21.4 C
Madura
Friday, June 2, 2023

Kalabendu Jangka Jayabaya

Cerpen DODY WIDIANTO*

TEPAT di depan sinagoge, ia menunduk lebih dalam. Melihat dengan saksama. Memerhatikan benda asing bersinar kekuningan di samping roda taksi. Aneh. Benda itu tak terbang meski angin terus saja menerbangkan debu di bawah panas yang terik. Sigap ia berjongkok. Memungut. Memasukkan benda sepanjang lima inci ke dalam saku jubahnya. Senyum penasaran menghiasi wajahnya. Orang-orang terus saja berlalu-lalang seolah tak peduli padanya. Ia lalu membuka pintu mobil pesanan yang sedari tadi menunggu. Mengangguk pada sopir, tepat ketika langit di luar terus saja berwarna abu-abu tua.

”Ke mana Tuan?”

”Bandara.”

Ia pelan merebahkan kepala ke sandaran sofa. Mesin perlahan menderu. Roda melaju. Di samping kanan jalan, beberapa pohon oak perlahan bergerak dalam arah berlawanan. Duduk di bangku tengah, ia sejenak berusaha menyamankan tubuh. Meluruskan kaki-kakinya. Seperti tikus keluar dari sarang mencari makan, ia diburu waktu saat meninggalkan apartemennya. Keluarganya di Jogja menelepon. Bilang kakek Idrus meninggal. Ada juga  tamu penting utusan presiden. Ia melihat jam di pergelangan tangan kiri. Masih ada dua jam lebih tersisa sebelum pesawat dari bandara Munich mengangkut tubuhnya ke Yogyakarta International Airport.

Dua puluh menit lebih perjalanan, dalam kantuk yang mendera, ia menguap hebat. Buru-buru tangan kanannya ia katupkan ke mulut. Kepalanya mendadak berat. Menunduk. Mengangguk-angguk. Matanya meredup. Di tengah jalan yang diapit sketsa bangunan berpilar warna terakota, antara sadar dan tidak, ratusan keping puzzle masa lalu tiba-tiba bertebaran di kepalanya. Gambaran kakek Idrus, Mesias, kitab Jangka Jayabaya, zaman Kalabendu, seolah akan ia susun satu per satu.

”Akan datang di mana zaman perlahan berubah. Dari hancur ke teratur. Dari yang jemawa ke rendah hati, sadar diri, dan berusaha membantu sesama. Manusia tidak lagi mendewakan harta dan dunia. Semboyan ”Gusti Sangkan Paraning Dumadi” telah melekat di hati. Manusia akhirnya sadar segala sesuatu di semesta berasal dari mana dan akan kembali ke mana. Rasanya sangat naif jika ada manusia yang sombong padahal dulu ia terlahir telanjang tanpa membawa apa-apa. Namun, sebelum zaman itu terjadi, akan datang terlebih dulu zaman kehancuran ketika rasa takut, cemas, pedih, duka, dan rasa lapar bersatu padu. Banyak pemimpin yang zalim pada rakyat kecil. Manusia sangat susah untuk mencari makan. Semua kebutuhan pokok harganya sangat mahal. Semua serba dikomersialkan dan diperjualbelikan, termasuk wanita dan anak-anak. Semua hasil bumi dikuasai korporasi demi mendulang keuntungan yang besar. Saat itu di mana kesusahan dan kesengsaraan adalah masa penantian yang panjang dan tak berkesudahan. Masa itu adalah zaman Kalabendu. Melihat kondisi dunia sekarang yang banyak diliputi keserakahan dan kelicikan, aku rasa zaman itu telah dimulai dari sekarang.”

Entschuldigung.”

Mobil tetiba merayap pelan. Sopir taksi minta maaf. Takut penumpangnya terlambat. Ia membelok ke kanan. Menuju pengisian bahan bakar.

Seandainya tak ada kabar duka ini, tentu ia tak akan pulang secepat ini. Kakek yang begitu disayangnya, Idrus, meninggal subuh waktu Indonesia. Perusahaan bioteknologi di Munich mengharuskan pengabdiannya untuk waktu sepuluh tahun. Ia sudah terikat kontrak. Ia memohon minta cuti. Perintah dari negerinya sendiri juga membuatnya bingung. Seseorang bilang akan menggajinya lebih besar. Di negaranya banyak yang orang cerdas dan pintar, tetapi untuk apa jika tak ingat pulang dan memilih tinggal di luar negeri.

