24 C
Madura
Wednesday, June 7, 2023

Memperjuangkan Dendam

Cerpen MUHTADI ZL.*

BUKAN tidak ada bara dalam dada. Bukan karena tidak berani untuk melawan. Bukan tidak geram ketika mereka di mana-mana. Hanya saja, tikus negara yang dipenuhi jiwa rimba, rakus terhadap sesama, sudah tidak terhitung jumlahnya. Meski salah gerombolan, kumis merah tetap dilindungi pengacara dan intelijen negara yang telah dicuci otak dengan lembar-lembar biru-merah muda.

Tiba-tiba, Mamang menutup buku dan melemparnya ke kasur. Pikirannya bercampur aduk antara memperjuangkan keadilan seorang diri serta mati konyol dengan mata merah perih dan diinjak-injak beribu kaki yang lari pontang-panting sebab diburu oleh pasukan abu-abu rapi. Sebagai aktivis kampus, ia tidak terima apabila yang salah dibela sampai titik darah penghabisan, bahkan nyaris dibela sampai mati. Bahkan, ia sempat mengecam ”tolol” karena bukan kebenaran yang diperjuangkan, melainkan kebatilan yang menyengsarakan.

Lagi-lagi ia hanya bisa mendengus kesal pada diri sendiri sebab tidak mampu memperjuangkan sebagaimana prinsip di organisasinya. Dirinya merasa benar-benar bersalah. Tetapi, apa yang harus ia tebus untuk melunasi kesalahannya? Mati konyol di depan pejuang neraka dunia? Bukankah itu lebih tolol dari calon wakil rakyat yang persentase kegagalannya sembilan puluh delapan persen untuk duduk di kursi kemungkaran?

Semakin kesal saja Mamang, setelah berselang beberapa bulan, orang kekar baju abu-abu tertangkap pembunuhan berantai. Di barisan abu-abu, lelaki itu bisa dikata tetua, buktinya bintang sembilan dapat ia sandang untuk menakut-nakuti orang-orang lemah. Sebenarnya, Mamang sudah mewanti-wanti bahwa seragam abu-abu tidak bisa selamanya menjadi pelindung, sebab kata guru alifnya sewaktu di desa, tak ada ketaatan yang sungguh teramat selain malaikat.

”Semakin maju, maka orang bodoh akan semakin berkeliaran, Nak,” percakapan itu terjadi setelah Mamang selesai berjemaah Isya tempo lalu.

Kala itu, Mamang tidak banyak berkomentar perihal apa yang guru alifnya utarakan. Ia tidak begitu paham maksud dari kalimat singkat itu. Hanya, ia tahu, kalau kalimat itu terlontar setelah guru alif merasa dibodohi oleh orang-orang berseragam cokelat mencolok; aparat desa.

”Kau jangan ada di barisan orang-orang seperti itu kelak, kecuali kau mau melawan. Maka, nyawa siap jadi taruhan,” pinta guru alifnya setelah butiran air jatuh pelan di garis keriput di pipinya.

Setiap kata yang diucapkan guru alifnya, sedikitpun tidak ia lupa. Kata-kata itu sudah menjadi percikan semangat untuk terus menegakkan keadilan. Ia sudah tidak peduli bilamana nyawa terancam karena melawan pasukan abu-abu. Meski begitu, ia tidak punya massa untuk melakukannya. Tidak punya massa , sama saja Mamang menyerahkan nyawa begitu saja di depan Izrail dunia.

Keberadaan penguasa tidak mampu lagi dijadikan tempat berteduh menuju aman. Di bawah cengkeraman penguasa, tidak ada yang bisa diandalkan selain menikmati drama kemiskinan dan kematian yang disutradarai mereka, dan diaktori oleh rakyat sendiri. Kemahiran mereka dalam memanipulasi segala, sudah Mamang ketahui lebih dari cukup. Hanya, sekali lagi, andai ia punya massa , di depan pedemo, dirinya sudah berdiri memegang megafon dengan gegap gempita.

Baca Juga :  Neng Faizah dan Wasiat Abi

Mamang tidak pernah mengkhawatrikan dirinya, ia selalu memikirkan nasib rakyat jelata yang selalu manut pada sang raja. Mereka tidak berani banyak bicara, takut peluru senapan laras panjang tembus di kepala. Bahkan, ia juga khawatir kepada nasib negara, jika bukan orang-orang yang seperti dirinya, pasti bau anyir sudah di mana-mana. Jasad dengan mata mendelik tergelepar tiada kira. Bising tangis ibu dan anak-anak yang menderu-deru dan menggema di mana-mana bahkan mengudara, menjadi nyanyian karib yang menghiasi gendang telinga dari fajar sampai senja.

