SAMPANG – Sebanyak 34 warga Sampang dipulangkan dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. 24 orang di antaranya tiba di gedung balai latihan kerja (BLK) dinas sosial (dinsos) Minggu (29/9) pukul 20.30.
Pj Sekkab Sampang Yuliadi Setiawan menyampaikan, pihaknya mendapat perintah dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur untuk menampung dan memfasilitasi para pengungsi di Wamena asal Kota Bahari. Yang sampai ke Sampang hanya 24 orang. Sisanya dijemput keluarganya di Surabaya.
”Jadi, pengungsi Wamena yang datang ke Sampang ini dua puluh empat orang. Sisanya dijemput langsung oleh keluarganya,” terangnya kemarin (30/9).
Sepuluh orang yang dijemput itu ada yang langsung dibawa ke rumah keluarganya di Surabaya, Mojokerto, Lumajang, dan Kamal, Bangkalan.
Sementara 24 orang yang dikumpulkan di BLK didata dan diserahkan kepada keluarganya masing-masing. ”Jadi, kami data dulu alamatnya. Lalu, kami serahkan pada keluarganya. Bagi yang tidak ada keluarganya, langsung kami antarkan ke alamatnya,” klaimnya.
Dia menjelaskan, pengungsi yang datang tersebut berasal dari Kecamatan Omben, Jrengik, dan Kota Sampang. ”Kondisinya semalam (Minggu, Red) memang lagi panic. Jadi, pengungsi itu ingin cepat pulang ke kampung halamannya,” ujarnya.
Warga asal Sampang yang belum dipulangkan dari Wamena sampai sekarang masih banyak. Namun, pihaknya belum punya data pasti.
”Kali ini yang datang rata-rata warga omben. Ada dua orang yang kesehatannya lemah karena lelah dalam perjalanan,” terangnya.
Yuliadi menegaskan bahwa mereka sudah memperoleh bantuan berupa uang dari Pemprov Jawa Timur senilai Rp 1 juta per orang. ”Kami, Pemkab Sampang, hanya memfasilitasi untuk kepulangan para pengungsi. Kami kawal mereka sampai tempat tinggal masing-masing,” tambahnya.
Dandim O828/Sampang Letkol CZI Ary Syahrial mengatakan, korpsnya terlibat langsung dalam proses evakuasi warga yang mengungsi di Wamena, Papua. Transportasi milik TNI seperti Hercules diterjunkan ke lapangan.
”Proses evakuasi memang bertahap, tidak langsung sekaligus. Kami mengamankan dulu pengungsi yang tiba di Sampang,” singkatnya.
Sementara itu, Mat Safik, pengungsi asal Kecamatan Omben, yang bekerja sebagai sopir di Wamena, menuturkan sudah tiga tahun tinggal di Wamena. Yang terjadi di sana bukan kerusuhan biasa, melainkan pembantaian.
”Saya berlindung di gereja bersama para tentara, tempat tinggal saya dibakar, mobil saya juga terbakar di sana. Saya ketakutan di sana. Jadi, kami lari sekencang-kencangnya waktu itu,” ungkapnya.