23.5 C
Madura
Monday, May 29, 2023

Kitab Mamaca Museum Mandilaras Bukti Dakwah melalui Seni

PAMEKASAN – Sejarah perkembangan Islam di Pamekasan tidak terlepas dari peran Ki Arjo Menak Senojo. Melalui perjuangannya, masyarakat Bumi Pamelingan bisa beragama dengan benar. Kesenian menjadi media dakwah.

Koleksi Museum Mandilaras tersusun rapi. Benda bersejarah itu masih terawat dengan baik di dalam gedung yang berdiri di Jalan Cokroatmojo Nomor 1, Kelurahan Barurambat Kota, Pamekasan, itu.

Benda-benda itu ditempatkan di dalam lemari kaca. Tujuannya, agar masyarakat yang berkunjung bisa melihat dengan jelas koleksi di museum. Sebagian benda-benda bersejarah itu ditempatkan dalam satu lemari persegi panjang 2×1,5 meter.

Ada juga satu lemari berisi satu benda spesial yang ditempatkan terpisah. Benda-benda itu merupakan peninggalan tokoh-tokoh yang pernah hidup di Pamekasan.

Ketika Jawa Pos Radar Madura (JPRM) mendatangi museum itu sedang tidak ada pengunjung. Karena gedung dan atap bangunan sedang diperbaiki. Selain pekerja, JPRM bertemu seorang petugas museum bernama Nabila. Dia yang mengantarkan ke tempat benda bersejarah peninggalan Ki Arjo Menak Senojo.

Tokoh asal Palembang itu memiliki kitab yang sudah berusia ratusan tahun. Kitab tersebut ditempatkan di samping pintu masuk Museum Mandilaras. Tidak diketahui secara pasti tahun dibuatnya kitab tersebut. Namun, jika melihat masa hidup Ki Arjo Menak Senojo, kitab tersebut diperkirakan sudah 6 abad.

Baca Juga :  Sastra Madura Hanya Sepi, Bukan Mati, Masih Bisa Semarak Lagi

”Benda paling tua di museum itu kitab kuno dari daun lontar. Menurut sejarahnya, kitab itu sudah ada sejak abad ke-14,” terang Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pamekasan R Sonny Budiharto, Rabu (1/8).

Keterangan disparbud, Kitab Layang Sejarah Islam tersebut digunakan Ki Arjo Menak Senojo dalam menyebarkan agama Islam di Parupuh (nama asal Kecamatan Proppo). Pada saat itu masyarakat sekitar masih menganut agama Hindu. Selain itu, kitab tersebut dijadikan rujukan dalam kesenian mamaca atau macapat.

”Tapi mamaca sekarang tidak sama dengan mamaca pada masa Ki Arjo Menak Senojo. Kalau dulu mamaca itu diisi dengan sejarah Islam sambil lalu memberikan wejangan nilai-nilai agama, termasuk juga anjuran membaca Alquran,” ujarnya.

Kitab layang kuno tersebut berisi tentang sejarah Islam. Konon, melalui kitab tersebut Ki Arjo Menak Senojo menyebarkan ajaran syariat Islam kepada masyarakat Pamekasan. Dengan begitu, masyarakat lebih mudah mempelajari dan memahami agama Islam.

Seperti pada masa Wali Sanga, penyebaran agama Islam dilakukan dengan melewati kesenian. Hal serupa juga dilakukan Ki Arjo Menak Senojo. Putra dari Ario Damar Adipati itu melakukan syiar dengan cara seni budaya mamaca.

Baca Juga :  Kesenian Perspektif Pesantren

Ki Arjo Menak Senojo memiliki kemampuan mamaca yang baik. Hal itu dijadikan sebagai media dakwah dan pendidikan. Apalagi waktu itu, masyarakat belum mengenal Islam secara sempurna.

”Dalam rangka untuk syiar Islam dan menyentuh hati masyarakat, Ki Arjo Menak Senojo melakukan pendekatan dengan melalui kegiatan-kegiatan seni. Seperti syiar yang dilakukan Wali Sanga melalui syiar karawitan,” kata Sonny.

Sonny menjelaskan, pada abad ke-12 Madura sudah terbentuk. Namun, masih terpecah menjadi dua bagian. Yakni Madura barat dan Madura timur. Pada waktu itu, masyarakat sudah ada yang beragama Islam.

Sekitar abad ke-14 Madura pecah menjadi empat bagian setelah putra mahkota Majapahit diberi kekuasaan untuk membuka Madura bagian tengah. Akhirnya, pecah menjadi tiga bagian dan diberi nama Madegan (saat ini Sampang).

”Kemudian pecah lagi menjadi Kabupaten Pamekasan. Jadi, pada masa Ki Arjo Menak Senojo sudah ada yang beragama Islam,” tandasnya.

