TAMAN Bunga (TB) dan Taman Tajamara adalah dua taman kebanggaan warga Sumenep yang selalu menjadi objek kunjungan masyarakat yang datang ke kota. Asri, sejuk, dan indah. Cukup representatif untuk sekadar melepas lelah dan memanjakan mata.
Secara geografis, TB & Tajamara berada pada posisi sangat strategis yang menghubungkan semua arah jalur di Kota Sumenep. Maka, keberadaan dua taman ini tentu menjadi objek vital yang tidak pernah sepi dari sorotan mata. Karenanya, segala hal yang berkaitan dengan keduanya, termasuk sajian warna, tentu tidak asal comot seperti memilih kucing dalam karung. Segalanya semestinya mewakili eksistensi Sumenep, baik sejarah, tradisi, kebudayaan, bahkan mungkin semangat psikologi kekinian dan masa depan Sumenep.
Lebih jauh, dua taman Kota Arya Wiraraja itu sudah selayaknya tak hanya menyajikan spektrum warna untuk sekadar memantulkan panorama indah demi memuaskan mata para penikmat estetika dalam diri suatu benda semata. Tetapi, juga mengetengahkan sebuah pesan penting tentang kekuatan intrinsik warna itu sendiri. Mungkin.
Seperti kata para pemerhati simbol, warna mempunyai makna berdasarkan naluri si pewarna. Ia tak hanya menyajikan nilai estetis pada benda yang dibawa, melainkan juga membawa kepentingan dari siapa yang menghendaki warna.
Dalam teori semiologi, meminjam bahasa tuan Zoest (1993), segala sesuatu yang dapat diamati atau teramati bisa disebut tanda. Dan setiap tanda selalu merepresentasikan kondisi, perasaan, ide dan gagasan, serta situasi di luar tanda itu sendiri. Maka, warna pun bisa menjadi tanda dari suatu gagasan penting yang tersembunyi di balik pilihan warna tersebut.
Singkatnya, pada kedua taman di atas, secara semiotik seolah membangun sebuah monumen warna (cerita, situasi, gagasan, pemikiran, atau cita-cita) tentang Sumenep. Entahlah.
Merah-Hijau
Dengan demikian, menjadi menarik untuk mengintip pesan-pesan semiotik pada warna tulisan ”Taman Tajamara” dan ”The Soul of Madura” di TB yang didominasi oleh kombinasi warna merah dan hijau. Termasuk pula –dan ini yang lebih menarik– warna yang disuguhkan pada ucapan ”Selamat Datang di Kota Keris”, dengan warna merah besar mencolok pada ”Kota Keris” dan warna putih berukuran kecil (agak tersembunyi pula) pada ”Selamat Datang”.
Secara keseluruhan, dari beberapa objek pemandangan di kawasan Kota Sumenep (selain masjid) nyaris selalu didominasi tulisan berwarna merah dan hijau. Fenomena ini tentu sedikit menggelitik penulis untuk sedikit bertanya nakal: mengapa mesti merah-hijau, dan bukan biru-hijau atau hijau-hijau, misalnya? Adakah dua warna (merah-hijau) ini memiliki makna historis bagi Sumenep, seperti halnya kuning yang mewarnai bangunan Masjid Jamik yang konon mewakili latar belakang arsitektur Lauw Piango yang berasal dari Tiongkok? Atau, mungkinkah kombinasi dua warna tersebut mencerminkan suatu kondisi kekinian Sumenep? Ataukah, masa depan Sumenep yang hendak disulap menjadi kota merah-hijau? Tapi, merah-hijau yang bagaimana dan sampai kapan?
Pada medio Februari 2019, penulis pernah melancong ke Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Di sela-sela waktu, penulis menyempatkan diri nyeberang ke Pulau Penyengat untuk berziarah ke makam Daeng Marewah, Daeng Chelak, Daeng Parani, Daeng Kemasi, dan Daeng Penambun (baca: Pasang Surut Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang). Mereka adalah putra bangsawan Sulawesi yang punya andil besar dalam mempertahankan kesultanan. Saya berkepentingan untuk ziarah, karena menurut sesepuh kami masih memiliki hubungan kekerabatan (meski sudah jauh).
Dari jauh, pulau yang merupakan hadiah perkawinan dari Sultan Mahmud Syah kepada sang isteri Engku Raja Hamidah itu sudah menyuguhkan warna kuning yang sangat dominan. Pelabuhan, bangunan rumah, hingga Masjid Agung Sultan Riau, semuanya menggunakan warna kuning dengan sedikit kombinasi hijau. Konon, warna kuning memiliki makna filosofis yang berarti kejayaan. Warna kebesaran raja-sultan. Itu sebabnya, masyarakat di sana mengabadikan warna kuning sebagai warna khas untuk menggambarkan semangat bekerja untuk meraih kejayaan hidup di dunia maupun akhirat.
Biru Daun
Sebagai kota yang memiliki latar belakang sejarah besar, perhatian Sumenep terhadap identitas warna tentu sangat minim bila dibandingkan dengan Pulau Penyengat. Meski itu bukan suatu keharusan. Sebab, rendahnya eksplorasi warna khusus bernilai sejarah.
Kecuali, pengungkapan warna ”biru daun” yang cukup populer dilabeli sebagai warna ”kebesaran” masyarakat Madura, tidak terkecuali Sumenep. Itu pun popularitas biru daun tidak lebih sebagai lokalisasi dari warna hijau (dalam bahasa resmi KBBI) berdasarkan kebiasaan bahasa masyarakat awam. Bukan sebagai identitas sejarah, apalagi gagasan tentang Madura kini atau ke depan.
Namun, bukan berarti biru daun tertutup ruang untuk dikonversi menjadi warna bernilai semiotik, khususnya di Sumenep. Artinya, (bila tak ada warna lain yang layak eksplorasi sebagai identitas) sangat mungkin untuk menjadikan biru daun sebagai simbol gagasan tentang Sumenep ke depan, bila ruang sejarah tidak memungkinkan untuk mengadopsi dan mengeksplorasi.
Meski, segalanya tetap berpulang pada para pemerhati simbol warna, dan tentu saja (mungkin) para pemangku kebijakan untuk sedikit menaruh perhatian pada identitas warna. Baik biru daun sebagi kombinasi warna biru dalam arti yang sesungguhnya dengan ”daun” sebagai representasi warna hijau (biru-hijau), maupun biru daun dalam pengertian lokal (hijau total). Tinggal bagaimana kita mampu mengisi makna filosofi pada biru daun tersebut.
’Ala kullu hal, memang warna tertentu tidak mesti menjadi identitas tunggal. Namun, pilihan warna ada kalanya menjadi petanda dari mana kita akan mengawali dan ke mana navigasi gagasan hendak diarahkan. Wallahu a’lam.
*)Pemerhati taman Kepulauan Sapeken