21.4 C
Madura
Friday, June 2, 2023

Belajar Tatak dari Mbah Mahfud MD

Oleh ANDILALA*

ERA digital membuat kehidupan sangat bergantung pada gawai. Dapat dipastikan semua orang menjadikan gawai sebagai kebutuhan sekunder. Penggunaan gawai bukan sekadar di kalangan pekerja, melainkan semua kalangan, bahkan anak-anak hingga balita. Aktivitas anak-anak tidak terlepas dari gawai dengan aplikasi dan fitur yang sangat menarik sehingga anak-anak kehilangan ruang sosial yang sebenarnya. Kondisi itu diperparah dengan asumsi orang tua yang meyakini bahwa gawai merupakan teman bermain yang paling aman karena anak tidak perlu keluyuran keluar rumah dan anak tidak rewel, sehingga orang tua dapat beraktivitas dengan tenang tanpa gangguan dari anaknya.

Penggunaan gawai yang melampaui batas tanpa anak mengetahui manfaat dari aplikasi maupun fitur yang digunakan dapat berdampak negatif terhadap pekembangan kognitif dan karakter anak. Anak akan cenderung emosional dan memberontak ketika merasa aktivitas dengan gawainya terganggu. Lebih mengkhawatirkan lagi ketika anak sudah acuh terhadap lingkungan sekitarnya yang menyebabkan tingkat kepeduliannya menjadi rendah dan menaikkan sifat egoisnya.

Fenomena itu sangat terasa pada anak didik saya di sekolah dasar (SD). Dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan membuat anak didik tidak lagi peduli pada lingkungan sekitarnya. Menjadi pemenang dengan mengalahkan lingkungan sekitarnya menjadi motivasi dalam setiap aktivitas kesehariannya di kelas. Ibaratnya, anak-anak rela ”menginjak kepala temannya hanya untuk naik ke podium menjadi kampiun”. Segala cara pun dilakukan dengan menabrak aturan dan norma yang berlaku, berbuat tidak jujur bukan lagi sesuatu yang tabu, bahkan cenderung dianggap sebagai hal ”biasa”. Tentu ini merupakan krisis karakter yang akhirnya akan berakhir pada hancurnya peradaban bangsa. Anak-anak merupakan penentu peradaban bangsa di masa yang akan datang.

Tantangan yang berat bagi saya selaku pendidik untuk membersamai anak-anak berkembang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Cara konvensional berupa nasihat satu arah tidak lagi efektif, perlu langkah strategis yang tepat. Beruntung Kurikulum Merdeka memberikan ruang kepada pendidik untuk menentukan bahan pembelajaran yang sesuai kebutuhan murid yang berasal dari lingkungan sekitar. Menghadirkan sosok tokoh intelektual yang mempunyai hubungan emosional dengan anak didik merupakan salah satu langkah strategis yang saya pilih.

Baca Juga :  Ini Para Juara Lomba Fotografi Sumenep Batik on The Sea 2018

Gaduh Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kementerian Keuangan”,  berita yang dimuat di Jawa Pos pada Senin, 27 Maret 2023 saya jadikan bahan ajar pada muatan pelajaran bahasa Indonesia. Pada berita tersebut ditulis ”Transaksi janggal triliunan rupiah di Kementerian Keuangan itu, mulanya diungkapkan Mahfud di Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, Rabu (8/3) lalu”. Mahfud MD yang berasal dari Madura menjadi tokoh utama yang berani mengungkap dugaan transaksi janggal di Kementerian Keuangan, padahal Mahfud MD juga menjabat sebagai Menko Polhukam yang tentunya satu lingkungan kerja dengan Kementerian Keuangan. Isi berita tersebut menjadi bahan pembelajaran untuk proses interaksi pembelajaran yang berpusat pada anak. Anak didik begitu termotivasi untuk lebih mengenal sosok Mbah Mahfud MD (begitu anak didik menyebutnya).

