21.4 C
Madura
Sunday, June 4, 2023

Ketika Seni Humanisme Santri Didaur Ulang

”Ketika humanisme santri dapat didaur ulang sebagai telaah pengetahuan baru, kita mesti akan terkejut melihat dari sisi aspek sosial, yang tidak lain konsepnya pasti dibungkus oleh agama”.

 

SEJENAK kita ingat nama Nelson Mandela yang membela hak serta kemanusiaan. Dirinya menjadi sosok yang penting karena perlawanan. Melawan rasa ketertindasan yang memiliki nilai buruk. Tanpa itu, Mandela hanya tinggal sebuah nama dari berbagai nama yang ada di bumi manusia.

Negeri kita, Indonesia juga memiliki nama. Soewarsih Djojopoespito, perempuan yang hampir alpa. Meski dirinya seorang perempuan, garis dan takdir menuntunnya jadi pejuang kemerdekaan. Tak hanya R.A. Kartini yang mampu menggores pena, dengan istilah Habis Gelap Terbitlah Terang. Soewarsih pernah mencatat sejarah, atas kiprah dan perlawanannya terhadap para penjajah, Buitten het Gareel. Buku yang menjadi bukti tak terbantahkan, bahwa dia bisa hidup dalam intisari kesetaraan gender untuk memikul terhadap apa yang disebut sebagai keadilan sosial serta kemanusiaan yang adil dan beradab.

Secara umum, seni dan humanis itu beda. Beda maksud serta lain makna. Humanisme itu diambil dari kata human, yang berarti manusiawi. Ada banyak persamaan kata ”kemanusiaan” yang barangkali tidak bisa direka-reka sejak awal. Begitu pula seni, atau lebih mafhum diartikan sebagai kesusastraan.

Pernyataan beliau itu tidak bisa kita tafsirkan secara suka-suka. Tapi, harus memiliki tafsiran dari buku-buku atau kitab-kitab yang berkredibilitas, tepercaya. Hal ini dimaksudkan untuk membuat kita paham, apa maksud yang akan disampaikan oleh salah satu tokoh Islam ini. Tanpa itu, pemikiran kita akan rancu dan selalu bertentangan dengan pendapat yang sebenar-benarnya. Jika hal ini dibiarkan, gerbang kesesatan untuk kita semakin terbuka lebar. Wa ma addin illa-i’thiba.

Baca Juga :  Menimbang Pola Pengembangan Literasi di Pesantren

Hal yang serupa dengan konsep seni kemanusiaan. Terma ini semacam artikel dari penjelasan dari Abraham Maslow yang mampu menerbitkan sikap atau kesadaran manusia untuk bisa dipahami melalui berseni. Teori ikhtisar kemanusiaan, filsuf Blaise Pascal berpendapat bahwa manusia tidak bisa diartikan dalam ”Suatu ketiadaan di hadapan ketakterbatasan”. Sebab ia secara heroik adalah makhluk yang sempurna.

Hal ini sangat berpengaruh terhadap gambaran dari betapa hebatnya konsep kemanusiaan yang kemudian berafiliasi dengan sastra serta seni untuk menyusun kerangka tentang kondisi kehidupan manusia, yang semakin hari semakin memburuk, namun belum berhasil tercipta tawaran solusi. Artinya, kondisi manusia yang sudah sekarat dan terkesan (seakan) menjelma bukan makhluk sosial lagi, menawarkan seni kemanusiaan, masih saja belum menemukan titik temu yang pasti, malah mereka menjadi makhluk independensi. Inilah yang disebut F. Budi Hardiman sebagai ”kemanusiaan bukan manusia”.

Kita mafhum, seni kemanusiaan akan tertuju pada perilaku seseorang untuk bagaimana mereka mampu menciptakan humanisasi yang baik. Seperti keinginan Abraham Maslow dan Nelson Mandela: bahwa manusia harus merdeka dari namanya hierarki. Jika kita contohkan pada lakon Bindara Saka, lakon yang dibawa Sanggar Andalas, dengan adegan orang yang menggedor pintu, pemaknaan yang dapat ditangkap adalah, manusia itu semacam orang-orang materialistik. Dia selalu memaksakan kehendaknya tanpa peduli melihat sisi di balik pintu itu, yang masih ada manusia lain; memedulikan manusia lain yang ingin hasrat dan haknya dapat disetarakan.

