PAMEKASAN – Prediksi jumlah tembakau yang akan diserap pabrikan akan menurun tahun ini. Dari sekian pabrikan, hanya dua yang mengonfirmasi jumlah tonase yang akan dibeli.
PT Sadhana Arifnusa afiliasi Sampoerna hanya akan menyerap sekitar 200 hektare tembakau dari petani mitra. Dalam hitung-hitungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pamekasan, 200 hektare setara 200 ton tembakau kering. Tahun lalu, PT Sadhana Arifnusa menyerap 1.500 ton.
PT Bentoel sebelumnya menyerap 1.100 ton. Tahun ini perusahaan itu tidak membeli. PT Djarum juga akan menyerap tembakau petani mitra 900 hektare. Sementara lima dari delapan pabrikan lainnya hanya mengabarkan akan buka dan menyerap tanpa memberi kejelasan tonase tembakau yang akan dibeli.
Ketua Komisi II DPRD Pamekasan Achmadi menyampaikan, disperindag segera mengonfirmasi pabrik yang akan buka tanpa menyertakan tonase. Sebab, jika itu terjadi, akan merugikan petani.
Skema kerugian yang dialami petani sangat mudah. Misalnya, ribuan petani telanjur menanam dengan lahan cukup luas. Namun, di sisi lain pabrikan justru menggantung jumlah tonase tembakau yang akan diserap.
Dewan baru bisa memberikan arahan kepada petani ketika pabrikan sudah memaparkan jumlah tembakau yang akan diserap. ”Sebagai antisipasi, kami meminta petani untuk beralih ke tanaman produktif lain, seperti bawang merah,” terangnya.
Kepala Disperindag Pamekasan Achmad Sjaifudin mengakui banyak pabrikan akan buka. Tapi, belum mengonfirmasi jumlah tembakau yang akan dibeli. Pada 23 Juni mendatang akan digelar forum diskusi (FGD). Hasil diskusi ini akan dirembuk bersama dengan para manajemen pabrikan di Surabaya.
Konfirmasi secara tertulis pada disperindag masih dua pabrikan. Yakni, PT Bentoel dengan serapan nol dan PT Sadhana dengan jumlah serapan 200 hektare milik petani mitra. ”Secara tertulis, PT Djarum belum walaupun mungkin ada kabar akan menyerap dari orang-orangnya,” ungkapnya.
Surat permintaan rencana serapan tembakau 2020 sudah dikirim sejak 18 Mei. Namun, hanya dua pabrikan yang mengonfirmasi. ”Patokan tonase yang bisa kita pegang saat pabrikan sudah mengirimkan data secara tertulis,” ungkapnya.
Prediksi serapan tembakau akan menurun. Dari 24.000 ton pada 2019 menjadi 16.000 ton tahun ini. Penurunan tersebut disebabkan oleh lima faktor pokok. Dua di antaranya jumlah serapan dari pabrikan dan pandemi Covid-19.
Sementara itu, Perda 4/2015 tentang Tata Niaga, Budaya, dan Perlindungan Tembakau Madura belum memberikan perlindungan secara penuh kepada petani. Perda tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit kewajiban pabrikan dalam menyerap tembakau rakyat harus sesuai break-even point (BEP).
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamekasan Samukrah mengatakan, banyak yang belum diatur Perda 4/2015. Salah satunya masalah klaster tembakau. Padahal ada banyak tembakau di Kota Gerbang Salam dengan jenis dan kualitas berbeda-beda.
Selain itu, kewajiban pabrikan dalam menyerap tembakau rakyat harus sesuai titik impas juga belum diatur. Karena itu, tidak ada kepastian harga meski BEP telah ditentukan. Dia menilai, sangat perlu dilakukan revisi dalam Perda 4/2015.
”Tetapi pengaturan itu sangat sulit. Karena dibutuhkan orang yang memang ahli di bidangnya agar petani dan pabrikan sama-sama tidak dirugikan,” ucapnya kemarin (20/6).
Kendati setiap tahun ada pengaturan BEP, tata niaga tembakau masih dilakukan dengan sistem pasar bebas. Penjualan daun emas oleh petani bergantung atas kesepakatan antara penjual dan pembeli. ”Penjual ingin harga mahal dan pembeli ingin harga murah,” imbuhnya.
Kepala Disperindag Pamekasan Achmad Sjaifudin tidak memungkiri Perda 4/2015 belum memberikan kepastian kepada petani walaupun setiap tahun BEP dibahas. Dibutuhkan kajian untuk pengajuan revisi Perda 4/2015. Sebab, ketika perusahaan ditekan untuk menyerap tembakau sesuai BEP, dikhawatirkan justru enggan untuk membeli. ”Kan kasihan petaninya,” imbuhnya.
Selain kajian, dibutuhkan proses panjang dalam upaya perubahan revisi perda. Di antaranya, diajukan ke bagian hukum setkab dan diusulkan ke badan program pembentukan peraturan daerah (bapemperda) DPRD. ”Tetapi kalau eksekutif dan legislatif sudah ada titik temu, tidak ada yang sulit,” katanya. (ky/jup)