Keberanian 

Proses pembelajaran dimulai dengan membahas keberanian Mbah Mahfud MD untuk mengungkap dan membenahi perilaku yang kurang baik di lingkungan kerjanya. Keberanian itu merupakan sikap tatak. Tatak menjadi ciri khas dari orang Madura. Anak didik sangat antusias untuk mempelajari dan memahami sikap tatak sebagai bentuk mempertahankan harga diri. Salah satunya dalam menegakkan kebenaran untuk terus berani mengubah setiap situasi dan kondisi yang melanggar norma agama, norma sosial, dan norma hukum.

Sikap tatak Mbah Mahfud MD bukan tanpa risiko karena akan banyak pihak yang merasa dirugikan bahkan dikorbankan pada proses penegakan kebenaran tersebut sehingga memungkinkan untuk melakukan serangan balik menggunakan segala cara supaya terlepas dari jerat kesalahan. Keberanian menanggung risiko dengan bertanggung jawab terhadap setiap analisis dan argumentasi yang disampaikan merupakan pengejawantahan dari sikap tatak yang orang Madura biasa mengatakan ngastete banne tako’ mate, lebbi sae pote tolang katembang pote mata”, yang mengandung makna berhati-hati bukan berarti takut mati, lebih baik berkalang tanah daripada hidup menanggung malu.

Baca Juga :  Mangkat Polè, Èdhina Polè

Kepedulian

Proses pembelajaran dilanjutkan dengan sikap peduli yang ditunjukkan oleh sikap tatak Mbah Mafud MD. Peduli kepada rekan kerja yang dianggapnya sebagai saudara supaya bertanggung jawab dalam mengemban setiap amanah yang diamanatkan oleh rakyat. Sikap peduli tersebut dalam  istilah orang Madura dikenal dengan ”cempa rassa palotan, bila kanca taretan” yang mengandung makna supaya menempatkan hubungan rekan kerja dalam interaksi persaudaraan sehingga saling menasihati dan saling membenahi, tidak didasari oleh tendensi iri, dengki, dan dendam.

Kepedulian untuk saling menasihati dan saling membenahi sudah hilang dalam interaksi sosial di kelas sebagai miniatur masyarakat. Anak didik menempatkan teman belajarnya bukan lagi kerabat atau saudara, melainkan kompetitor. Realitas itu tentu menutup rapat-rapat pintu kolaborasi. Padahal menurut Unicef Indonesia, nilai kolaboratif merupakan salah satu keterampilan abad 21 yang harus dimiliki oleh generasi saat ini. Mbah Mahfud telah memberikan teladan untuk meningkatkan rasa peduli dengan menasihati dan membenarkan orang-orang di sekitar kita karena mereka bukan sekadar teman belajar atau rekan kerja, lebih dari itu mereka merupakan saudara atau kerabat kita.

Proses diskusi yang berpusat kepada anak tentang sikap tatak memberikan hikmah yang luar biasa pada perubahan sikap anak didik untuk peduli kepada sesama dan menganggap teman belajar sebagai saudara. Kelas yang sebelumnya kompetitif menjadi kolaboratif. Proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan kognitif sekaligus menguatkan karakter anak merupakan prinsip Kurikulum Merdeka. Kurikulum yang telah mampu menumbuhkan keberanian dan kepedulian anak, mencegah temannya untuk tidak berbuat curang, bertanggung jawab terhadap setiap argumentasi dan perbuatannya, serta berkurangnya sifat iri, dengki, dan dendam menjadi aktivitas keseharian.