Berbeda dengan lakon yang dibawa oleh Sanggar Kotemang (salah satu komunitas MA 1 Annuqayah) yang setiap adegan selalu membawa panji ”Kebersamaan Bernapas Islam”. Artinya, peran manusia dalam menjalani hidup perlu menjunjung tinggi nilai dari kemanusiaan yang hakiki. Seperti ajaran Islam yang terpartri di bilik-bilik pesantren. Hal itu terpancar karena dipengaruhi oleh komunitas yang masih berdomisili di lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren. Maka wajar, dalam setiap lakon yang akan disuguhkan pada penonton harus berkaitan dengan itu: humanisme santri.

Baca Juga :  Pemkab Bangkalan Tak Anggarkan Konservasi Koleksi Museum

Humanisme santri adalah konsep kesetaraan yang diadopsi langsung oleh perilaku seseorang yang sedang nyantri. Bahwa, santri selalu meniupkan angin nilai kebersamaan. Mereka sangat anti terhadap sikap alpa peduli kepada sesama. Sangat jelas, dari berbagai dimensi kebudayaan masyarakat santri, mereka sudah terbiasa menjalani aktivitas secara bersama-sama. Mulai dari makan, mandi, tidur, traveling, sampai urusan agama.

Dari sini, maklum banyak penulis yang berkelahiran pesantren, selalu menisbatkan ajaran tulisannya yang berbau kepesantrenan. Sebab, pesantren merupakan tempat untuk melakukan ritual humanistik. Sama dengan seni kemanusiaan pesantren, ajaran yang disampaikan pasti bermuara pada kesetaraan gender berbasis budaya Islam. Nah, ajaran seni seperti ini yang barangkali luput dari kacamata masyarakat luar.

Ketika seni humanisme santri dapat didaur ulang sebagai telaah pengetahuan baru, kita mesti akan terkejut melihat dari sisi aspek sosial, yang tidak lain konsepnya pasti dibungkus oleh agama. Tapi, ajaran ini tidak dapat dilihat dari satu sisi. Ajaran yang ditangkap melalui literatur maupun panggung pertunjukan sudah teradopsi secara masif dan menjadi aktivitas keseharian. Pada akhirnya, kita bisa memahami arti seni kemanusiaan itu, bukan hanya tertuju pada konsep keagamaan yang kerap bertendensi dengan dalil Imam al-Ghazali. 

 

*)Santri PP Annuqayah Lubangsa

”Ketika humanisme santri dapat didaur ulang sebagai telaah pengetahuan baru, kita mesti akan terkejut melihat dari sisi aspek sosial, yang tidak lain konsepnya pasti dibungkus oleh agama”.

 

SEJENAK kita ingat nama Nelson Mandela yang membela hak serta kemanusiaan. Dirinya menjadi sosok yang penting karena perlawanan. Melawan rasa ketertindasan yang memiliki nilai buruk. Tanpa itu, Mandela hanya tinggal sebuah nama dari berbagai nama yang ada di bumi manusia.


Negeri kita, Indonesia juga memiliki nama. Soewarsih Djojopoespito, perempuan yang hampir alpa. Meski dirinya seorang perempuan, garis dan takdir menuntunnya jadi pejuang kemerdekaan. Tak hanya R.A. Kartini yang mampu menggores pena, dengan istilah Habis Gelap Terbitlah Terang. Soewarsih pernah mencatat sejarah, atas kiprah dan perlawanannya terhadap para penjajah, Buitten het Gareel. Buku yang menjadi bukti tak terbantahkan, bahwa dia bisa hidup dalam intisari kesetaraan gender untuk memikul terhadap apa yang disebut sebagai keadilan sosial serta kemanusiaan yang adil dan beradab.

Secara umum, seni dan humanis itu beda. Beda maksud serta lain makna. Humanisme itu diambil dari kata human, yang berarti manusiawi. Ada banyak persamaan kata ”kemanusiaan” yang barangkali tidak bisa direka-reka sejak awal. Begitu pula seni, atau lebih mafhum diartikan sebagai kesusastraan.

Pernyataan beliau itu tidak bisa kita tafsirkan secara suka-suka. Tapi, harus memiliki tafsiran dari buku-buku atau kitab-kitab yang berkredibilitas, tepercaya. Hal ini dimaksudkan untuk membuat kita paham, apa maksud yang akan disampaikan oleh salah satu tokoh Islam ini. Tanpa itu, pemikiran kita akan rancu dan selalu bertentangan dengan pendapat yang sebenar-benarnya. Jika hal ini dibiarkan, gerbang kesesatan untuk kita semakin terbuka lebar. Wa ma addin illa-i’thiba.

