BILA dilihat secara material, rumah merupakan ruang yang dimaknai oleh manusia sebagai tempat tinggal dalam waktu selamanya. Kesadaran terhadap rumah berangkat dari hasil pembacaan individu terhadap hal-hal sekitar melalui cara melihat, mengamati, memilih, dan menentukan titik objek rumah hingga berkembang ke arah mental yang membentuk konsep bentuk, batas, wilayah, dan kategori. Dalam konteks ini manusia bisa memilih, pada titik mana ia akan tinggal dan menetap. Termasuk, batas dan kategori rumah seperti apa yang dibayangkan? Pilihan warna, desain, konstruksi bentuk, dan berbagai jenis lainnya, merupakan bagian yang sudah termasuk dalam pikiran.
Ruang fisik ini juga bisa dimaknai sebagai ruang atau sesuatu yang berkisar dalam aktivitas hidup sehari-hari. Dalam program Biennale Jatim 2021, tepat pada Jumat, 26 November 2021 di rumah Sahira, Dusun Karang Sambuh, Desa Batu Karang, Kecamatan Camplong, Sampang. Rumah dipilih oleh Sahira sebagai tempat perform dengan tema Taneyan Lanjang: Fashion dan Biografi yang Cair. Berangkat dari pembacaan ulang terhadap sejarah, menelusuri kisah biografi hingga titik asal-usul bagaimana narasi sejarah tercipta dan terus mengalir hingga saat ini. Sahira mengalami kegelisahan atas dirinya mengenai kehadiran sebagai orang Sampang. Ia sempat bertanya-tanya sendiri, kenapa tiba-tiba seperti orang yang dilemparkan untuk hidup sebagai orang Sampang, anak dari petani, dan bekerja sebagai tukang jahit. Namun satu sisi, ia juga menyadari bahwa hidup adalah sesuatu yang diberi atau terberikan, sebab inilah Sahira tidak pernah melakukan konfirmasi terhadap hidup, apakah ia akan setuju atau tidak dengan biografi yang membentuknya.
Melalui proses pembacaan tersebut, rumah digunakan oleh Sahira sebagai modus pendekatan untuk mengenali biografi dirinya. Sebab, apa yang disebut sebagai rumah dalam arti luas selain menunjuk fasilitas di dalamnya, seperti ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan tempat Sahira bekerja sebagai tukang jahit, juga menandai sesuatu yang berkisar di sekelilingnya, yaitu halaman, musala, ladang pertanian yang dipisahkan oleh jalan raya, serta hubungan dengan tetangga sebagai pertalian kultur bersama (kultur agraris).
Di sinilah Sahira memaknai rumahnya lalu memetakan batas dan wilayah yang membagi ruang pribadi dan orang lain (orang tuanya) serta tempat ia bekerja. Berdasarkan persepsi makna semacam ini, Sahira lebih mengisi aktivitas di dalam rumah. Membuat peta ruang sendiri: kamar, tempat kerja, dan menemani anak-anak mengaji di musala yang terletak di sebelah barat halaman memanjang di depan rumahnya, di sana ia juga membimbing hafalan surah-surah pendek.
Dalam agenda ini, Sahira membahas rumah melalui perspektif taneyan lanjang dalam kaitannya dengan fashion dan biografi yang cair sebagai lokus ruang yang bisa mempertemukan berbagai jenis aktivitas di dalamnya. Semisal, mulai dari praktik keagamaan hingga sosial masyarakat. Metode ini dioperasikan sebagai cara menatap biografi dirinya lewat tanda-tanda yang ada, sekaligus digunakan untuk melacak sumber penciptaan mata rantai sejarah yang membentuk kultur budaya. Melalui kerja penelusuran tersebut, diharapkan olehnya dapat membuka lapisan-lapisan sejarah yang tertutup, menyambung mata rantai yang terputus, dan mencoba mengembalikan ingatannya yang terpenggal.
Untuk menelusuri biografi tersebut, Sahira bekerja menggunakan tanda-tanda seperti kultur petani (agraris), mesin padi, dan tukang jahit (desainer). Baginya, kultur petani merupakan sebuah lokus yang terus memberi napas panjang bagi kehidupan, serta memberi makna terhadap apa-apa yang dilakukan oleh manusia dengan cara makan; memasukkan nasi ke dalam tubuh hingga menjadi berbagai aktivitas perilaku. Sedangkan profesinya sebagai tukang jahit atau desainer, ia rintis sekitar tahun 2014 dan hasil dari karyanya dipakai untuk melihat perubahan mode atau fashion selama beberapa dekade terakhir. Di tempat kerjanya, ia membuat pameran dari kumpulan foto-foto tentang hal yang membentuk dirinya dan juga beberapa ikon foto perubahan mode. Penonton atau partisipan diajak untuk melihat masuk ke dalam tempat kerja tersebut. Seakan ingin menyampaikan bahwa pameran tersebut adalah citraan yang lain dari tubuh Sahira.