Lebih dari itu, anak didik telah mengenal dan mengimplementasikan sikap tatak sebagai nilai-nilai luhur ke-Madura-annya. Anak-anak berkembang sesuai kodrat zaman dan kodrat alam. Mator sakalangkong, Mbah Mahfud MD. (*)

*)Guru SDN Pangarangan III, Sumenep

Versi cetak terbit Minggu (16/4)

Oleh ANDILALA*

ERA digital membuat kehidupan sangat bergantung pada gawai. Dapat dipastikan semua orang menjadikan gawai sebagai kebutuhan sekunder. Penggunaan gawai bukan sekadar di kalangan pekerja, melainkan semua kalangan, bahkan anak-anak hingga balita. Aktivitas anak-anak tidak terlepas dari gawai dengan aplikasi dan fitur yang sangat menarik sehingga anak-anak kehilangan ruang sosial yang sebenarnya. Kondisi itu diperparah dengan asumsi orang tua yang meyakini bahwa gawai merupakan teman bermain yang paling aman karena anak tidak perlu keluyuran keluar rumah dan anak tidak rewel, sehingga orang tua dapat beraktivitas dengan tenang tanpa gangguan dari anaknya.

Penggunaan gawai yang melampaui batas tanpa anak mengetahui manfaat dari aplikasi maupun fitur yang digunakan dapat berdampak negatif terhadap pekembangan kognitif dan karakter anak. Anak akan cenderung emosional dan memberontak ketika merasa aktivitas dengan gawainya terganggu. Lebih mengkhawatirkan lagi ketika anak sudah acuh terhadap lingkungan sekitarnya yang menyebabkan tingkat kepeduliannya menjadi rendah dan menaikkan sifat egoisnya.


Fenomena itu sangat terasa pada anak didik saya di sekolah dasar (SD). Dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan membuat anak didik tidak lagi peduli pada lingkungan sekitarnya. Menjadi pemenang dengan mengalahkan lingkungan sekitarnya menjadi motivasi dalam setiap aktivitas kesehariannya di kelas. Ibaratnya, anak-anak rela ”menginjak kepala temannya hanya untuk naik ke podium menjadi kampiun”. Segala cara pun dilakukan dengan menabrak aturan dan norma yang berlaku, berbuat tidak jujur bukan lagi sesuatu yang tabu, bahkan cenderung dianggap sebagai hal ”biasa”. Tentu ini merupakan krisis karakter yang akhirnya akan berakhir pada hancurnya peradaban bangsa. Anak-anak merupakan penentu peradaban bangsa di masa yang akan datang.

Tantangan yang berat bagi saya selaku pendidik untuk membersamai anak-anak berkembang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Cara konvensional berupa nasihat satu arah tidak lagi efektif, perlu langkah strategis yang tepat. Beruntung Kurikulum Merdeka memberikan ruang kepada pendidik untuk menentukan bahan pembelajaran yang sesuai kebutuhan murid yang berasal dari lingkungan sekitar. Menghadirkan sosok tokoh intelektual yang mempunyai hubungan emosional dengan anak didik merupakan salah satu langkah strategis yang saya pilih.

Baca Juga :  Mangkat Polè, Èdhina Polè

Gaduh Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kementerian Keuangan”,  berita yang dimuat di Jawa Pos pada Senin, 27 Maret 2023 saya jadikan bahan ajar pada muatan pelajaran bahasa Indonesia. Pada berita tersebut ditulis ”Transaksi janggal triliunan rupiah di Kementerian Keuangan itu, mulanya diungkapkan Mahfud di Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, Rabu (8/3) lalu”. Mahfud MD yang berasal dari Madura menjadi tokoh utama yang berani mengungkap dugaan transaksi janggal di Kementerian Keuangan, padahal Mahfud MD juga menjabat sebagai Menko Polhukam yang tentunya satu lingkungan kerja dengan Kementerian Keuangan. Isi berita tersebut menjadi bahan pembelajaran untuk proses interaksi pembelajaran yang berpusat pada anak. Anak didik begitu termotivasi untuk lebih mengenal sosok Mbah Mahfud MD (begitu anak didik menyebutnya).