Bayangan mengerikan itu benar terpatri dalam tempurung kepala Mamang. Ia sudah teramat bosan dengan janji-janji maskapai negara, atau seragam abu-abu apalagi loreng yang selalu menjadi pengaman di desa-desa, berfatwa perihal kedamaian negara. Nyatanya apa, justru mereka menjadi aktor terbaik dalam menggemparkan publik negara dengan cara mereka yang begitu najis dan biadab.

Kedisiplinan, memang diakui dalam pendidikan dasar mereka. Dari saking disiplinnya, pembunuhan berantai yang direncanakan begitu rapi tanpa sesiapa yang tahu. Atau kawan lain yang teramat disiplin dalam menyimpan serbuk putih. Lalu Mamang mencoba merenung, lalu bertanya sendiri, begitukah yang disebut penegak hukum di negara berpenguasa zionis? Jika demikian, apa yang bisa dilakukan dirinya dan orang-orang melarat untuk ”hanya” bertahan hidup? Begitukah yang disebut keadilan, memakmurkan keluarga penguasa dengan ragam beribu cara?

Maka, di media sosial Mamang mem-posting, dengan tagar ”save negara tidak baik-baik saja.” Dengan foto demonstrasi yang lari tunggang-langgang menghindari hujan gas air mata. Juga dua foto kecil di samping bawah pojok kiri, dua orang mantan seragam abu-abu berkaus tahanan menunduk ketika dijepret kamera. Begitu menyesal dua orang dalam foto itu, tetapi Mamang juga tahu, penyesalan di raut wajah munafiknya itu hanya dibuat-buat. Dalam arti, mereka hanya memonopoli media agar sesuatu yang jelek melekat pada penguasa negara tidak dipublikasikan, barangkali media tidak berani melakukan itu karena sudah dicuci dengan kertas warna merah dan biru pula.

”Bukankah keadilan harus ditegakkan?” Mamang menjawab pertanyaan seseorang di seberang telepon sana.

”Keadilan memang harus ditegakkan, akan tetapi, kita tidak punya orang, tidak punya jabatan, tidak punya banyak uang, kita tidak punya segala. Kau perlu tahu, kita hanya punya kemiskinan yang berkepanjangan, itu saja, tidak lebih,” suara di seberang sana begitu keras menghantam dada yang telah lama diselubungi bara.

”Lalu, apakah kau akan menyebut bahwa merawat kemiskinan adalah keadilan?”

”Bagi orang seperti kita, iya, tetapi apabila kemiskinan kita direbut atau bahkan disengsarakan, itu sama saja merampas keadilan kita sebagai orang miskin. Tetapi kau tidak perlu khawatir, Mang, karena tidak akan ada di antara mereka yang berani menjadi miskin seperti kita.”

Baca Juga :  Cerpen KHAIRIL ANWAR: Bigalan

”Kau percaya kalau Bhinneka Tunggal Ika hanya untuk para penguasa?”

”Tidak, aku tidak percaya, sama sekali tidak pernah percaya.”

”Maksudmu?”

”Bhinneka Tunggal Ika itu untuk sesama, tidak ada yang boleh ditinggikan, akan tetapi kau perlu tahu bahwa kemiskinan kita yang tidak mampu bersaing dengan para penguasa kaya. Ini hanya kesalahan kita karena tidak mampu menyaingkan kemiskinan kita.”

”Aku tidak mengerti dengan cara bicaramu.”

”Kau yang tidak mengerti dengan kondisimu. Tidak punya massa mau melawan penguasa. Itu kan namanya tolol, menyerahkan nyawa begitu saja.”

Mamang kesal dengan orang di seberang sana. Cepat-cepat ia menekan tombol merah di layar HP batangnya. Orang yang mengajaknya bicara tidak lain adalah seniornya yang ia pintai bantuan untuk mendemonstrasi tempat ”tidur” rapat penguasa.

