PAMEKASAN – Hujan lebat mengguyur bumi Dusun Du’alas, Desa Larangan Luar, Kecamatan Larangan, Pamekasan, Sabtu (1/12). Warga berhamburan. Pepohonan guyub kebahasan. Sementara di samping kanan dan kiri jalan mengalir deras air berwarna kecokelatan.
Pun demikian RadarMadura.id harus mengentikan langkah karena tak mampu menembus jutaan bulir hujan yang menghujam. Sekitar 45 menit berselang, hujan reda. Matahari kembali tersenyum pada jarum jam yang menunjuk pada angka 09.15.
Cukup 10 menit dari tempat berteduh untuk sampai di tujuan. Rumah Astina berada di pinggir jalan. Pohon mangga tumbuh subur di samping rumah dengan bahan kayu papan itu. Perempuan yang memperkirakan berumur 100 tahun itu menyambut koran ini dengan ramah. Senyumnya berkali-kali tersungging dari bibir keriput itu.
Ekspresi kebingungan terpancar dari raut wajahnya. Sesekali, dia melempar tatapannya ke arah jauh. Mencari tempat duduk untuk tamunya karena semenjak tiba harus rela berdiri. Namun, benda yang dicari tak ditemukan.
Perbincangan pun dimulai dengan posisi tuan rumah duduk dan si tamu berdiri. Astina menceritakan kerasnya hidup yang dijalani. Dia harus memulai derita hidupnya sejak suami tercintanya meninggal dunia. Sekitar 20 tahun yang lalu. Perpisahan selamanya itu menjadi awal cerita hidup susahnya.
Kebahagiaan yang terbangun bersama belahan jiwanya itu perlahan luntur. Tinggal kenangan. Dia menjalani kehidupan dengan kesendirian. Tak punya anak. Satu-satunya tempat curhat hanya saudaranya.
Sementara untuk biaya hidup sehari-hari, dia mengandalkan penghasilan dari berjualan makanan ringan. Usaha berjualan itu digelar di rumahnya sendiri.
Usaha berjualan itu berlanjut hingga sekarang. Namun penghasilannya tidak seberapa. Jika bernasib mujur, dia mendapat untung paling banyak Rp 10 ribu dalam sehari. Uang yang didapat tidak lagi mampu menjadi tumpuan hidup.
Akibatnya, untuk bertahan hidup, dia mengandalkan makanan dari tetangga. Jika memiliki uang, dia memasak sendiri di kamar sekaligus berfungsi sebagai dapur itu. ”Kebanyakan (yang dimakan) diberi tetangga,” katanya.
Pada malam hari, dia tidak bisa tidur nyenyak. Dia takut rumahnya roboh diterjang angin dan hujan. Daya tahan tubuhnya yang menurun juga menjadi faktor Astani tidak bisa tidur nyenyak.
Saat hujan turun, angin masuk dari celah papan kayu yang difungsikan sebagai dinding. Bahkan, air merembes dari celah genting atap rumahnya. ”Ada pohon mangga, takut roboh,” katanya.
Astani tidak pernah mendapat bantuan pangan dari pemerintah. Beberapa tahun lalu diberi beras oleh perangkat desa. Tapi, bantuan tersebut dari pribadi, bukan instansi pemerintah.
Terbukti, bantuan itu hanya sekali. Selebihnya, tidak pernah mendapat bantuan pangan berupa beras kembali. ”Dia tidak pernah dapat bantuan raskin,” kata Yusuf, 45, kerabat Astani.
Astani juga tidak pernah mendapat bantuan rehab rumah. Beberapa waktu lalu, ada petugas mengaku dari pemerintah. Petugas itu mendokumentasikan bangunan tempat tinggalnya itu. Namun, sampai sekarang bantuan rumah tidak pernah diterima. Padahal, silih berganti ada yang mengaku petugas menyurvei rumah tidak layak itu.
”Nenek Astani sudah tidak percaya lagi kalau ada petugas yang mengaku akan memberi bantuan,” katanya.
Yusuf berharap pemerintah lebih peka terhadap kondisi warganya. Warga seperti Astani yang tidak memiliki siapa-siapa wajib mendapat bantuan berupa pangan. Termasuk tempat tinggal.
Kepala Dinsos Pamekasan Syaiful Anam tidak menampik ada warga miskin yang tidak terakomodasi bantuan pemerintah. Menurut dia, data penerima bantuan itu diturunkan langsung dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak bisa mengutak-atik data yang sudah ada.
Jika bantuan seperti beras diberikan kepada warga yang tidak tercantum dalam data tersebut, bisa berdampak fatal. Bahkan, bisa dibawa ke ranah hukum.
Pemerintah sekarang melakukan verifikasi dan validasi (verval) data kemiskinan. Tapi, verval itu hanya mengkroscek data dari pemerintah pusat. ”Kalau memang ada warga sangat miskin tidak terdata, kami harap kepala desa melapor kepada kami,” katanya.