PAMEKASAN – Angka perceraian di Bumi Gerbang Salam cukup tinggi. Tahun ini saja ada 666 ibu rumah tangga yang mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama (PA) Pamekasan.
”Dari kasus tersebut yang sudah dikabulkan oleh majelis hakim sebanyak 651 perkara,” kata Hery Kushendar selaku Panmud hukum PA Pamekasan kemarin (21/9).
Jumlah tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pengajuan cerai talak. Dalam perkara tersebut hanya ada sekitar 365 suami yang mengajukan cerai talak.
”Sementara jumlah pemohon yang memanfaatkan cerai talaknya berjumlah 341 perkara sampai Agustus,” terang pria asal Pademawu itu.
Angka perceraian pada 2018 lalu juga sangat tinggi. Untuk cerai talak mencapai 569 pemohon. Sementara yang menjatuhkan talaknya 507 perkara.
”Sementara pemohon cerai gugat berjumlah 937 pemohon dan yang dikabulkan sebanyak 864 pemohon,” terangnya.
Hery Kushendar menjelaskan, faktor pengajuan cerai ke PA karena hubungan mereka sudah tidak harmonis lagi. Baik karena faktor ekonomi, kekerasan dalam ruamah tangga (KDRT), dan salah satunya ditinggalkan.
”Kalau cerai gugat yang memutus adalah majelis hakim. Ketika sudah dikabulkan, dibuatkan surat cerai,” terangnya.
Sementara cerai talak, majelis hakim hanya memberi izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak kepada istri. Jadi izin perkara itu difungsikan atau tidak, terserah yang bersangkutan.
”Kalau selama enam bulan suami dipanggil tidak menjatuhkan talak, itu akan gugur perkaranya,” jelasnya.
Diterima tidaknya permohonan tergantung pada pembuktian. Majelis hakim membutuhkan keyakinan jika rumah tangga mereka memang sudah tidak harmonis lagi. ”Harus ada pembuktian berupa surat dan saksi,” tambahnya.
Sementara itu, Sulaisi Abdurrazaq selaku pengacara membenarkan jika warga yang mengajukan permohonan cerai, baik cerai talak atau gugat cerai sangat marak. Selama ini pihaknya mengaku sering kali menjadi kuasa hukum dari masalah tersebut. ”Yang banyak soal tanggung jawab nafkah dari suami, lalu perselingkuhan,” bebernya.
Perempuan cenderung menjadi korban. Baik korban kekerasan fisik maupun psikis. ”Psikis salah satunya karena kebanyakan perempuan harus menanggung biaya hidup sendiri dan biaya hidup pendidikan anak-anaknya. Suami jarang mematuhi putusan tentang nafkah anak,” tukasnya.