CIKAL bakal MSP berawal dari beberapa seniman muda yang tergabung di Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Sumenep. Awal 2012 mereka diminta secara resmi oleh PC NU untuk menggerakkan salah satu wadah kesenian milik ormas terbesar itu.
Pada awal kegiatan, pertemuan demi pertemuan sering dilaksanakan di aula utama PC NU Sumenep. Rupanya, teman-teman seniman yang sudah mulai banyak bergabung merasa kurang nyaman. Selain mungkin mereka merasa kurang pantas apabila harus bereksplorasi di ruangan tempat para tokoh dan kiai melakukan kajian sosial keagamaan, seniman muda itu juga merasa kurang bebas melakukan improvisasi dan eksplorasi kesenian di ruangan semisal aula yang bersifat formal.
Selain itu, pertemuan bulanan yang terkonsentrasi di satu tempat saja dirasa kurang efektif dan cenderung membosankan. Maka, digagaslah pertemuan secara dinamis. Berpindah-pindah dari satu sanggar ke sanggar lain. Pola seperti ini selain bermanfaat untuk konsolidasi gerakan juga menjadi media efektif merekatkan silaturahmi dan hubungan emosional antarseniman.
Pertemuan bulanan disepakati setiap Ahad Kalebun. ”Tanggalnya berubah-ubah, tetapi hari dan waktunya jelas,” kata Mahendra, penyair kenamaan Sumenep yang juga membidani lahirnya Masyarakat Santri Pesisiran (MSP). ”Enam tahun kami tetap ada. Ini karena kita di sini semua digerakkan oleh semangat belajar dan berproses bersama, atas dasar saling membutuhkan satu sama lain,” lanjutnya.
Hingga saat ini acara Ahad Kalebun bermacam-macam. ”Teman-teman ada yang bermain teater, baca puisi, musikalisasi puisi, kajian sejarah, kebudayaan, diskusi buku, dan lain lain,” kata Kiai Turmedzi Djaka, seniman senior yang juga sejak awal aktif terlibat pendirian MSP.
”Ini ruang belajar dan berproses bersama. Siapa saja boleh bergabung. Teman-teman Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan juga ada yang bergabung. Sesekali mereka datang ke sini (ke acara MSP) ikut meramaikan,” lanjut kiai pendiri dan pengasuh Semedi Dzikir Prenduan yang saat ini juga sering mengisi pelatihan batik kontemporer di beberapa daerah di Indonesia.
Dalam perjalanannya, MSP telah melakukan kerja sama dengan berbagai pihak. Pada ulang tahun pertama menggelar temu silaturahmi seniman se-Kabupaten Sumenep, pentas teater dengan melibatkan banyak komunitas dan sanggar, pembacaan puisi serta seminar bertema Santri Kelana. Juga mendatangkan Aak Abdullah Al Kudus, penjaga Gunung Lemongan dan pendiri Laskar Hijau sebagai pembicara.
Pada peringatan yang lain, MSP bekerja sama dengan aktor teater dunia, Tony Broer. Menggelar workshop bertajuk ”Tubuh Dzikir” bekerja sama dengan Teater Gendewa Instika Annuqayah. Workshop tersebut diselesaikan selama empat hari di Aula Syarqawi Instika Annuqayah ditutup dengan pentas bersama.
Untuk pembenihan isu-isu sosial yang lain, MSP juga pernah menggelar kerja sama bersama Common Ground Indonesia. Mereka menggelar diskusi film dan pertunjukan. Salah satu program yang belum terlaksana yaitu Festival ”Santre Agaya”. Santre Agaya adalah perayaan tentang semua dimensi kehidupan santri dan pesantren di Madura, Sumenep khususnya, serta eksplorasi banyak aktivitas kebudayaan di kantung-kantung lokal yang bersebaran di seantero Sumenep.
Festival ini direncanakan akan diselenggarakan dalam skala besar. Melibatkan seniman lokal dan nasional. Juga lembaga-lembaga pesantren se-Kabupaten Sumenep. ”Kita sedang mencari mitra untuk kegiatan ini,” kata Kiai Turmedzi Djaka.
Ketika ditanya tentang ide Santre Agaya, kiai yang karya batiknya beberapa kali tampil di acara fashion show internasional di Jakarta ini menjelaskan, ”Kita ini pada dasarnya santri. Santri yang ”bergaya”. Ada santri yang bergaya menjadi bupati, bergaya menjadi pebisnis, musikus, penyair, dan lain lain. Pada dasarnya mereka tetap santri,” katanya.
”Yang jadi pengembang, misalnya, harus sadar kalau dia itu santri cuma bergaya sebagai developer. Nilai-nilai kesantrian harus mendasari sikapnya,” lanjutnya.
MSP telah berusia enam tahun lebih. Kegiatan demi kegiatan terlaksana dengan semangat belajar dan berproses bersama. Saat ini mandat koordinator dipegang Fayat Ra Muhammad, seniman muda berbakat yang sekaligus santri Kiai Turmedzi Djaka di Padepokan Tabun dan Rumah Semedi Dzikir di Pragaan.
MSP diyakini banyak pihak sebagai gerakan seniman muda terbesar di Sumenep, bahkan mungkin di Madura.
*Dewan pendiri MSP, pengampu materi sosiologi dan seni budaya di SMA 3 Sabajarin Annuqayah.