25.3 C
Madura
Wednesday, March 22, 2023

Arsip Prosa Madura Luncurkan Buku Dwibahasa di Masjid Lama

SUMENEP, Jawa Pos Radar Madura – Kajian kitab di masjid itu biasa. Tahlilan, tadarusan, dan kegiatan keagamaan juga biasa digelar di masjid. Namun, kegiatan kesastraan di tempat ibadah mungkin belum kaprah. Dia antara yang tidak umum itu adalah peluncuran buku cerpen dwibahasa Warisan Cabbi.

Bedah buku itu berlangsung di serambi Masjid Lama Lembana, Desa Gadu Barat, Kecamatan Ganding, Sumenep, Jumat (10/12). Bedah buku ini bagian dari rangkaian acara Babad Lembana.

Diskusi dimulai dengan pengantar penyelenggara Shohifur Ridho’i. Dia memaparkan, kumpulan cerpen Warisan Cabbi ini sebagai hasil dari dokumentasi Arsip Prosa Madura. Arsip Prosa Madura merupakan lembaga independen yang didirikan dalam rangka mengarsipkan cerpen-cerpen dari penulis Madura.

Warisan Cabbi memuat 13 belas cerpen. Delapan berbahasa Madura dan lima berbahasa Indonesia. Belasan cerpen itu dikumpulkan melalui kuratorial sesuai dengan data yang terkumpul di laman Arsip Prosa Madura.

Baca Juga :  Penonton Apresiasi Konser Puisi Musik

Delapan cerpen berbahasa Madura itu masing-masing berjudul Ajaga Tana Ajaga Na’poto (Fhieq Achmad As-Sanusy), Babine’ Saba (Muhtadi ZL), Emmas Biru (Ma Leo), Nemor Kara (Hasan Liema), Osom Cabbi (N. Shalihin Damiri), dan E Tarebung Odhi’ Egantong (Siti Fatimah). Enam cerpen itu pernah dibuat di Jawa Pos Radar Madura. Selain itu, ada cerpen berjudul Sangkol (Rofqil Junior) dan Mósѐm Bhâkó (Fahrus Refendi).

Sementara lima cerpen berbahasa Indonesia yakni Garam Merah di Bulan September (A. Warits Rovi), Tambang dan Tumbang (Khuzaimah), Perempuan Tembakau (Istifari), Tanah Warisan (Marsus Banjarbarat), dan Tumbal Suramadu (Muna Masyari).

Salah seorang kurator Warisan Cabbi Mat Toyu mengungkapkan, sebagian besar dalam kumpulan cerpen tersebut beririsan dengan tanah dan ekosistem agrikultur (di) Madura. Penulis buku Kerrong ka Omba’ itu menegaskan, buku ini tidak diniatkan mewakili semua cerita yang ditulis penulis Madura. Akan tertapi, sebagai loncatan pertama untuk menyisir cerita-cerita yang gagasan dan idenya berbasis tanah.

Baca Juga :  Tak Banyak Arsip Sejarah Berhasil Diselamatkan

Sementara Zainal A. Hanafi yang hadir sebagai pembedah, fokus pada pembicaraan teknis penulisan cerita dan sedikit masuk ke tema yang disuguhkan Warisan Cabbi. Menurutnya, secara umum, penulis dalam buku tersebut ingin mengaktifkan memori kolektif dalam pikiran orang-orang terdahulu.

Hal demikian, menurutnya, patut dicurigai, jangan-jangan masih terjebak pada satu persoalan bagaimana membentuk pikiran-pikiran yang tidak lagi relevan. ”Persoalan menjaga misalnya. Itu mungkin terbukti bahwa dari dulu orang memang mementingkan tanahnya,” terang penulis novel Bajing Tana itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan tanah, berikut dengan upaya alih fungsi lahan menjadi perhatian khusus di Madura. Cerpen Warisan Cabbi ini seolah ingin memotret peristiwa tersebut. (c3)

SUMENEP, Jawa Pos Radar Madura – Kajian kitab di masjid itu biasa. Tahlilan, tadarusan, dan kegiatan keagamaan juga biasa digelar di masjid. Namun, kegiatan kesastraan di tempat ibadah mungkin belum kaprah. Dia antara yang tidak umum itu adalah peluncuran buku cerpen dwibahasa Warisan Cabbi.

Bedah buku itu berlangsung di serambi Masjid Lama Lembana, Desa Gadu Barat, Kecamatan Ganding, Sumenep, Jumat (10/12). Bedah buku ini bagian dari rangkaian acara Babad Lembana.

Diskusi dimulai dengan pengantar penyelenggara Shohifur Ridho’i. Dia memaparkan, kumpulan cerpen Warisan Cabbi ini sebagai hasil dari dokumentasi Arsip Prosa Madura. Arsip Prosa Madura merupakan lembaga independen yang didirikan dalam rangka mengarsipkan cerpen-cerpen dari penulis Madura.


Warisan Cabbi memuat 13 belas cerpen. Delapan berbahasa Madura dan lima berbahasa Indonesia. Belasan cerpen itu dikumpulkan melalui kuratorial sesuai dengan data yang terkumpul di laman Arsip Prosa Madura.

Baca Juga :  Kado Buat Sumenepku yang Ke-753

Delapan cerpen berbahasa Madura itu masing-masing berjudul Ajaga Tana Ajaga Na’poto (Fhieq Achmad As-Sanusy), Babine’ Saba (Muhtadi ZL), Emmas Biru (Ma Leo), Nemor Kara (Hasan Liema), Osom Cabbi (N. Shalihin Damiri), dan E Tarebung Odhi’ Egantong (Siti Fatimah). Enam cerpen itu pernah dibuat di Jawa Pos Radar Madura. Selain itu, ada cerpen berjudul Sangkol (Rofqil Junior) dan Mósѐm Bhâkó (Fahrus Refendi).

Sementara lima cerpen berbahasa Indonesia yakni Garam Merah di Bulan September (A. Warits Rovi), Tambang dan Tumbang (Khuzaimah), Perempuan Tembakau (Istifari), Tanah Warisan (Marsus Banjarbarat), dan Tumbal Suramadu (Muna Masyari).

Salah seorang kurator Warisan Cabbi Mat Toyu mengungkapkan, sebagian besar dalam kumpulan cerpen tersebut beririsan dengan tanah dan ekosistem agrikultur (di) Madura. Penulis buku Kerrong ka Omba’ itu menegaskan, buku ini tidak diniatkan mewakili semua cerita yang ditulis penulis Madura. Akan tertapi, sebagai loncatan pertama untuk menyisir cerita-cerita yang gagasan dan idenya berbasis tanah.

Baca Juga :  Usia Produktif Isi dengan Kegiatan Produktif
- Advertisement -

Sementara Zainal A. Hanafi yang hadir sebagai pembedah, fokus pada pembicaraan teknis penulisan cerita dan sedikit masuk ke tema yang disuguhkan Warisan Cabbi. Menurutnya, secara umum, penulis dalam buku tersebut ingin mengaktifkan memori kolektif dalam pikiran orang-orang terdahulu.

Hal demikian, menurutnya, patut dicurigai, jangan-jangan masih terjebak pada satu persoalan bagaimana membentuk pikiran-pikiran yang tidak lagi relevan. ”Persoalan menjaga misalnya. Itu mungkin terbukti bahwa dari dulu orang memang mementingkan tanahnya,” terang penulis novel Bajing Tana itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan tanah, berikut dengan upaya alih fungsi lahan menjadi perhatian khusus di Madura. Cerpen Warisan Cabbi ini seolah ingin memotret peristiwa tersebut. (c3)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/