Mengelola madrasah diniyah (MD) tidak mudah. Keterbatasan sarana dan prasarana kerap menjadi hambatan. Akibatnya, banyak anak-anak bangsa memilih tidak belajar.
MOH. ALI MUHSIN, Pamekasan, Jawa Pos Radar Madura
SUASANA di Madrasah Muballighin 1 Tanjung cukup ramai. Suara santri yang sedang belajar terdengar hingga ke jalan raya. Ada yang tengah membaca dan menghafal materi yang diajarkan oleh ustad dan ustadahnya.
Kedatangan Jawa Pos Radar Madura (JPRM) disambut Kiai Mohedi. Dia merupakan kepala di madrasah yang terletak di Kecamatan Pademawu, Pamekasan tersebut. Kemudian, dia mengajak untuk melihat langsung santri yang tengah belajar.
Kiai Mohedi sesekali menguji kemampuan santri. Baik kecakapan dalam berbahasa Arab, pelajaran sejarah, dan lainnya. Dia juga memperlihatkan fasilitas dan kondisi gedung yang mulai rusak. ”Gedungnya sudah banyak yang rusak,” ujar Kiai Mohedi.
Dia menjelaskan, Madrasah Muballighin 1 Tanjung sering pindah-pindah lokasi. Pada awal pendirian, berlokasi di Dusun Tanjung. Pendiri madrasah saat itu adalah Kiai Habi sekitar 1960.
Pada saat itu belum ada bangunan khusus untuk kegiatan belajar mengajar (KBM). Semuanya terpusat di masjid kecil yang terbuat dari kayu. Saat jumlah santri makin banyak, dibangun madrasah dari bambu.
Lokasi madrasah tidak jauh dari masjid. Jumlah ruang kelas hanya tiga. Untuk kelas empat, lima, dan enam meminjam gedung SDN Tanjung 3. ”Itu berlangsung pada masa Kiai Ahmad Bahri,” ucapnya.
Kemudian, sekitar 1985, KBM dipindah lagi ke dekat balai desa. Sebab, lokasi semula tidak memadai untuk dilakukan pengembangan. Bangunan madrasah juga terbuat dari bambu. Sementara lahan yang digunakan pinjaman dari warga.
Bangunan madrasah itu hanya ditempati sebentar. Pengelola kembali harus memindah KBM ke balai Desa Tanjung. Kegiatan belajar mengajar di sana berlangsung selama kurun waktu dua tahun. ”Pindah-pindah tempatnya, karena lembaga tidak punya lahan sendiri,” ucapnya.
Kemudian, pada tahun yang sama ada yang mewakafkan di Dusun Jambul untuk dibangun madrasah. Itu terjadi pada masa kepemimpinan Drs Kiai Salamin. Sejak saat itu, kegiatan belajar mengajar tidak ada lagi pemindahan.
”Yang mewakafkan yiatu almarhumah Siti Mariyan. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah dan menjadi amal jariah,” harapnya.
Menurut dia, saat ini masyarakat banyak yang tidak tertarik mengajar di madin. Tenaga pendidik tidak sebanding dengan jumlah santri. Sebab, honor yang diberikan kepada mereka sangat kecil. ”Di sini, jumlah siswa lebih dari seratus, sedangkan jumlah guru hanya tujuh orang,” paparnya.
Dijelaskan, setelah Kiai Habi, diganti Kiai Ahmad. Setelah Kiai Ahmad meninggal, pengelolaan madrasah diganti saudaranya, KH Amir Hamzah. Kemudian, dilanjutkan oleh KH Mohammad Bahri. Setelah itu, diganti Kiai Mohammad Nur dan diganti Kiai Salamin. (*/han)