Baca Juga :  Santriwati Bata-Bata Pamekasan Turut Peringati HPN 2023

Hal yang serupa dengan konsep seni kemanusiaan. Terma ini semacam artikel dari penjelasan dari Abraham Maslow yang mampu menerbitkan sikap atau kesadaran manusia untuk bisa dipahami melalui berseni. Teori ikhtisar kemanusiaan, filsuf Blaise Pascal berpendapat bahwa manusia tidak bisa diartikan dalam ”Suatu ketiadaan di hadapan ketakterbatasan”. Sebab ia secara heroik adalah makhluk yang sempurna.

- Advertisement -

Hal ini sangat berpengaruh terhadap gambaran dari betapa hebatnya konsep kemanusiaan yang kemudian berafiliasi dengan sastra serta seni untuk menyusun kerangka tentang kondisi kehidupan manusia, yang semakin hari semakin memburuk, namun belum berhasil tercipta tawaran solusi. Artinya, kondisi manusia yang sudah sekarat dan terkesan (seakan) menjelma bukan makhluk sosial lagi, menawarkan seni kemanusiaan, masih saja belum menemukan titik temu yang pasti, malah mereka menjadi makhluk independensi. Inilah yang disebut F. Budi Hardiman sebagai ”kemanusiaan bukan manusia”.

Kita mafhum, seni kemanusiaan akan tertuju pada perilaku seseorang untuk bagaimana mereka mampu menciptakan humanisasi yang baik. Seperti keinginan Abraham Maslow dan Nelson Mandela: bahwa manusia harus merdeka dari namanya hierarki. Jika kita contohkan pada lakon Bindara Saka, lakon yang dibawa Sanggar Andalas, dengan adegan orang yang menggedor pintu, pemaknaan yang dapat ditangkap adalah, manusia itu semacam orang-orang materialistik. Dia selalu memaksakan kehendaknya tanpa peduli melihat sisi di balik pintu itu, yang masih ada manusia lain; memedulikan manusia lain yang ingin hasrat dan haknya dapat disetarakan.

Berbeda dengan lakon yang dibawa oleh Sanggar Kotemang (salah satu komunitas MA 1 Annuqayah) yang setiap adegan selalu membawa panji ”Kebersamaan Bernapas Islam”. Artinya, peran manusia dalam menjalani hidup perlu menjunjung tinggi nilai dari kemanusiaan yang hakiki. Seperti ajaran Islam yang terpartri di bilik-bilik pesantren. Hal itu terpancar karena dipengaruhi oleh komunitas yang masih berdomisili di lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren. Maka wajar, dalam setiap lakon yang akan disuguhkan pada penonton harus berkaitan dengan itu: humanisme santri.

Baca Juga :  Abdi Pers Pesantren

Humanisme santri adalah konsep kesetaraan yang diadopsi langsung oleh perilaku seseorang yang sedang nyantri. Bahwa, santri selalu meniupkan angin nilai kebersamaan. Mereka sangat anti terhadap sikap alpa peduli kepada sesama. Sangat jelas, dari berbagai dimensi kebudayaan masyarakat santri, mereka sudah terbiasa menjalani aktivitas secara bersama-sama. Mulai dari makan, mandi, tidur, traveling, sampai urusan agama.

Dari sini, maklum banyak penulis yang berkelahiran pesantren, selalu menisbatkan ajaran tulisannya yang berbau kepesantrenan. Sebab, pesantren merupakan tempat untuk melakukan ritual humanistik. Sama dengan seni kemanusiaan pesantren, ajaran yang disampaikan pasti bermuara pada kesetaraan gender berbasis budaya Islam. Nah, ajaran seni seperti ini yang barangkali luput dari kacamata masyarakat luar.

Ketika seni humanisme santri dapat didaur ulang sebagai telaah pengetahuan baru, kita mesti akan terkejut melihat dari sisi aspek sosial, yang tidak lain konsepnya pasti dibungkus oleh agama. Tapi, ajaran ini tidak dapat dilihat dari satu sisi. Ajaran yang ditangkap melalui literatur maupun panggung pertunjukan sudah teradopsi secara masif dan menjadi aktivitas keseharian. Pada akhirnya, kita bisa memahami arti seni kemanusiaan itu, bukan hanya tertuju pada konsep keagamaan yang kerap bertendensi dengan dalil Imam al-Ghazali. 

 

*)Santri PP Annuqayah Lubangsa

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/