SAMPANG – Pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pasar tradisional di Kabupaten Sampang tidak mencapai target. Dari 24 pasar tradisional, hanya menghasilkan Rp 2,6 miliar atau 53,76 persen dari target sebesar Rp 4,9 miliar.
Kabid Pengelolaan Pasar Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagprin) Sampang Sapta Nuris Ramlan mengatakan, pihaknya kesulitan untuk memenuhi target. Sebab, rata-rata setoran retribusi pasar tradisional sangat minim.
Pemicunya, banyak pedagang tidak mau membayar uang sewa dan perpanjangan izin. Padahal, tidak sedikit pedagang yang menyewa lebih dari satu kios. Uang sewa wajib dibayar tiap bulan. Sementara perpanjangan izin tiap tiga tahun sekali.
Selain itu, ada sejumlah pasar yang tidak ditarik retribusi karena masih dalam proses revitalisasi atau pembangunan. Dengan begitu, tidak bisa menyumbang terhadap PAD. Antara lain Pasar Lebak, Torjun, Rongtengah, Margalela, dan Sreseh.
Tunggakan atau piutang retribusi terbanyak adalah Pasar Srimangunan, Omben, Tanjung, Pangarengan, dan Batorasang. Pedagang tidak mau menempati dan membayar sewa kios karena lokasi kios tidak strategis, sehingga dagangan tidak laku.
”Kesadaran pedagang untuk menaati peraturan dengan tidak menunggak sewa kios minim. Setiap kali diminta, sulit untuk bayar. Terutama pedagang di pasar-pasar tersebut,” ucap Sapta Nuris Ramlan kemarin (29/12).
Pihaknya aktif bersosialisasi kepada pedagang agar memenuhi kewajibannya. Bahkan, berkerja sama dengan satpol PP untuk menagih tunggakan. Apabila ada pedangang yang menunggak selama tiga bulan berturut-turut, akan disanksi berupa denda.
”Sosialisasi dan ancaman sanksi tidak ngefek terhadap pedagang. Buktinya, tunggakan sewa kios ada yang sampai lima bulan,” jelasnya.
Dia menjelaskan, kios pasar ada kelasnya masing-masing. Yakni, kelas I, II, dan III. Biaya sewa kios kelas I Rp 5 ribu per bulan, kelas II Rp 4 ribu, kelas III Rp 3.500. Sedangkan, biaya perpanjangan Rp 2 juta per tiga tahun.
”Kalau sekarang penarikan retribusi ada peraturan baru, tergantung panjang dan lebar kios. Kalau dulu dipukul rata, tapi pedagang tetap mengikuti peraturan yang dulu. Akibatnya, PAD sulit bisa capai target,” ujarnya.
Dia berjanji tahun depan akan memberlakukan sanksi kepada pasar yang tidak bisa memenuhi target. Apalagi,pada 2018 naik menjadi Rp 5,5 miliar.Pihak pengelola harus bekerja maksimal untuk memenuhi target tersebut.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi II Syamsuddin mengatakan, tidak tercapainya target PAD pasar disebabkan oleh sistem pengelolaan yang tidak maksimal. Hal yang perlu diperhatikan agar target tercapai adalah manajemen dan pengelolaan pasar.
Politikus Partai Hanura tersebut mendesak agar dinas terkait terus melakukan upaya memenuhi target tersebut. Tujuannya, supaya tunggakan retribusi bisa ditekan dan jumlah pedagang yang menunggak tidak bertambah banyak.
”Masak setiap tahun target yang sudah ditetapkan tidak bisa tercapai. Pemkab harus tegas menarik retribusi kios kepada pedagang. Jangan menunggu batas waktu, setiap bulan pedagang diingatkan dan ditagih,” pintanya.
Menurut dia, program revitalisasi sejumlah pasar tradisional hanya menguras ABPD dan APBN hingga miliaran rupiah. Semisal Pasar Lebbak di Kecamatan Ketapang yang menghabiskan anggaran Rp 5,5 miliar. Kemudian, Pasar Rongtengah Rp 5,5 miliar.
Pasar Margalela juga memakan anggaran besar, yakni Rp 13,5 miliar. Kemudian Pasar Torjun Rp 1,7 miliar. ”Pasar-pasar tersebut harus bisa dikelola dengan baik dan PAD-nya juga harus meningkat,” pintanya.