Oleh M. H. Said Abdullah*
HARI Guru Nasional (HGN) masih hangat kita peringati pada 25 November 2022. HGN kita peringati untuk mengenang Kongres Guru Indonesia (KGI) pada 24–25 November 1945 yang menandai didirikannya Persaturan Guru Republik Indonesia (PGRI). Elan perjuangan guru sesungguhnya bertalu-talu sejak politik etis yang dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan dan kemerosotan di Hindia Belanda.
Politik etis yang dicanangkan oleh Ratu Wilhelmina pada 17 September 1901, sesungguhnya ditujukan menarik simpati rakyat. Sebab, ia baru saja dilantik sebagai ratu Kerajaan Belanda. Akibat politik tanam paksa sejak 1830, kelompok sosialis-liberal di parlemen Belanda seperti Baron van Dedem, Van Deventer, Douwes Dekker, serta didukung jurnalis liberal dari De Locomotief, Peter Brooschof melancarkan kritik bertubi-tubi di parlemen atas pelaksanaan tanam paksa yang menimbulkan kesengsaraan luas di Hindia Belanda.
Singkat cerita, dicanangkanlah politik etis di Hindia Belanda melalui tiga program, yakni; (1) membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian, (2) menggerakkan program transmigrasi, dan (3) perluasan pendidikan dan pengajaran. Namun, dalam pelaksanaannya, ketiga program tersebut mengalami penyimpangan dan kemerosotan moral. Ditambah krisis anggaran lantaran dunia saat itu menghadapi great depression ekonomi tahun 1930.
Program pendidikan politik etis hanya disematkan untuk mencari tenaga administrasi yang cakap dan murah. Itu pun sebatas menyasar orang-orang pribumi kaya dan mereka yang bekerja untuk administratur kolonial. Alih alih memberikan kemajuan, program politik etis yang menyimpang malah menimbulkan diskriminasi baru. Namun, diskriminasi malah melahirkan ”anak haram” yang kelahirannya ditentang habis oleh kolonial Belanda.
Anak-anak priayi yang berhasil sekolah, bahkan mengenyam pendidikan hingga ke Belanda, tumbuh menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, Hatta, dan lain-lain. Sekolah-sekolah formal yang makin banyak didirikan di Hindia Belanda melahirkan kelompok-kelompok organisasi perguruan. Terinspirasi oleh semangat Sumpah Pemuda 1928, Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada 1932 mengubah diri menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Lahirnya PGI yang arahnya menuju tatanan baru, lepas dari genggaman kolonial, membuat marah pemerintah kolonial.
Pada masa pendudukan Jepang, tak ada satu pun organisasi guru diizinkan berdiri. Barulah setelah merdeka, tepat setelah seratus hari pasca proklamasi, didirikan PGRI pada 25 November 1945. Momen ini diputuskan oleh pemerintah sebagai Hari Guru Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.
Lompatan Kemajuan
Banyak bangsa besar melesat maju membangun peradabannya. Kunci kemajuan itu berawal dari dedikasi guru yang luar biasa. Kita bisa berkaca pada Jepang pasca kekalahan telak mereka dalam Perang Dunia II dengan sekutu.
Kekalahan perang dan kehancuran di Hiroshima dan Nagasaki tidak membuat bangsa Jepang bermuram durja berlarut-larut. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito menyatakan kalah perang di Perang Dunia II. Sebulan sejak menyatakan kalah perang, hal pertama dan yang utama dilakukannya adalah menata ulang masa depan Jepang melalui pendidikan. Kaisar Hirohito mendata seluruh guru yang tersisa di seluruh negerinya. Tercatat hanya ada 45 ribuan guru yang masih hidup.
Selanjutnya, Pemerintah Jepang melalui menteri pendidikan menelurkan sebelas pedoman kerja kebijakan pendidikan untuk pembangunan Jepang baru. Inti dari kebijakan ini membuat ”arah baru” pendidikan yang diabdikan untuk tujuan damai, membangkitkan moralitas rakyat pasca perang, dan menjadikan guru sebagai pilar utama yang menjadi sasaran re-edukasi untuk memastikan keberhasilan sebelas pedoman kerja pendidikan.