Baca Juga :  Biarkan Laptop Menyala di Atas Mesin Jahit

Orang suruhan presiden itu bilang jika ia mau pulang, ia akan menduduki posisi penting di pemerintahan. Dulu saat SMA pernah terbersit di pikirannya enak juga kalau jadi anggota dewan. Semua serba tercukupi dan semua keperluan pribadi ditunjang negara. Terlebih bisa ganti-ganti pacar. Namun, itu berarti ia harus meninggalkan laboratorium pribadinya yang masih dalam penelitian-penelitiannya. Apalagi tadi, ia menemukan benda aneh yang mengusik naluri alamiahnya. Waktu tujuh belas jam perjalanan bolak-balik ke makam kakeknya memang dirasa tak memberatkannya. Namun, ia harus membuat keputusan.

Setibanya di bandara Jogja, di depan area penjemputan, sebuah mobil terparkir di bahu jalan. Di bawah langit-langit bangunan yang mirip sarang lebah, ia melambaikan tangan. Setengah berlari. Keluarganya telah menunggu di tepi jalan sana. Ada bapak, ibu, dan dua adiknya. Ia gegas mendekat. Lalu pelukan hangat rindu mendadak bercampur air mata.

”Aku kangen urap kembang turi lho Bu.” Semua tertawa.

Mobil penjemput kemudian melaju ke arah pulang. Menemui kabar duka yang melintasi dua benua. Ia sangat sedih. Kehilangan kakek yang selalu mengajarinya filosofi-filosofi tembang Maskumambang, Kinanthi, Megatruh, dan belasan lagu Macapat yang bahkan ia mulai lupa liriknya. Kemajuan teknologi seakan membawanya lupa pada kearifan budaya Jawa yang telah membesarkannya.

Selain bercerita tentang raja-raja Mataram, kakeknya juga sering bercerita tentang arti motif jarik sidomulyo, parikesit, parang rusak, dan wahyu tumurun. Tentang filsafat belangkon dan keris. Tentang mitoni dan mapati agar manusia tahu dari mana kita berasal dan ke mana akan kembali, dan masih banyak lagi. Namun, sekarang dalam otaknya hanya dipenuhi sandi-sandi gen dan DNA demi sebuah misi yang siapa tahu bisa menolong sesama. Bukan melupakan, ia tetap berterima kasih pada kakeknya yang selalu memberikan semangat juang dalam belajar hingga ia bisa menimba ilmu di jurusan rekayasa genetika di benua biru, tempat Hitler meninggal.

Satu hal yang masih membuatnya penasaran, kakeknya berkata Mesias akan datang ketika zaman Kalabendu telah di puncaknya. Kakeknya tak pernah memberi tahu ciri-ciri Mesias itu seperti apa dan lahir di mana. Semua jawaban ada di kitab Jangka Jayabaya itu. Hanya kakeknya yang tahu kitab yang asli itu disimpan. Sayang, kakeknya keburu meninggal sebelum ia berhasil meminta penjelasan.

Diam-diam, ia ingin memungut sehelai rambut di mayat kakeknya sebelum dikuburkan. Lalu membawa ke laboratorium pribadinya demi membuat kakeknya hidup kembali. Ingin menanyakan keberadaan kitab Jangka Jayabaya itu. Satu perkataan kakeknya yang selalu ia ingat, ”Manungso lahir nggowo sedulur papat, limo pancer, kakang kawah adi ari-ari.” Yang artinya, satu manusia punya empat kembaran di dunia ketika terlahir. Mereka tercipta dari ari-ari, air ketuban, darah, dan tali pusar. Lima adalah satu. Satu adalah lima. Begitu filosofinya. Maka, hari ini ia berusaha membuktikan ucapan kakeknya. Berusaha membuat kakeknya hidup kembali dari bagian-bagian tubuhnya yang masih tersisa. Ia ingin menggabungkan kepingan puzzle yang terus menghantui pikirannya. Kitab Jangka Jayabaya, Mesias, dan takdir Kalabendu.