PAMEKASAN – Sejarah perkembangan Islam di Pamekasan tidak terlepas dari peran Ki Arjo Menak Senojo. Melalui perjuangannya, masyarakat Bumi Pamelingan bisa beragama dengan benar. Kesenian menjadi media dakwah.

Koleksi Museum Mandilaras tersusun rapi. Benda bersejarah itu masih terawat dengan baik di dalam gedung yang berdiri di Jalan Cokroatmojo Nomor 1, Kelurahan Barurambat Kota, Pamekasan, itu.

Benda-benda itu ditempatkan di dalam lemari kaca. Tujuannya, agar masyarakat yang berkunjung bisa melihat dengan jelas koleksi di museum. Sebagian benda-benda bersejarah itu ditempatkan dalam satu lemari persegi panjang 2×1,5 meter.


Ada juga satu lemari berisi satu benda spesial yang ditempatkan terpisah. Benda-benda itu merupakan peninggalan tokoh-tokoh yang pernah hidup di Pamekasan.

Ketika Jawa Pos Radar Madura (JPRM) mendatangi museum itu sedang tidak ada pengunjung. Karena gedung dan atap bangunan sedang diperbaiki. Selain pekerja, JPRM bertemu seorang petugas museum bernama Nabila. Dia yang mengantarkan ke tempat benda bersejarah peninggalan Ki Arjo Menak Senojo.

Tokoh asal Palembang itu memiliki kitab yang sudah berusia ratusan tahun. Kitab tersebut ditempatkan di samping pintu masuk Museum Mandilaras. Tidak diketahui secara pasti tahun dibuatnya kitab tersebut. Namun, jika melihat masa hidup Ki Arjo Menak Senojo, kitab tersebut diperkirakan sudah 6 abad.

Baca Juga :  Sèḍâ Dibaca Sèdhâ Berarti Kamu Menjadi Mati

”Benda paling tua di museum itu kitab kuno dari daun lontar. Menurut sejarahnya, kitab itu sudah ada sejak abad ke-14,” terang Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pamekasan R Sonny Budiharto, Rabu (1/8).

- Advertisement -

Keterangan disparbud, Kitab Layang Sejarah Islam tersebut digunakan Ki Arjo Menak Senojo dalam menyebarkan agama Islam di Parupuh (nama asal Kecamatan Proppo). Pada saat itu masyarakat sekitar masih menganut agama Hindu. Selain itu, kitab tersebut dijadikan rujukan dalam kesenian mamaca atau macapat.

”Tapi mamaca sekarang tidak sama dengan mamaca pada masa Ki Arjo Menak Senojo. Kalau dulu mamaca itu diisi dengan sejarah Islam sambil lalu memberikan wejangan nilai-nilai agama, termasuk juga anjuran membaca Alquran,” ujarnya.

Kitab layang kuno tersebut berisi tentang sejarah Islam. Konon, melalui kitab tersebut Ki Arjo Menak Senojo menyebarkan ajaran syariat Islam kepada masyarakat Pamekasan. Dengan begitu, masyarakat lebih mudah mempelajari dan memahami agama Islam.

Seperti pada masa Wali Sanga, penyebaran agama Islam dilakukan dengan melewati kesenian. Hal serupa juga dilakukan Ki Arjo Menak Senojo. Putra dari Ario Damar Adipati itu melakukan syiar dengan cara seni budaya mamaca.

Baca Juga :  Paradoks Tubuh dalam Biografi Garam

Ki Arjo Menak Senojo memiliki kemampuan mamaca yang baik. Hal itu dijadikan sebagai media dakwah dan pendidikan. Apalagi waktu itu, masyarakat belum mengenal Islam secara sempurna.

”Dalam rangka untuk syiar Islam dan menyentuh hati masyarakat, Ki Arjo Menak Senojo melakukan pendekatan dengan melalui kegiatan-kegiatan seni. Seperti syiar yang dilakukan Wali Sanga melalui syiar karawitan,” kata Sonny.

Sonny menjelaskan, pada abad ke-12 Madura sudah terbentuk. Namun, masih terpecah menjadi dua bagian. Yakni Madura barat dan Madura timur. Pada waktu itu, masyarakat sudah ada yang beragama Islam.

Sekitar abad ke-14 Madura pecah menjadi empat bagian setelah putra mahkota Majapahit diberi kekuasaan untuk membuka Madura bagian tengah. Akhirnya, pecah menjadi tiga bagian dan diberi nama Madegan (saat ini Sampang).

”Kemudian pecah lagi menjadi Kabupaten Pamekasan. Jadi, pada masa Ki Arjo Menak Senojo sudah ada yang beragama Islam,” tandasnya.

Artikel Terkait

Musim Karnaval Telah Tiba

Sanja’ Agus Widiey

Kalabendu Jangka Jayabaya

Membekali Murid dengan Sekep

Most Read

Pembangunan WTP Diprediksi 2020

Pengoperasian Rest Area Tunggu Perda

Hanya Sebagian Desa Kelola BUMDes

Artikel Terbaru

/