oleh AKHMAD SAID HIDAYAT*
KALAU mendengar kata Madura, tentunya yang ada di benak kita adalah masyarakat yang keras, kasar serta mempunyai tradisi atau budaya yang tanpa kompromi dan selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Hal ini didukung dengan simbol celurit yang dianggap sebagai bagian dari kekerasan.
Tak bisa dipungkiri bahwa celurit merupakan bagian dari orang Madura. Celurit dianggap oleh sebagian besar masyarakat Madura adalah sekep. Sekep itu dapat diartikan sebagai benda atau senjata yang dibawa untuk menjaga kemungkinan terjadi perkelahian. Dikatakan sombong orang tersebut apabila tidak membawa sekep, itu artinya orang tersebut bisa mengandalkan tangan hampa tanpa bantuan dari sekep.
Beberapa stigma orang luar terhadap celurit itu karena banyak yang kurang paham filosofi sekep celurit tersebut. Padahal, filosofi celurit itu adalah kebengkokannya yang dilambangkan barisan tulang rusuk laki-laki yang berkurang karena diciptakan oleh Allah SWT menjadi perempuan. Untuk mengganti bagian yang hilang itu, orang Madura menggantinya dengan celurit yang dibuat sekep.
Orang Madura terkenal dengan masyarakat perantau. Maka tak heran jika orang Madura ada di mana-mana dan hanya membawa bekal sekep. Sehingga, ketika bekal sekep” tersebut dibawa dan dilaksanakan secara istiqamah, maka akan selamat di dunia maupun di akhirat.
Saya tertarik juga untuk membekali murid saya dengan sekep, karena setelah dicerna berulang kali, kata ini mempunyai akronim yang sesuai dengan salah satu dimensi profil pelajar Pancasila. Pemberian bekal sekep ini dilatarbelakangi oleh keresahan saya terhadap fenomena murid sekarang yang sangat sibuk dengan gawainya tanpa memedulikan orang lain (individualis), sibuk menonton gawainya tanpa berpikir kritis, dan sibuk dengan gawainya sampai lupa pada Tuhan serta akhlaknya. Hal ini disebabkan para murid tidak dibekali sekep yang bisa memfilter arus informasi yang pesat dari gawai. Sehingga, pesan apa pun, baik positif dan negatif langsung ditelan mentah-mentah oleh murid.
Minimnya akhlak, lebih bersifat individualis, dan kurang kreatif ini merupakan tantangan bagi saya sebagai guru. Alhamdulillah, dengan adanya penekanan profil pelajar Pancasila di setiap mata pelajaran pada Kurikulum Merdeka, saya bisa memasukkan pesan-pesan sekep sebagai bekal kepada murid untuk menghadapi tantangan zamannya. Karena tugas guru adalah menuntun sesuai dengan kodrat murid, baik kodrat alam maupun zaman. Dan, bekal sekep ini yang saya jadikan strategi untuk memasukkan pesan-pesan moral yang ada di dalam dimensi profil pelajar Pancasila.
Apa Itu bekal ”Sekep”?
Bekal sekep merupakan akronim dari Se Kobasa, Kecca’, tor Panolong. Se Kobasa itu artinya Tuhan Yang Mahakuasa, dalam hal ini merupakan dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlakul karimah. Kecca’ artinya kreatif dan Panolong artinya gotong royong. Ketiga dimensi profil pelajar Pancasila inilah yang nantinya dijadikan ”sekep” bagi murid untuk melakukan hal apa pun, termasuk dalam proses pembelajaran.
Di awal pembelajaran biasanya saya selalu mengaitkan kepada salah satu akronim ”Sekep”. Saya memberikan kesadaran dan mengaitkan setiap materi apa pun ke dalam dimensi beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlakul karimah, baik melalui metode ceramah sampai pada metode diskusi. Metode diskusi di sini, murid berdiskusi mencari keagungan dan kebesaran Allah melalui materi yang akan dipelajarinya serta diterapkan hasil diskusi tersebut melalui akhlak mulia, baik akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada orang lain serta akhlak kepada lingkungan.
Di pertengahan pembelajaran saya mengaitkan akronim ”Ke” yaitu kecca’. Kecca’ di sini adalah berpikir kritis. Di sini saya memantik materi ke dalam bentuk keterampilan berliterasi yang dipadukan dengan keterampilan abad 21, yaitu berpikir kreatif, berpikir kritis, berkomunikasi dan berkolaborasi. Sehingga, akan tercipta sebuah karya pikir yang bisa diaplikasikan ke dunia nyata sesuai dengan kodrat masing-masing. Peran saya sebagai guru hanyalah sebagai penuntun atau fasilitator atas solutif dari buah kecca’ tersebut.
Di akhir pembelajaran saya memberikan penekanan implementasi akronim sekep yang terakhir, yaitu ”P”. ”P” di sini adalah panolong atau dimensi gotong royong. Semua murid bergotong royong membantu teman-teman yang kurang bisa memahami masalah, ataupun kesulitan dalam memahami materi. Dari gotong royong tersebut tercipta rasa persaudaraan, sehingga kegiatan proses belajar mengajar berjalan lancar, mudah, dan ringan. Sesuai dengan harapan salah satu dimensi profil pelajar Pancasila yaitu gotong royong. (*)
*)Guru SDN Pangarangan III, Sumenep
Versi cetak terbit Minggu (16/4)