Namun, tujuh hari setelah kematian kakeknya, beliau datang dalam mimpi. Berkata jika kitab itu ditemukan olehnya, ia takut hal lain akan terjadi. Bukan tidak percaya, manusia selalu diliputi rasa serakah, tamak, dan ingin menguasai segalanya. Maka dari itu, dunia akan lebih aman jika kitab itu tak pernah ditemukan lagi dan semua berjalan atas nama takdir Tuhan. Kakeknya seolah tahu apa yang tersembunyi dalam dada.

Baca Juga :  Marhaban Ya Ramadan

Setahun berlalu dan sekembalinya ke Jerman, percobaan untuk menghidupkan kakeknya membuahkan hasil. Ia seolah tak hirau dengan pesan-pesan kakeknya dari mimpi. Sel-sel dalam tabung kaca percobaannya mulai berkembang menjadi embrio. Membentuk jasad manusia seiring berjalannya waktu. Empat bejana besar berisi cairan khusus yang didesain mirip rahim dan terlapisi membran amnion dipersiapkannya berjajar bersama aliran oksigen yang dialirkan dari selang. Mendadak ruangan kerjanya mirip perut seorang ibu yang mengandung bayi kembar empat. Ia tersenyum. Jika kakeknya hidup lagi dan mau memberi tahu di mana kitab itu, ia akan menemukan keberadaan Mesias nanti. Perlahan, pikiran liciknya bekerja. Satu hal yang ditakutkan kakeknya terbukti tanpa ia sadari.

Namun, mendadak raut mukanya curiga. Ia melihat embrio-embrio itu seperti bukan turunan orang Asia pada umumnya. Buru-buru ia memeriksa saku jubahnya. Benar. Rambut kakeknya dari Jogja hilang entah ke mana. Ia salah memasukkan rambut ke tabung percobannya. Rambut yang sekarang sedang berkembang adalah rambut dari depan sinagoge ketika itu.

Ia tak menyesali kekeliruannya. Toh, jika percobaan pertama ini berhasil, ia yakin bisa mengubah dunia. Ia bangga melihat sel itu terus berkembang. Sebuah kehidupan baru tercipta seolah menggantikan peran Tuhan. Ia tahu perbuatannya ilegal. Namun, ia hanya ingin suatu saat nanti ilmunya berguna bagi sesama karena sekarang ia sedang berusaha mengembangkan kloning tanpa harus melalui bantuan sel telur yang dihilangkan intinya. Ia hanya butuh sel somatis bagian dari tubuh dan mengembangkannya menjadi cikal bakal manusia.

Ia tersenyum. Menyadari kemenangannya. Tepat ketika renyah manis cokelat Cadburry ia kunyah di atas sofa. Di depan televisi 32 inci yang sedang menyiarkan cuaca di Munich, diam-diam, sebuah konspirasi membuatnya tersenyum lepas penuh kemenangan. Ia bisa menggandakan tubuhnya dalam waktu singkat untuk sebuah rencana.

Namun, belum lepas tawa itu, lehernya tiba-tiba seperti dicekik. Suara televisi terlalu keras. Ia tak sadar langkah kaki di belakang membahayakan nyawanya. Mengincarnya dari tadi. Dua pistol telah menempel di pelipis kanan dan kirinya. Empat orang berjenggot tipis berwajah Timur Tengah dengan bahu kekar dalam keadaan telanjang berusaha membunuhnya sekarang. Ia baru tersadar, berusaha melirik ke empat bejana miliknya. Tutupnya pecah. Kacanya berhamburan. Terbuka dengan lelehan cairan ke mana-mana.

Kini, jantungnya berdegup kencang. Ia tak ingin pasrah, walau napasnya terengah-engah.

”Aku penciptamu. Seharusnya kau patuh padaku. Hentikan lelucon ini!”

”Bukankah ciptaan sering ingkar kepada penciptanya?”

Dor! Dor! Dor! (*)

*)Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa.