Dirinya tidak tahu harus melakukan apa untuk memajukan kemiskinannya agar mampu bersaing dengan para penguasa. Bahkan bila perlu, kemiskinan sejatinya keadilan yang sebenar-benarnya bagi setiap manusia di negara yang subur korupsinya. Barangkali bukan hanya itu yang bisa menjadi kebanggaan negara subur korupnya, julukan negara hipokrit barangkali juga sangat cocok, mengingat tidak ada yang benar-benar jujur selain orang-orang miskin yang saban hari menahan lapar. Tetapi, itu hanya kejujuran belaka, bukan tindakan yang biasa dilakukan banyak penguasa. Karena ia tahu, semenjak kiai kampungnya berdawuh kala itu, orang-orang yang duduk rileks di gedung putih tidak akan pernah menampakkan kejujuran yang sebenar-benarnya.

Mamang masih tetap dalam kamar, tidak sedikitpun pikirannya beranjak menuju hal lain yang mesti ia dahulukan. Akan tetapi, ia sudah berapa kali menahan sabar, menikmati segala cambukan janji yang diumbar. Belum lagi penegak hukum seragam abu-abu malah menjilat ludahnya sendiri, nyaris menyerupai anjing yang tidak akan pernah bosan menjilat ludah sendiri. Tatapannya tajam melorot pada siaran televisi swasta.

Bara dalam dada semakin membuncah. Setelah dalam siaran itu diketahui brigjen seragam abu-abu berganti seragam oranye dibela sampai mati-matian. Ia menyesali karena stasiun televisi juga tercuci otaknya pun turut mengaburkan kesalahan penguasa negara. Pekerjaan berpahala besar yang sungguh-sungguh rugi kalau tidak dikerjakan. Begitu kira-kira pikir mereka.

Mamang mengambil remot di atas tivinya. Mengganti siaran televisi dan berhenti di siaran demonstran mati terinjak-injak karena gas air mata yang dilemparkan ke segala arah tanpa mengakurasi siapa targetnya. Dan, di antara keadilan itu, dirinya sedang berlari tunggang-langgang.

Bagaimanakah sebenarnya keadilan? Gumamnya dalam kemelut takut. (*)

Annuqayah Lubangsa, 26 November 2022 M.

*)Kelahiran Sukogidri, Ledokombo, Jember. Alumni SMA dan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep. Berproses di Komunitas Sangkar Kata dan Komunitas Penulis Kreatif (KPK)-Iksaj.

Cerpen MUHTADI ZL.*

BUKAN tidak ada bara dalam dada. Bukan karena tidak berani untuk melawan. Bukan tidak geram ketika mereka di mana-mana. Hanya saja, tikus negara yang dipenuhi jiwa rimba, rakus terhadap sesama, sudah tidak terhitung jumlahnya. Meski salah gerombolan, kumis merah tetap dilindungi pengacara dan intelijen negara yang telah dicuci otak dengan lembar-lembar biru-merah muda.

Tiba-tiba, Mamang menutup buku dan melemparnya ke kasur. Pikirannya bercampur aduk antara memperjuangkan keadilan seorang diri serta mati konyol dengan mata merah perih dan diinjak-injak beribu kaki yang lari pontang-panting sebab diburu oleh pasukan abu-abu rapi. Sebagai aktivis kampus, ia tidak terima apabila yang salah dibela sampai titik darah penghabisan, bahkan nyaris dibela sampai mati. Bahkan, ia sempat mengecam ”tolol” karena bukan kebenaran yang diperjuangkan, melainkan kebatilan yang menyengsarakan.


Lagi-lagi ia hanya bisa mendengus kesal pada diri sendiri sebab tidak mampu memperjuangkan sebagaimana prinsip di organisasinya. Dirinya merasa benar-benar bersalah. Tetapi, apa yang harus ia tebus untuk melunasi kesalahannya? Mati konyol di depan pejuang neraka dunia? Bukankah itu lebih tolol dari calon wakil rakyat yang persentase kegagalannya sembilan puluh delapan persen untuk duduk di kursi kemungkaran?

Semakin kesal saja Mamang, setelah berselang beberapa bulan, orang kekar baju abu-abu tertangkap pembunuhan berantai. Di barisan abu-abu, lelaki itu bisa dikata tetua, buktinya bintang sembilan dapat ia sandang untuk menakut-nakuti orang-orang lemah. Sebenarnya, Mamang sudah mewanti-wanti bahwa seragam abu-abu tidak bisa selamanya menjadi pelindung, sebab kata guru alifnya sewaktu di desa, tak ada ketaatan yang sungguh teramat selain malaikat.

”Semakin maju, maka orang bodoh akan semakin berkeliaran, Nak,” percakapan itu terjadi setelah Mamang selesai berjemaah Isya tempo lalu.