Selain pameran, Sahira menyodorkan konsep perform menggunakan kostum hasil desain karyanya sendiri. Ia berjalan dari arah pintu rumahnya melewati performance Syamsul Arifin yang masuk dalam rongga mulut mesin penggiling padi. Sahira datang menyambut pengunjung seperti sudah siap untuk membocorkan biografinya, lalu memulai dengan membagi jagung hasil produksi orang tuanya terhadap pengunjung yang hadir. Peristiwa ini dimaksudkan sebagai simbol tanda dari sejarah dan biografinya sebagai orang yang lahir dan tumbuh dibesarkan dalam lingkungan petani.
Pada saat itu Sahira memberikan semacam pengantar cerita bahwa ia mempunyai hubungan dekat dengan jagung dan petani. Namun, kedekatan tersebut tidak membuat Sahira merasa cukup dan mengenal utuh tentang biografi dirinya secara konkret. Kemudian, melempar pertanyaan terhadap pengunjung yang hadir, meminta untuk ikut terlibat, membantu dan berpartisipasi sebagai bagian dari apa yang digelisahkan. Yaitu, untuk merecah dan mencairkan biografi yang sebagian hilang dalam mata rantai sejarahnya agar ditemukan muara hulu dan hilirnya. Apa yang dilakukan Sahira dalam melacak sumber biografinya tersebut, seperti hendak menggugurkan persepsi makna identitas yang tunggal. Bahwa pada kenyataannya, Sahira bukan hanya sebagai anak dari petani, melainkan juga dirinya yang tukang jahit atau desainer.
Setelah Sahira melakukan interaksi dengan partisipan, ia mengajak pengunjung untuk bergeser dari tempat duduknya melihat ruang kerja, tempat berlangsungnya aktivitas orang tuanya memproses padi menjadi beras. Ruang tersebut juga dipakai untuk jasa melayani kebutuhan yang sama oleh tetangga, dari inilah hidup Sahira juga tertopang. Beberapa saat pengunjung menyaksikan secara langsung tentang peristiwa dan tubuh yang lain dari biografi Sahira.
Pada saat bersamaan saya hadir merespons ruang tersebut dengan meminjam puisi Iman Soleh, yang berjudul Air Burung dan Nenek Moyang digunakan sebagai tatapan untuk membaca puisi tentang bagaimana cara merawat alam. Setelah pembacaan puisi selesai, Sahira mengajak pengunjung untuk memasuki tempat kerjanya. Di ruang tersebut performance dari Anisa berlangsung, menggunakan berbagai lapis baju kemudian bercermin. Peristiwa yang dilakukan Anisa seperti mencoba untuk mengingat jejak rekam perubahan fashion atau mode dari beberapa dekade terakhir, kemudian Sahira mengerjakan aktivitas menjahit sambil streaming di akun Instagram, menayangkan biografinya sebagai seorang penjahit (desainer). Ah, bocor!
Setelah pertunjukan digelar, diskusi dilangsungkan oleh Sahira. Ia mempresentasikan hasil karyanya. Syska La Veggie, memberi pengantar mengenai program Biennale Jatim 2021 secara tematik, yaitu menimbang solidaritas dan kolektivitas. Terlebih agenda ini dimaksudkan untuk merespons situasi pandemi setelah lama orang-orang berada di rumahnya masing-masing untuk mencegah penularan Covid-19. Pada situasi tersebut dibutuhkan solidaritas dan kolektivitas. Abi ML lebih bercerita tentang perjalanan dan temuan-temuan yang ditatap. Afrizal Malna bertanya mengenai biografi yang hendak diungkap dalam karya Sahira, dan pertanyaan-pertanyaan menunjuk langsung terhadap makna dan pengertian biografi ”Apa.kah bajumu merupakan kostum biografi atau kostum publik” pertanyaan diarahkan terhadap Sahira.
*)Bergiat di Language Theatre Indonesia, Masyarakat Santri Pesisiran, Tabun Edu Culture Art, dan perajin batik kontemporer.