Cerpen DODY WIDIANTO*

TEPAT di depan sinagoge, ia menunduk lebih dalam. Melihat dengan saksama. Memerhatikan benda asing bersinar kekuningan di samping roda taksi. Aneh. Benda itu tak terbang meski angin terus saja menerbangkan debu di bawah panas yang terik. Sigap ia berjongkok. Memungut. Memasukkan benda sepanjang lima inci ke dalam saku jubahnya. Senyum penasaran menghiasi wajahnya. Orang-orang terus saja berlalu-lalang seolah tak peduli padanya. Ia lalu membuka pintu mobil pesanan yang sedari tadi menunggu. Mengangguk pada sopir, tepat ketika langit di luar terus saja berwarna abu-abu tua.

”Ke mana Tuan?”


”Bandara.”

Ia pelan merebahkan kepala ke sandaran sofa. Mesin perlahan menderu. Roda melaju. Di samping kanan jalan, beberapa pohon oak perlahan bergerak dalam arah berlawanan. Duduk di bangku tengah, ia sejenak berusaha menyamankan tubuh. Meluruskan kaki-kakinya. Seperti tikus keluar dari sarang mencari makan, ia diburu waktu saat meninggalkan apartemennya. Keluarganya di Jogja menelepon. Bilang kakek Idrus meninggal. Ada juga  tamu penting utusan presiden. Ia melihat jam di pergelangan tangan kiri. Masih ada dua jam lebih tersisa sebelum pesawat dari bandara Munich mengangkut tubuhnya ke Yogyakarta International Airport.

Dua puluh menit lebih perjalanan, dalam kantuk yang mendera, ia menguap hebat. Buru-buru tangan kanannya ia katupkan ke mulut. Kepalanya mendadak berat. Menunduk. Mengangguk-angguk. Matanya meredup. Di tengah jalan yang diapit sketsa bangunan berpilar warna terakota, antara sadar dan tidak, ratusan keping puzzle masa lalu tiba-tiba bertebaran di kepalanya. Gambaran kakek Idrus, Mesias, kitab Jangka Jayabaya, zaman Kalabendu, seolah akan ia susun satu per satu.

”Akan datang di mana zaman perlahan berubah. Dari hancur ke teratur. Dari yang jemawa ke rendah hati, sadar diri, dan berusaha membantu sesama. Manusia tidak lagi mendewakan harta dan dunia. Semboyan ”Gusti Sangkan Paraning Dumadi” telah melekat di hati. Manusia akhirnya sadar segala sesuatu di semesta berasal dari mana dan akan kembali ke mana. Rasanya sangat naif jika ada manusia yang sombong padahal dulu ia terlahir telanjang tanpa membawa apa-apa. Namun, sebelum zaman itu terjadi, akan datang terlebih dulu zaman kehancuran ketika rasa takut, cemas, pedih, duka, dan rasa lapar bersatu padu. Banyak pemimpin yang zalim pada rakyat kecil. Manusia sangat susah untuk mencari makan. Semua kebutuhan pokok harganya sangat mahal. Semua serba dikomersialkan dan diperjualbelikan, termasuk wanita dan anak-anak. Semua hasil bumi dikuasai korporasi demi mendulang keuntungan yang besar. Saat itu di mana kesusahan dan kesengsaraan adalah masa penantian yang panjang dan tak berkesudahan. Masa itu adalah zaman Kalabendu. Melihat kondisi dunia sekarang yang banyak diliputi keserakahan dan kelicikan, aku rasa zaman itu telah dimulai dari sekarang.”

- Advertisement -

Entschuldigung.”

Mobil tetiba merayap pelan. Sopir taksi minta maaf. Takut penumpangnya terlambat. Ia membelok ke kanan. Menuju pengisian bahan bakar.

Seandainya tak ada kabar duka ini, tentu ia tak akan pulang secepat ini. Kakek yang begitu disayangnya, Idrus, meninggal subuh waktu Indonesia. Perusahaan bioteknologi di Munich mengharuskan pengabdiannya untuk waktu sepuluh tahun. Ia sudah terikat kontrak. Ia memohon minta cuti. Perintah dari negerinya sendiri juga membuatnya bingung. Seseorang bilang akan menggajinya lebih besar. Di negaranya banyak yang orang cerdas dan pintar, tetapi untuk apa jika tak ingat pulang dan memilih tinggal di luar negeri.

