Ojung adalah salah satu tradisi masyarakat Sumenep yang nyaris punah. Tradisi yang mempertontonkan dua orang saling memukul badan dengan rotan itu biasanya dilakukan saat musim kemarau panjang (nemor kara). Dengan menggelar ojung, masyarakat berharap hujan segera turun. Tapi, berbeda dengan tradisi ojung di Desa Bunbarat, Kecamatan Rubaru, Sumenep. Ojung di desa tersebut dilakukan dalam rangka rokat (selamatan) desa untuk menghindari pertengkaran antar warga.
SORE itu cuaca sangat cerah. Tidak turun hujan, mendung apalagi. Matahari kerap bersembunyi di balik awan. Sementara di bawah langit, di lapangan yang agak basah karena sisa hujan semalam, orang-orang berkumpul. Menonton dua orang yang hendak saling pukul atas nama keyakinan dan adat istiadat. Pertarungan mereka digelar dalam tradisi ojung.
Secara umum, ojung sebagai tradisi dan seni bertarung. Kesenian macam ini, dalam banyak literatur bisa diketahui tidak hanya ada di Madura. Di beberapa daerah serti Bondowoso, Probolinggo, dan daerah lain juga ada.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, kelestarian tradisi ini cukup mengkhawatirkan. Karena itu, betul-betul butuh perhatian dalam melestarikan. Di Sumenep, ojung biasanya sangat terkenal di daerah Kecamatan Batuputih dan Batang-Batang. Orang-orang dua kecamatan itu mengenalnya sebagai upacara meminta hujan.
Berbeda dengan ojung di Kecamatan Rubaru. Masyarakat sekitar melaksanakan selama tujuh kali dalam setahun. Tepatnya tiap Jumat sore. Menurut pelestari ojung di Rubaru, Ainur Rahman, Jumat (3/12) adalah pelaksanaan yang terakhir tahun ini.
”Sudah tujuh kali kami laksanakan, tapi per minggu. Ini dalam rangka rokat (selamatan) desa,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM).
Secara teknis, pada umumnya pelaksanaan ojung tidak jauh berbeda. Mulai dari tongkat pemukul (lo-palo) yang terbuat dari rotan. Persamaan juga pada pelindung badan dan kepala yang terbuat dari karung goni. Masyarakat menamainya sebagai bukot.
Menurut Rahman, dalam bukot tersebut juga dilengkapi dengan kerangka dari sabut buah kelapa (seppet). Ada yang juga membutuhkan anyaman rotan sebagai tambahan pelindung. Pemain ojung harus bertelanjang kaki dan dada. Namun, untuk ojung di Rubaru ini, badan para petarung lebih banyak dilindungi karung goni.
”Tapi, leher diberi pelindung. Lengan juga diberi pelindung, karena kan harus menangkis pukulan,” kata pria 41 tahun itu.
Riuh sorak-sorai penonton membuat rokat ini semakin asyik. Para pemukul berusaha saling serang dan menangkis pukulan. Bahkan, tak jarang, mengalami luka badan jika mengenai bagian yang tak terlindungi.
Meski begitu, pukulan dalam ojung ini juga berdasar aturan dan kesepakatan. Para pemain sangat dilarang memukul tubuh bagian atas. Bahkan, menyerang dengan cara menusuk, tidak diperbolehkan.
Kesenian ini juga harus ada yang menengahi. Layaknya pertarungan tinju, ojung juga ada wasitnya. Menurut Rahman, wasit dalam kesenian ojung ini dinamai bubuto. Wasit penentu kalah menang yang bertanding. ”Kalah menang ditentukan jika sudah ada yang luka atau tongkatnya jatuh,” tuturnya.
Masrito, 45, warga yang lain menyampaikan, ojung di Rubaru punya tujuan berbeda. Hal itu memang sudah warisan dari leluhur (buju’) Desa Bunbarat. Sejak dulu dilakukan hanya dalam rangka rokat desa. Tidak untuk hal-hal lain.
Dengan upacara ojung ini, kata Masrito, terbukti nyaris tak ada masyarakat di desa tersebut bertengkar. Semua guyub, rukun, saling menghargai antar sesama. Bagai rampa’ naong baringen korong.
”Itu tujuannya. Makanya, sebagai generasi, kami berkewajiban melestarikan tradisi dan adat-istiadat kami ini,” pungkasnya. (c3)