Oleh MUHAMMAD AFFAN ADZIM *
SUATU ketika seorang penempuh jalan sunyi bertanya pada Syeikh Muhammad Dhiyauddin Kushwandhi. ”Guru, jalan spiritual macam apa yang paling cepat menghantar diri pada Rabb ilahi?”
”Berkhidmah, melayani hamba-Nya,” jawab sang guru. Dengan melayani sesama, lebih-lebih guru dan orang tua, berarti ia telah melayani Tuhannya.
Seperti yang telah disarikannya dari wejangan Syeikh Siti Jenar, pada saat seorang hamba sedang tafakur, berpikir tentang kekuasaan dan ciptaan-Nya, adakalanya situasi batin terjebak, pikirannya terseret untuk melamun. Lalu, saat sedang berzikir berusaha mengingat-Nya dalam ucap dan pikir, sering kali mata jadi berat diserang kantuk. Sedangkan ketika sudah merasa diawasi-Nya, ia pun sudah tertidur.
Adapun berkhidmah, melayani sesama, merupakan satu dari keempat jalan yang paling mudah ditempuh. Siapa pun mampu jika ada mau. Hakekat kemuliaan dapat diraih seorang murid lewat khidmah kepada guru, orang tua, dan sesama. Khidmah adalah biji dari kemuliaan. Demikian Syeikh Ibnu Abdullah memaparkan dalam satu keterangan.
Di pondok pesantren banyak sekali kisah-kisah penting bertutur tentang keutamaan khidmah. Santri yang berbakti, berkhidmah dengan sepenuh hati, dan bertindak sekemauan dengan sang guru dan murabbi, mereka tidak akan pulang kecuali barokah akan menyertai. Santri yang berkhidmah kepada gurunya, berarti ia telah menanggalkan egonya. Maka, hidupnya akan mulia dan bahagia. Tidak hanya di dunia, namun hingga ke alam baka.
Alkisah pada masa Nabi Musa, seorang perempuan diusir dari lingkungan kota karena ulah kejahatannya. Setiba di gurun dia melihat anjing berputar-putar di sekitar sumur. Hewan itu menjilati tanah karena sangat kehausan. Ia memasukkan selendang penutup kepalanya ke dalam sumur, menariknya, dan memerasnya. Anjing itu lalu minum dari air perasannya.
Tidak lama ajal menjemput si perempuan. Allah lalu menceritakannya kepada Nabi Musa. ”Ambil, kubur, doakanlah ia.” Nabi Musa segera bertanya kepada orang-orang, namun tak satu pun yang kenal. ”Satu-satunya orang yang meninggal adalah perempuan yang diusir dari kota karena kejahatannya,” sanggah salah satu dari mereka.
Tetapi hanya karena ia melayani seekor anjing kehausan di padang gurun, perempuan itu dimasukkan ke dalam golongan hamba-Nya oleh Zat Yang Maha Ghafuur. ”Telah kumasukkan ia ke dalam golongan hamba-Ku,” firman-Nya pada Nabi Musa.
Bagaimana jika yang kehausan itu tetanggamu, teman dekatmu, karibmu? Bagaimana jika guru dan orang tuamu yang kau ringankan bebannya, yang saat sempit hidupnya kau lapangankan jalannya?
Ego dan ke-aku-an diri adalah hijab terbesar bagi para pejalan rohani. Dengan berkhidmah dan melayani sesama, lebih-lebih pada guru dan orang tua, seorang penempuh jalan sunyi telah meniadakan dirinya yang personal menggapai maqam manusia universal. Misi ini sejalan dengan semangat kerasulan nabi panutan alam; wa ma arsalnaka Illa rahmatan lil ’alamin. Kehadiranmu di dunia tidak lain untuk saling berbagi kasih sayang kepada sesama dan semesta. Tidaklah berkhidmah seorang hamba kecuali ia telah membuka satu tabir antara diri dan Rabb-Nya
Itulah sejatinya cermin rohani seorang santri. Itulah lentera hati yang dapat menerangi jalan spiritual meraih derajat tinggi. Pada puncak perjalanan spiritualmu nanti, kesadaran ilahiyah yang akan kau raih. Maka ”Ke arah mana pun engkau melepaskan pandangan, di situlah tampak wajah Tuhan.” (QS al-Baqarah [2]:115). (*)
*)Pengurus LESBUMI PCNU Sumenep, tinggal di Sabajarin Guluk-Guluk