Kala itu, Mamang tidak banyak berkomentar perihal apa yang guru alifnya utarakan. Ia tidak begitu paham maksud dari kalimat singkat itu. Hanya, ia tahu, kalau kalimat itu terlontar setelah guru alif merasa dibodohi oleh orang-orang berseragam cokelat mencolok; aparat desa.

- Advertisement -

”Kau jangan ada di barisan orang-orang seperti itu kelak, kecuali kau mau melawan. Maka, nyawa siap jadi taruhan,” pinta guru alifnya setelah butiran air jatuh pelan di garis keriput di pipinya.

Setiap kata yang diucapkan guru alifnya, sedikitpun tidak ia lupa. Kata-kata itu sudah menjadi percikan semangat untuk terus menegakkan keadilan. Ia sudah tidak peduli bilamana nyawa terancam karena melawan pasukan abu-abu. Meski begitu, ia tidak punya massa untuk melakukannya. Tidak punya massa , sama saja Mamang menyerahkan nyawa begitu saja di depan Izrail dunia.

Keberadaan penguasa tidak mampu lagi dijadikan tempat berteduh menuju aman. Di bawah cengkeraman penguasa, tidak ada yang bisa diandalkan selain menikmati drama kemiskinan dan kematian yang disutradarai mereka, dan diaktori oleh rakyat sendiri. Kemahiran mereka dalam memanipulasi segala, sudah Mamang ketahui lebih dari cukup. Hanya, sekali lagi, andai ia punya massa , di depan pedemo, dirinya sudah berdiri memegang megafon dengan gegap gempita.

Baca Juga :  Batal Haji (Cerpen JOE MAWAR*)

Mamang tidak pernah mengkhawatrikan dirinya, ia selalu memikirkan nasib rakyat jelata yang selalu manut pada sang raja. Mereka tidak berani banyak bicara, takut peluru senapan laras panjang tembus di kepala. Bahkan, ia juga khawatir kepada nasib negara, jika bukan orang-orang yang seperti dirinya, pasti bau anyir sudah di mana-mana. Jasad dengan mata mendelik tergelepar tiada kira. Bising tangis ibu dan anak-anak yang menderu-deru dan menggema di mana-mana bahkan mengudara, menjadi nyanyian karib yang menghiasi gendang telinga dari fajar sampai senja.

Bayangan mengerikan itu benar terpatri dalam tempurung kepala Mamang. Ia sudah teramat bosan dengan janji-janji maskapai negara, atau seragam abu-abu apalagi loreng yang selalu menjadi pengaman di desa-desa, berfatwa perihal kedamaian negara. Nyatanya apa, justru mereka menjadi aktor terbaik dalam menggemparkan publik negara dengan cara mereka yang begitu najis dan biadab.

Kedisiplinan, memang diakui dalam pendidikan dasar mereka. Dari saking disiplinnya, pembunuhan berantai yang direncanakan begitu rapi tanpa sesiapa yang tahu. Atau kawan lain yang teramat disiplin dalam menyimpan serbuk putih. Lalu Mamang mencoba merenung, lalu bertanya sendiri, begitukah yang disebut penegak hukum di negara berpenguasa zionis? Jika demikian, apa yang bisa dilakukan dirinya dan orang-orang melarat untuk ”hanya” bertahan hidup? Begitukah yang disebut keadilan, memakmurkan keluarga penguasa dengan ragam beribu cara?

Maka, di media sosial Mamang mem-posting, dengan tagar ”save negara tidak baik-baik saja.” Dengan foto demonstrasi yang lari tunggang-langgang menghindari hujan gas air mata. Juga dua foto kecil di samping bawah pojok kiri, dua orang mantan seragam abu-abu berkaus tahanan menunduk ketika dijepret kamera. Begitu menyesal dua orang dalam foto itu, tetapi Mamang juga tahu, penyesalan di raut wajah munafiknya itu hanya dibuat-buat. Dalam arti, mereka hanya memonopoli media agar sesuatu yang jelek melekat pada penguasa negara tidak dipublikasikan, barangkali media tidak berani melakukan itu karena sudah dicuci dengan kertas warna merah dan biru pula.

”Bukankah keadilan harus ditegakkan?” Mamang menjawab pertanyaan seseorang di seberang telepon sana.

