakdhangdhang (Telanjang di Perempatan), Ya’-Galiya’ Nyaman (Geli-Geli Nikmat), Ngellone Bulan Kaalangan (Memeluk Bulan Terhalang), dan sebagainya. Dan antologi Sagara Aeng Mata Ojan tersebut mengambil judul puisi ke-11 dalam buku tersebut.

Pada buku antologi puisi berikutnya yaitu Tang Bine Majembar Ate, ia memberikan prakata bahwa ia menulis puisi tersebut sebagai bentuk kasih sayang terhadap istri, ibu dari anak-anak yang bertepatan dengan sembilan tahun pernikahan penulisnya. Dalam prakata singkat tersebut, ia juga menyadari bahwa laki-laki (suami) sering berposisi tak mau mengalah dan bermuara istrilah tempat kesalahan. Puisi-puisi di dalamnya banyak menyebut tentang perempuan (istri) sebagai tempat menyembuhkan diri, selimut, air ketika dahaga, selalu ada bersedia, dan selalu membahagiakan.

Yang menjadi puisi pertama dalam buku tersebut adalah Angen Taresna (Angin Kasih Sayang). Puisi tersebut menyiratkan pesan kesetiaan lelaki (suami). Gerak angin mengubah musim. Kemarau berangin timur, penghujan berangin barat. Kadang condong utara, kadang juga ke selatan, tapi mengalirnya rasa cintaku hanya berpusat kepadamu. Berikut dalam bahasa Maduranya.

Gulina angen ngoba mosem

Nemor dhari temor

Nembara’ dhari bara’

Kadhang ngadhaja ngalao’

Tape gilina ate taresna

Coma aposer e dika

 

 Ngarep Bali’na Dhadhar (Berharap Terbaliknya Dedaunan Kering) menjadi puisi terakhir dalam buku tersebut. Pada halaman terakhir ia sengaja meletakkan judul tersebut sebagai harapan dan doa bahwa suatu hal yang tidak mungkin saja, bisa terjadi atas kehendak-Nya apalagi hal yang secara akal sangat mungkin terjadi. Keadaan masih bisa berubah lebih baik.

Baca Juga :  Bangun Mimpi Anak Pulau Garam

Dalam buku Tang Bine Majembar Ate terdapat 34 judul yang juga keseluruhannya berbahasa Madura. Ada beberapa judul yang cukup menyita perhatian di antaranya: Jajan Katerbi’an (Kue Ulang Tahun), Ngarontong Buwana Pao (Buah Mangga Bergelantungan), Ojan Kabunga’an (Hujan Kebahagiaan), dan sebagainya yang juga menarik dan sarat cinta. Justru yang menjadi judul buku tersebut diambil dari judul puisi yang ke-22. Dan pada judul itulah puisi khas yang disebut sebagai syi’ir Madura. Jika boleh dikiaskan, sebenarnya antologi Tang Bine Majembar Ate adalah sekumpulan rayuan yang datang dari rasa kasih sayang.

Sebagai sebuah karya sastra dengan rajutan tema yang diangkat dari kemanusiaan dan budaya orang Madura dapat disebutkan beberapa peringkat hal yang menjadi perhatian khusus penyairnya. Pertama, tentang penggambaran masyarakat milenial seperti kehilangan rasa malu, kegelisahan hati, kegundahan ekonomi rakyat kecil, kesedihan kehilangan orang tercinta, bencana alam, dan sebagainya.

Kedua, tentang masih kuatnya rasa ketuhanan masyarakat Madura seperti tawasul, pembacaan barzanji, pesan orang tua mengenai memelihara salat, dan maulidurrasul. Begitu pula dengan budaya, beberapa hal terkutip dalam kumpulan puisi antara lain betapa pentingnya memenuhi wasiat orang tua, kerata basa Madura (ungkapan singkat yang dibentuk dari susunan kata), paparegan (peribahasa), syi’ir (sajak yang bisa dilagukan), pentingnya bahasa penentu tata krama, dan sebagainya.

Ketiga, bagaimana sikap seharusnya kepada manusia yang bernama perempuan. Karena sikap perempuan sesungguhnya cerminan sikap laki-laki dalam memperlakukan perempuan dalam pandangan orang Madura.

Secara khusus, konsistensi LHAG yang menyatakan bahasa menentukan tata krama (adab) bangsa ada pada puisi yang berjudul Basa. Jejak sejarah konsistensinya dalam revitalisasi sastra Madura secara cetak dan digital dapat ditemukan dan dibuktikan dengan valid.