Baca Juga :  UMM Lestarikan Tata Bahasa Indonesia

Orang suruhan presiden itu bilang jika ia mau pulang, ia akan menduduki posisi penting di pemerintahan. Dulu saat SMA pernah terbersit di pikirannya enak juga kalau jadi anggota dewan. Semua serba tercukupi dan semua keperluan pribadi ditunjang negara. Terlebih bisa ganti-ganti pacar. Namun, itu berarti ia harus meninggalkan laboratorium pribadinya yang masih dalam penelitian-penelitiannya. Apalagi tadi, ia menemukan benda aneh yang mengusik naluri alamiahnya. Waktu tujuh belas jam perjalanan bolak-balik ke makam kakeknya memang dirasa tak memberatkannya. Namun, ia harus membuat keputusan.

Setibanya di bandara Jogja, di depan area penjemputan, sebuah mobil terparkir di bahu jalan. Di bawah langit-langit bangunan yang mirip sarang lebah, ia melambaikan tangan. Setengah berlari. Keluarganya telah menunggu di tepi jalan sana. Ada bapak, ibu, dan dua adiknya. Ia gegas mendekat. Lalu pelukan hangat rindu mendadak bercampur air mata.

”Aku kangen urap kembang turi lho Bu.” Semua tertawa.

Mobil penjemput kemudian melaju ke arah pulang. Menemui kabar duka yang melintasi dua benua. Ia sangat sedih. Kehilangan kakek yang selalu mengajarinya filosofi-filosofi tembang Maskumambang, Kinanthi, Megatruh, dan belasan lagu Macapat yang bahkan ia mulai lupa liriknya. Kemajuan teknologi seakan membawanya lupa pada kearifan budaya Jawa yang telah membesarkannya.

Selain bercerita tentang raja-raja Mataram, kakeknya juga sering bercerita tentang arti motif jarik sidomulyo, parikesit, parang rusak, dan wahyu tumurun. Tentang filsafat belangkon dan keris. Tentang mitoni dan mapati agar manusia tahu dari mana kita berasal dan ke mana akan kembali, dan masih banyak lagi. Namun, sekarang dalam otaknya hanya dipenuhi sandi-sandi gen dan DNA demi sebuah misi yang siapa tahu bisa menolong sesama. Bukan melupakan, ia tetap berterima kasih pada kakeknya yang selalu memberikan semangat juang dalam belajar hingga ia bisa menimba ilmu di jurusan rekayasa genetika di benua biru, tempat Hitler meninggal.

Satu hal yang masih membuatnya penasaran, kakeknya berkata Mesias akan datang ketika zaman Kalabendu telah di puncaknya. Kakeknya tak pernah memberi tahu ciri-ciri Mesias itu seperti apa dan lahir di mana. Semua jawaban ada di kitab Jangka Jayabaya itu. Hanya kakeknya yang tahu kitab yang asli itu disimpan. Sayang, kakeknya keburu meninggal sebelum ia berhasil meminta penjelasan.

Diam-diam, ia ingin memungut sehelai rambut di mayat kakeknya sebelum dikuburkan. Lalu membawa ke laboratorium pribadinya demi membuat kakeknya hidup kembali. Ingin menanyakan keberadaan kitab Jangka Jayabaya itu. Satu perkataan kakeknya yang selalu ia ingat, ”Manungso lahir nggowo sedulur papat, limo pancer, kakang kawah adi ari-ari.” Yang artinya, satu manusia punya empat kembaran di dunia ketika terlahir. Mereka tercipta dari ari-ari, air ketuban, darah, dan tali pusar. Lima adalah satu. Satu adalah lima. Begitu filosofinya. Maka, hari ini ia berusaha membuktikan ucapan kakeknya. Berusaha membuat kakeknya hidup kembali dari bagian-bagian tubuhnya yang masih tersisa. Ia ingin menggabungkan kepingan puzzle yang terus menghantui pikirannya. Kitab Jangka Jayabaya, Mesias, dan takdir Kalabendu.