Kini, kita bisa saksikan Jepang menjadi salah satu poros global dalam kemajuan teknologi, menjadi negara dengan PDB sebesar US$ 4,94 triliun, menempati peringkat empat dunia, dan PDB per kapita US$ 35.278 dan bagian dari high income country. Sejak 1970-an atau 25 tahun sejak arah baru pedoman pendidikan digulirkan, produk-produk teknologi Jepang sudah membanjiri pasar dunia, bahkan mengalahkan produk-produk Eropa dan Amerika Serikat hingga kini.
Tentu bukan hanya Jepang yang memanen kemajuan karena guru dan sistem pendidikan yang baik. Tetangga kita, Singapura, tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti kita. Bahkan, luasnya hanya selisih sedikit dengan Jakarta. Meski tanpa kekayaan alam yang melimpah ruah, namun Singapura GDP per kapitanya mencapai 66.176 US$ atau peringkat empat dunia. Kunci lompatan kemajuan Singapura dan banyak negara maju lainnya seperti di kawasan Skandinavia adalah sumber daya manusia yang unggul.
Tangan Guru
Selain pendidikan modern ala barat yang dijalankan oleh pemerintah kolonial, wilayah Hindia Belanda, khususnya Madura, juga tumbuh pendidikan yang bertumpu pada keagamaan (Islam) yang diprakarsai oleh para kiai. Sebagai salah satu basis pengembangan Islam, banyak pesantren-pesantren tua di Madura. Semisal Ponpes Nazhatut Thullab yang didirikan Kiai Abdul ‘Allam pada 1702 di Camplong, Sampang.
Di Pamekasan ada Ponpes Darul Ulum Banyuanyar yang didirikan Kiai Itsbat pada 1787. Di ujung barat Madura, pada 1861 KH Syaikhona Muhammad Kholil mendirikan pesantren. Mbah Kholil menjadi salah satu poros yang melahirkan ulama-ulama besar di Jawa. Bahkan, KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan KH Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah adalah murid-murid beliau. Bahkan, Bung Karno juga diangkat menjadi santri beliau di saat HOS Tjokroaminoto mengajak Bung Karno muda berkunjung ke Mbah Kholil.
Pada perkembangannya, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan dan pembentukan karakter. Pesantren yang ditasbihkan kuno dan tradisional, faktanya malah inklusif. Bertolak belakang dengan pendidikan Belanda yang dikabarkan modern, malah berwatak eksklusif dan diskriminatif. Selain itu, dikisahkan, Kiai Abdul ‘Allam bersama Cakraningrat II merumuskan langkah-langkah melawan Belanda. Lebih jauh, KH Hasyim Asy’ari yang notabene murid Mbah Kholil kerap menjadi rujukan tokoh-tokoh pergerakan melawan kolonialisme oleh banyak negara pada zamannya.
Di tangan para kiai yang notabene adalah guru secara hakiki, Madura tumbuh menjadi kekuatan peradaban Islam. Pada saat yang sama, khazanah keislaman yang disemai oleh para kiai tidak menempatkan Madura terbelakang. Keislaman di Madura mampu secara arif mengadaptasikan modernitas dalam kadarnya yang dibutuhkan, serta menyaring residu modernitas yang berakibat patologis bagi kebudayaan orang Madura.
Situasi ini mengesankan pembangunan di Madura berjalan lambat. Wajar jika Madura ditakar menggunakan indikator developmentalisme tertinggal dengan wilayah-wilayah lain di Jawa Timur. Di sinilah kita memerlukan kacamata yang pas dalam mencerna perilaku dan perubahan-perubahan sosial di Madura. Itu agar tidak salah sangka dan dengan sembrono menancapkan ukuran-ukuran kemajuan menggunakan cara pandang teknokrat. Pilihlah pendekatan emik dan etik untuk melihat Madura. Pesantren, sekolah-sekolah formal, dan perguruan tinggi berjalan beriring, mengisi ruang batin dan ruang pikir secara simetris dan harmonis. (*)
*) Ketua Badan Anggaran DPR RI