Keberanian 

- Advertisement -

Proses pembelajaran dimulai dengan membahas keberanian Mbah Mahfud MD untuk mengungkap dan membenahi perilaku yang kurang baik di lingkungan kerjanya. Keberanian itu merupakan sikap tatak. Tatak menjadi ciri khas dari orang Madura. Anak didik sangat antusias untuk mempelajari dan memahami sikap tatak sebagai bentuk mempertahankan harga diri. Salah satunya dalam menegakkan kebenaran untuk terus berani mengubah setiap situasi dan kondisi yang melanggar norma agama, norma sosial, dan norma hukum.

Sikap tatak Mbah Mahfud MD bukan tanpa risiko karena akan banyak pihak yang merasa dirugikan bahkan dikorbankan pada proses penegakan kebenaran tersebut sehingga memungkinkan untuk melakukan serangan balik menggunakan segala cara supaya terlepas dari jerat kesalahan. Keberanian menanggung risiko dengan bertanggung jawab terhadap setiap analisis dan argumentasi yang disampaikan merupakan pengejawantahan dari sikap tatak yang orang Madura biasa mengatakan ngastete banne tako’ mate, lebbi sae pote tolang katembang pote mata”, yang mengandung makna berhati-hati bukan berarti takut mati, lebih baik berkalang tanah daripada hidup menanggung malu.

Baca Juga :  Trunojoyo Bukan Pemberontak

Kepedulian

Proses pembelajaran dilanjutkan dengan sikap peduli yang ditunjukkan oleh sikap tatak Mbah Mafud MD. Peduli kepada rekan kerja yang dianggapnya sebagai saudara supaya bertanggung jawab dalam mengemban setiap amanah yang diamanatkan oleh rakyat. Sikap peduli tersebut dalam  istilah orang Madura dikenal dengan ”cempa rassa palotan, bila kanca taretan” yang mengandung makna supaya menempatkan hubungan rekan kerja dalam interaksi persaudaraan sehingga saling menasihati dan saling membenahi, tidak didasari oleh tendensi iri, dengki, dan dendam.

Kepedulian untuk saling menasihati dan saling membenahi sudah hilang dalam interaksi sosial di kelas sebagai miniatur masyarakat. Anak didik menempatkan teman belajarnya bukan lagi kerabat atau saudara, melainkan kompetitor. Realitas itu tentu menutup rapat-rapat pintu kolaborasi. Padahal menurut Unicef Indonesia, nilai kolaboratif merupakan salah satu keterampilan abad 21 yang harus dimiliki oleh generasi saat ini. Mbah Mahfud telah memberikan teladan untuk meningkatkan rasa peduli dengan menasihati dan membenarkan orang-orang di sekitar kita karena mereka bukan sekadar teman belajar atau rekan kerja, lebih dari itu mereka merupakan saudara atau kerabat kita.

Proses diskusi yang berpusat kepada anak tentang sikap tatak memberikan hikmah yang luar biasa pada perubahan sikap anak didik untuk peduli kepada sesama dan menganggap teman belajar sebagai saudara. Kelas yang sebelumnya kompetitif menjadi kolaboratif. Proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan kognitif sekaligus menguatkan karakter anak merupakan prinsip Kurikulum Merdeka. Kurikulum yang telah mampu menumbuhkan keberanian dan kepedulian anak, mencegah temannya untuk tidak berbuat curang, bertanggung jawab terhadap setiap argumentasi dan perbuatannya, serta berkurangnya sifat iri, dengki, dan dendam menjadi aktivitas keseharian.

Lebih dari itu, anak didik telah mengenal dan mengimplementasikan sikap tatak sebagai nilai-nilai luhur ke-Madura-annya. Anak-anak berkembang sesuai kodrat zaman dan kodrat alam. Mator sakalangkong, Mbah Mahfud MD. (*)

*)Guru SDN Pangarangan III, Sumenep

Versi cetak terbit Minggu (16/4)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/