Namun, tujuh hari setelah kematian kakeknya, beliau datang dalam mimpi. Berkata jika kitab itu ditemukan olehnya, ia takut hal lain akan terjadi. Bukan tidak percaya, manusia selalu diliputi rasa serakah, tamak, dan ingin menguasai segalanya. Maka dari itu, dunia akan lebih aman jika kitab itu tak pernah ditemukan lagi dan semua berjalan atas nama takdir Tuhan. Kakeknya seolah tahu apa yang tersembunyi dalam dada.

Baca Juga :  Pesona Keindahan Bahasa Kalam Ilahi

Setahun berlalu dan sekembalinya ke Jerman, percobaan untuk menghidupkan kakeknya membuahkan hasil. Ia seolah tak hirau dengan pesan-pesan kakeknya dari mimpi. Sel-sel dalam tabung kaca percobaannya mulai berkembang menjadi embrio. Membentuk jasad manusia seiring berjalannya waktu. Empat bejana besar berisi cairan khusus yang didesain mirip rahim dan terlapisi membran amnion dipersiapkannya berjajar bersama aliran oksigen yang dialirkan dari selang. Mendadak ruangan kerjanya mirip perut seorang ibu yang mengandung bayi kembar empat. Ia tersenyum. Jika kakeknya hidup lagi dan mau memberi tahu di mana kitab itu, ia akan menemukan keberadaan Mesias nanti. Perlahan, pikiran liciknya bekerja. Satu hal yang ditakutkan kakeknya terbukti tanpa ia sadari.

Namun, mendadak raut mukanya curiga. Ia melihat embrio-embrio itu seperti bukan turunan orang Asia pada umumnya. Buru-buru ia memeriksa saku jubahnya. Benar. Rambut kakeknya dari Jogja hilang entah ke mana. Ia salah memasukkan rambut ke tabung percobannya. Rambut yang sekarang sedang berkembang adalah rambut dari depan sinagoge ketika itu.

Ia tak menyesali kekeliruannya. Toh, jika percobaan pertama ini berhasil, ia yakin bisa mengubah dunia. Ia bangga melihat sel itu terus berkembang. Sebuah kehidupan baru tercipta seolah menggantikan peran Tuhan. Ia tahu perbuatannya ilegal. Namun, ia hanya ingin suatu saat nanti ilmunya berguna bagi sesama karena sekarang ia sedang berusaha mengembangkan kloning tanpa harus melalui bantuan sel telur yang dihilangkan intinya. Ia hanya butuh sel somatis bagian dari tubuh dan mengembangkannya menjadi cikal bakal manusia.

Ia tersenyum. Menyadari kemenangannya. Tepat ketika renyah manis cokelat Cadburry ia kunyah di atas sofa. Di depan televisi 32 inci yang sedang menyiarkan cuaca di Munich, diam-diam, sebuah konspirasi membuatnya tersenyum lepas penuh kemenangan. Ia bisa menggandakan tubuhnya dalam waktu singkat untuk sebuah rencana.

Namun, belum lepas tawa itu, lehernya tiba-tiba seperti dicekik. Suara televisi terlalu keras. Ia tak sadar langkah kaki di belakang membahayakan nyawanya. Mengincarnya dari tadi. Dua pistol telah menempel di pelipis kanan dan kirinya. Empat orang berjenggot tipis berwajah Timur Tengah dengan bahu kekar dalam keadaan telanjang berusaha membunuhnya sekarang. Ia baru tersadar, berusaha melirik ke empat bejana miliknya. Tutupnya pecah. Kacanya berhamburan. Terbuka dengan lelehan cairan ke mana-mana.

Kini, jantungnya berdegup kencang. Ia tak ingin pasrah, walau napasnya terengah-engah.

”Aku penciptamu. Seharusnya kau patuh padaku. Hentikan lelucon ini!”

”Bukankah ciptaan sering ingkar kepada penciptanya?”

Dor! Dor! Dor! (*)

*)Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa.

Artikel Terkait

Most Read

Dishub Hanya Terangi Jalan Protokol

Dokumen RP2KPKP Telan Ratusan Juta

Buku Belum Banyak Kembali

Artikel Terbaru

/