Dalam acara Sinau Sastra (belajar sastra) pada kanal CakNun.com 10 Desember 2020, sastrawan Iman Budhi Santoso (IBS) yang beberapa waktu lalu berpulang menyampaikan bahwa ada fenomena baru dalam dunia sastra masa kini. Hal tersebut adalah bersatunya bahasa Madura dengan bahasa Indonesia dalam kesusastraan nasional, baik melalui media cetak ataupun digital. Fenomena tersebut ternyata dibawa oleh orang-orang Madura, yang kembali ke asalnya ataupun yang masih menetap di Jogjakarta. Fenomena tersebut juga sejalan dan bersamaan dengan masuknya bahasa Jawa menjadi bagian dalam kesusastraan berbahasa Indonesia oleh sastrawan. Dalam sejarah kesusastraan nasional, Jogjakarta sebagai taman kreativitas berkarya sastra, menjadi tempat berproses hingga saat ini. Hal ini makin menguatkan kukuhnya konsistensi yang digenggam oleh LHAG.

Era kini menjadi bukaan ruang yang lebar, jenis media yang beragam, kekuatan konsistensi dan saling menyemangati, berjamurnya komunitas penulis dengan konten lokal merupakan tanah subur yang menumbuhkan buah-buah karya sastra. Seperti makin maraknya bintang-bintang di langit. Semesta karya dan karya semesta untuk kemanusiaan dan kebudayaan nusantara seperti yang dilakukan oleh Lukman Hakim AG. 

 

S. HERIANTO

Anggota Komunitas Kata Bintang

Laki-laki (suami) sering berposisi tak mau mengalah dan bermuara istrilah tempat kesalahan. Puisi-puisi di dalamnya banyak menyebut tentang perempuan (istri) sebagai tempat menyembuhkan diri, selimut, air ketika dahaga, selalu ada bersedia, dan selalu membahagiakan.

 

BAHASA menunjukkan bangsa. Basa nantowagi tatengka bangsa menjadi konsistensi dari penulis yang juga jurnalis Jawa Pos Radar Madura (JPRM) Lukman Hakim AG (LHAG) untuk menyemestakan bahasa dan budaya Madura. Konsistensi tersebut dapat ditemukan jejaknya. Beberapa di antaranya ketika ia menyampaikan makalahnya dalam Sarasehan Sastra Madura dengan tajuk Revitalisasi Sastra Madura di Kabupaten Bangkalan, 7 Desember 2017. Dalam sarasehan tersebut ia menyampaikan makalah yang berjudul Menguji Identitas Kemaduraan Orang Madura. Ia mempertanyakan apa yang telah orang tua Madura masa kini wariskan. Jangan-jangan orang tua memang menjerumuskan mereka agar terbuang dari identitas kemaduraannya. Isi makalahnya setidaknya penyadaran kembali atas identitas yang seharusnya dijunjung tinggi dan diwariskan dengan baik.


Berikutnya pada 2019 dalam Seminar Nasional Pendidikan bertema Arabat Basa, Ajaga Tengka (Merawat Bahasa, Menjaga Adab) menjadi bukti lanjutan. Tema tersebut dalam bahasa Indonesia bermakna bahwa dengan menjaga bahasa sama pentingnya dengan menjaga akhlak mulia. Tidak jauh berbeda dengan hal yang disampaikan pada acara sarasehan bahwa pendidikan karakter dapat dengan mudah melalui penggunaan bahasa Madura yang sesuai tingkatannya yang berpotensi sangat mampu membentuk akhlak yang baik. ”Sangat tidak mungkin anak yang berbahasa halus kemudian membentak orang tuanya, bahkan anak yang berbahasa enggi-bunten (bahasa kromo) tidak akan mungkin nonggul to’ot (tidak sopan) di depan orang yang wajib dihormati.”

Konsistensi tersebut tentu diikuti oleh sejumlah bukti empirik berupa kreativitas berkarya dalam bahasa Madura. Beberapa judul karyanya antara lain Cengkal Burung (Hampir Keras Kepala) dan Oreng-Oreng Palang (Orang-Orang Sial). Judul dengan bahasa Madura juga merupakan bukti keajekan LHAG dalam menjaga konsistensinya dalam melestarikan sastra Madura walaupun ia kelahiran Sumatera, namun darah Maduranya pekat.

Jauh sebelum menjadi pemimpin redaksi, ia telah mewarnai halaman JPRM dengan banyak karyanya. Setelah menjadi bagian JPRM, makin menguatkan niatnya merealisasikan bahwa bahasa menentukan perilaku bangsa (Madura). Salah satunya dengan terbitnya Tora; Satengkes Carpan Madura pada 2017 lalu. Tora berisi 63 carpan (cerpen) karya 21 penulis. Puluhan carpan tersebut merupakan karya penulis yang pernah ditebitkan di halaman Sastra Budaya JPRM sejak pekan terakhir Juli 2015 hingga Desember 2016. Ia memberi langit pada sastra Madura agar bintang-bintang kembali terang bertaburan.