”Keadilan memang harus ditegakkan, akan tetapi, kita tidak punya orang, tidak punya jabatan, tidak punya banyak uang, kita tidak punya segala. Kau perlu tahu, kita hanya punya kemiskinan yang berkepanjangan, itu saja, tidak lebih,” suara di seberang sana begitu keras menghantam dada yang telah lama diselubungi bara.

”Lalu, apakah kau akan menyebut bahwa merawat kemiskinan adalah keadilan?”

”Bagi orang seperti kita, iya, tetapi apabila kemiskinan kita direbut atau bahkan disengsarakan, itu sama saja merampas keadilan kita sebagai orang miskin. Tetapi kau tidak perlu khawatir, Mang, karena tidak akan ada di antara mereka yang berani menjadi miskin seperti kita.”

Baca Juga :  Satu Malam Bernilai Seribu Bulan

”Kau percaya kalau Bhinneka Tunggal Ika hanya untuk para penguasa?”

”Tidak, aku tidak percaya, sama sekali tidak pernah percaya.”

”Maksudmu?”

”Bhinneka Tunggal Ika itu untuk sesama, tidak ada yang boleh ditinggikan, akan tetapi kau perlu tahu bahwa kemiskinan kita yang tidak mampu bersaing dengan para penguasa kaya. Ini hanya kesalahan kita karena tidak mampu menyaingkan kemiskinan kita.”

”Aku tidak mengerti dengan cara bicaramu.”

”Kau yang tidak mengerti dengan kondisimu. Tidak punya massa mau melawan penguasa. Itu kan namanya tolol, menyerahkan nyawa begitu saja.”

Mamang kesal dengan orang di seberang sana. Cepat-cepat ia menekan tombol merah di layar HP batangnya. Orang yang mengajaknya bicara tidak lain adalah seniornya yang ia pintai bantuan untuk mendemonstrasi tempat ”tidur” rapat penguasa.

Dirinya tidak tahu harus melakukan apa untuk memajukan kemiskinannya agar mampu bersaing dengan para penguasa. Bahkan bila perlu, kemiskinan sejatinya keadilan yang sebenar-benarnya bagi setiap manusia di negara yang subur korupsinya. Barangkali bukan hanya itu yang bisa menjadi kebanggaan negara subur korupnya, julukan negara hipokrit barangkali juga sangat cocok, mengingat tidak ada yang benar-benar jujur selain orang-orang miskin yang saban hari menahan lapar. Tetapi, itu hanya kejujuran belaka, bukan tindakan yang biasa dilakukan banyak penguasa. Karena ia tahu, semenjak kiai kampungnya berdawuh kala itu, orang-orang yang duduk rileks di gedung putih tidak akan pernah menampakkan kejujuran yang sebenar-benarnya.

Mamang masih tetap dalam kamar, tidak sedikitpun pikirannya beranjak menuju hal lain yang mesti ia dahulukan. Akan tetapi, ia sudah berapa kali menahan sabar, menikmati segala cambukan janji yang diumbar. Belum lagi penegak hukum seragam abu-abu malah menjilat ludahnya sendiri, nyaris menyerupai anjing yang tidak akan pernah bosan menjilat ludah sendiri. Tatapannya tajam melorot pada siaran televisi swasta.

Bara dalam dada semakin membuncah. Setelah dalam siaran itu diketahui brigjen seragam abu-abu berganti seragam oranye dibela sampai mati-matian. Ia menyesali karena stasiun televisi juga tercuci otaknya pun turut mengaburkan kesalahan penguasa negara. Pekerjaan berpahala besar yang sungguh-sungguh rugi kalau tidak dikerjakan. Begitu kira-kira pikir mereka.

Mamang mengambil remot di atas tivinya. Mengganti siaran televisi dan berhenti di siaran demonstran mati terinjak-injak karena gas air mata yang dilemparkan ke segala arah tanpa mengakurasi siapa targetnya. Dan, di antara keadilan itu, dirinya sedang berlari tunggang-langgang.

Bagaimanakah sebenarnya keadilan? Gumamnya dalam kemelut takut. (*)

Annuqayah Lubangsa, 26 November 2022 M.

*)Kelahiran Sukogidri, Ledokombo, Jember. Alumni SMA dan Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk, Sumenep. Berproses di Komunitas Sangkar Kata dan Komunitas Penulis Kreatif (KPK)-Iksaj.

Artikel Terkait

Pergulatan Umat Kristen Madura

Merdekakan Keuangan Sekolah

Musim Karnaval Telah Tiba

Sanja’ Agus Widiey

Most Read

Artikel Terbaru

/