Sagara Aeng Mata Ojan (Samudera Air Mata Hujan) dan Tang Bine Majembar Ate (Istriku Membahagiakan Hati) adalah dua buku kumpulan puisi karyanya akhir 2020 terbitan Sulur Pustaka. Gambar sampul kedua buku tersebut abstrak, menarik. Dengan ukuran 13×19 cm dan jumlah halaman kurang dari 100, tapi memiliki bobot nilai yang tebal dan berat.

- Advertisement -

Kedua buku tersebut juga bukti konsistensinya tetap meletakkan sastra Madura dalam langit kesusastraan, setidaknya mulai dari Jawa Timur. Sagara Aeng Mata Ojan merupakan buku cetakan ke-2 sejak kelahirannya tahun 2008. Pada bagian prakata LHAG menyampaikan bahwa memelihara dan melestarikan bahasa Madura adalah kewajiban yang diwariskan oleh orang tua. Salah satu cara menjadi beradab yaitu dengan menjaga bahasa kromo. Orang Madura yang paham bahasa kromo tidak akan sembarangan berdialektika dalam masyarakat.

Baca Juga :  Tamar Saraseh: Seni Adalah Bentuk dari Kebebasan dan Kejujuran

Sagara Aeng Mata Ojan sebagai karya sastra yang merekam kemanusiaan dan kebudayaan. Ia meletakkan judul pertama sebagai etalase bukunya yaitu Ngonjang Balai (Mengundang Malapetaka). Puisi tersebut sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Begitu banyak bencana: banjir, gunung meletus, fitnah besar, dan sebagainya. Puisi tersebut menyatakan dengan gamblang bahwa semua malapetaka bangsa yang kita alami saat ini merupakan panggilan dari akumulasi tingkah laku negatif kita. Kitalah penyebab semua kejadian tersebut. Kitalah yang mengundang. Berikut puisi judul yang pertama, Ngonjang Balai.

Ngadhebbi kanyata’an odhi’

Se terros apello apongsa

Nete e lan-jalan longlang

Possa’ ona’ carang agalimpangan

Taker ngalocor dhara

Dhari badan geddur ta’ andhi’ ora’

………………………………………….

Banne alamma se ta’ endha’ ataretan

Apapole Pangeranna se ta’ bellas

Panggibat tanang-tanangnga manossa

Se ta’ endha’ arasop otek ban atena

Kaangguy nganggi’ aba’ ban pamengkangnga

Ngonjang balai etartar ka gas-reggas

 

Pada bagian akhir bukunya ia sengaja meletakkan judul Daddali Pote (Dadali Putih) sebagai penutup yang apik. Puisi tersebut berisi tentang pertanyaan di manakah dadali putih bersarang, sebagai tempat beristirahat. Yang dirindukan penyair adalah tempat kembali kepada dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri. Ia memohon kepada Tuhan untuk tetap kukuh memegang keyakinan di tengah zaman yang menghancurkan. Puisi terakhir tersebut semacam refleksi untuk menjawab puisi pertama dan seterusnya hingga halaman ke-80.

Ada 57 judul puisi yang keseluruhannya berbahasa Madura. Ketika membaca pada bagian daftar isi, ada beberapa judul yang mengocok rasa ingin tahu seperti Abangkang Epakdhangdhang (Telanjang di Perempatan), Ya’-Galiya’ Nyaman (Geli-Geli Nikmat), Ngellone Bulan Kaalangan (Memeluk Bulan Terhalang), dan sebagainya. Dan antologi Sagara Aeng Mata Ojan tersebut mengambil judul puisi ke-11 dalam buku tersebut.

Pada buku antologi puisi berikutnya yaitu Tang Bine Majembar Ate, ia memberikan prakata bahwa ia menulis puisi tersebut sebagai bentuk kasih sayang terhadap istri, ibu dari anak-anak yang bertepatan dengan sembilan tahun pernikahan penulisnya. Dalam prakata singkat tersebut, ia juga menyadari bahwa laki-laki (suami) sering berposisi tak mau mengalah dan bermuara istrilah tempat kesalahan. Puisi-puisi di dalamnya banyak menyebut tentang perempuan (istri) sebagai tempat menyembuhkan diri, selimut, air ketika dahaga, selalu ada bersedia, dan selalu membahagiakan.

Yang menjadi puisi pertama dalam buku tersebut adalah Angen Taresna (Angin Kasih Sayang). Puisi tersebut menyiratkan pesan kesetiaan lelaki (suami). Gerak angin mengubah musim. Kemarau berangin timur, penghujan berangin barat. Kadang condong utara, kadang juga ke selatan, tapi mengalirnya rasa cintaku hanya berpusat kepadamu. Berikut dalam bahasa Maduranya.

Gulina angen ngoba mosem

Nemor dhari temor

Nembara’ dhari bara’

Kadhang ngadhaja ngalao’

Tape gilina ate taresna

Coma aposer e dika

 

 Ngarep Bali’na Dhadhar (Berharap Terbaliknya Dedaunan Kering) menjadi puisi terakhir dalam buku tersebut. Pada halaman terakhir ia sengaja meletakkan judul tersebut sebagai harapan dan doa bahwa suatu hal yang tidak mungkin saja, bisa terjadi atas kehendak-Nya apalagi hal yang secara akal sangat mungkin terjadi. Keadaan masih bisa berubah lebih baik.

Baca Juga :  Pertama, Sastra Madura Dapat Hadiah Rancage

Dalam buku Tang Bine Majembar Ate terdapat 34 judul yang juga keseluruhannya berbahasa Madura. Ada beberapa judul yang cukup menyita perhatian di antaranya: Jajan Katerbi’an (Kue Ulang Tahun), Ngarontong Buwana Pao (Buah Mangga Bergelantungan), Ojan Kabunga’an (Hujan Kebahagiaan), dan sebagainya yang juga menarik dan sarat cinta. Justru yang menjadi judul buku tersebut diambil dari judul puisi yang ke-22. Dan pada judul itulah puisi khas yang disebut sebagai syi’ir Madura. Jika boleh dikiaskan, sebenarnya antologi Tang Bine Majembar Ate adalah sekumpulan rayuan yang datang dari rasa kasih sayang.

Sebagai sebuah karya sastra dengan rajutan tema yang diangkat dari kemanusiaan dan budaya orang Madura dapat disebutkan beberapa peringkat hal yang menjadi perhatian khusus penyairnya. Pertama, tentang penggambaran masyarakat milenial seperti kehilangan rasa malu, kegelisahan hati, kegundahan ekonomi rakyat kecil, kesedihan kehilangan orang tercinta, bencana alam, dan sebagainya.

Kedua, tentang masih kuatnya rasa ketuhanan masyarakat Madura seperti tawasul, pembacaan barzanji, pesan orang tua mengenai memelihara salat, dan maulidurrasul. Begitu pula dengan budaya, beberapa hal terkutip dalam kumpulan puisi antara lain betapa pentingnya memenuhi wasiat orang tua, kerata basa Madura (ungkapan singkat yang dibentuk dari susunan kata), paparegan (peribahasa), syi’ir (sajak yang bisa dilagukan), pentingnya bahasa penentu tata krama, dan sebagainya.

Ketiga, bagaimana sikap seharusnya kepada manusia yang bernama perempuan. Karena sikap perempuan sesungguhnya cerminan sikap laki-laki dalam memperlakukan perempuan dalam pandangan orang Madura.

Secara khusus, konsistensi LHAG yang menyatakan bahasa menentukan tata krama (adab) bangsa ada pada puisi yang berjudul Basa. Jejak sejarah konsistensinya dalam revitalisasi sastra Madura secara cetak dan digital dapat ditemukan dan dibuktikan dengan valid.

Dalam acara Sinau Sastra (belajar sastra) pada kanal CakNun.com 10 Desember 2020, sastrawan Iman Budhi Santoso (IBS) yang beberapa waktu lalu berpulang menyampaikan bahwa ada fenomena baru dalam dunia sastra masa kini. Hal tersebut adalah bersatunya bahasa Madura dengan bahasa Indonesia dalam kesusastraan nasional, baik melalui media cetak ataupun digital. Fenomena tersebut ternyata dibawa oleh orang-orang Madura, yang kembali ke asalnya ataupun yang masih menetap di Jogjakarta. Fenomena tersebut juga sejalan dan bersamaan dengan masuknya bahasa Jawa menjadi bagian dalam kesusastraan berbahasa Indonesia oleh sastrawan. Dalam sejarah kesusastraan nasional, Jogjakarta sebagai taman kreativitas berkarya sastra, menjadi tempat berproses hingga saat ini. Hal ini makin menguatkan kukuhnya konsistensi yang digenggam oleh LHAG.

Era kini menjadi bukaan ruang yang lebar, jenis media yang beragam, kekuatan konsistensi dan saling menyemangati, berjamurnya komunitas penulis dengan konten lokal merupakan tanah subur yang menumbuhkan buah-buah karya sastra. Seperti makin maraknya bintang-bintang di langit. Semesta karya dan karya semesta untuk kemanusiaan dan kebudayaan nusantara seperti yang dilakukan oleh Lukman Hakim AG. 

 

S. HERIANTO

Anggota Komunitas Kata Bintang

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/