24 C
Madura
Wednesday, June 7, 2023

Madura Historis, Pragmatis, dan Mistis

Oleh AINUL YAQIN*

BUKU Madura Niskala karya penulis asal Pamekasan berupaya menginterpretasikan Madura tidak melulu dari sisi kultural dan religiositasnya saja seperti carok, karapan sapi, dan tradisi keberagamaan yang kental nan kuat. Melampaui itu, interpretasi yang lebih ekstensif dan eksplisit, Royyan Julian mencoba menerjemahkan Madura. Pertama, dari sisi historisnya seperti asal muasal manusia Madura, potret makam-makam kuno sebagai eksistensi bebuyut orang Madura. Kedua, dari sisi pragmatis yang sampai sekarang masih menjadi watak mengakar bagi manusia Madura. Ketiga, dari aspek mistis, yang dicirikan dengan pola hidup orang Madura yang masih mengeramatkan ritus kematian dan memercayai dukun atau paranormal untuk mempermulus segala urusan.

Buku Madura Niskala ini disibak dengan salah satu esai menarik berjudul Ziarah ke Masa Silam. Royyan berupaya mencurahkan kepada pembaca mengenai kegelisahan arkeologisnya seputar makam-makam kuno nan keramat yang tak terawat dan terbengkalai. Makam-makam itu dikenal dengan istilah buju. Buju berarti makam para wira, wali, raja, dan tokoh-tokoh yang diistimewakan. Di antara beberapa makam para buju yang terbengkalai itu adalah kompleks makam Kiai Moko dan Kiai Raba. Banyak yang tidak tahu bahwa Kiai Moko adalah sosok legendaris di balik objek wisata api abadi di Pamekasan, sedangkan Kiai Raba adalah salah satu murid Waliullah Raden Aji Gunung di Sampang. Dua makam itu nyaris tak terurus oleh tangan-tangan masyarakat setempat, bahkan pemkab. Keduanya Tak bernasib sama dengan situs pemakaman lain di Madura yang telah lama naik daun menjadi objek wisata religi. Sebut saja situs Syaikhona Kholil Bangkalan, Asta Tinggi Sumenep, Sayyid Yusuf di Pulau Poteran, dan sebagainya.

Di esai kedua berjudul Kosmologi Pragmatis Manusia Madura, Royyan mengajak kita menyelami Madura secara lebih substansial. Label pragmatis ia sematkan pada watak dasar orang Madura karena etos kerja mereka yang tinggi. Afirmasi pertama, Royyan menuliskan bahwa jagat hidup orang Madura adalah ”pragmatis”. Hal itu ditandai dengan corak keberislaman orang Madura yang cenderung syariat ketimbang mistik. Orang Madura tidak punya banyak waktu untuk merenungi kosmos seperti halnya orang Jawa yang melahirkan tarekat dan suluk yang menjadi ritus keintiman mereka dengan Tuhan. Orang Madura mempergunakan waktu mereka untuk menggarap sawah dan menjaring ikan. Tanah yang mereka garap adalah tanah kering berkapur yang butuh ketekunan dan kesungguhan demi menumbuhkan setangkai padi dan jagung. Berbeda sekali dengan keadaan fisik tanah di Jawa yang subur. Si empunya hanya perlu menancapkan tongkat kayu dan melempar batu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Merenungi kosmos pun tersedia banyak waktu.

Baca Juga :  Safari, Adab, dan Fikih Perjalanan

Afirmasi kedua, watak pragmatis timbul yang mendasarkan pada sumber historis. Konon Raden Segara, penguasa pertama Madura, lahir dari rahim ibunya, Bendara Gung, di tengah lautan mengendarai sebuah rakit. Ombak dan badai di lautan yang mengiringi kelahiran sang Raden ke dunia memunculkan tafsiran bahwa pola hidup nelayan Madura adalah abantal omba’ asapo’ angen (berbantal ombak berselimut angin). Nelayan Madura seakan telah akrab dengan ganasnya ombak dan badai kala melaut. Sebab, sang moyang Raden Segara lahir diiringi terpaan badai dan ombak di lautan.

Afirmasi ketiga, watak pragmatis bisa disaksikan dari budaya ”rantau” yang menjangkiti orang Madura. Faktor tekanan ekonomi maupun keterbatasan sumber daya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menjadi alasan utama. Mereka harus mencari sumber penghidupan sampai ke luar pulau seperti Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sumatra. Bahkan, ke negeri seberang seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Arab. Usaha mereka di tanah orang tidak sia-sia, bahkan berbuah manis. Problematika ekonomi keluarga di kampung halaman kian dapat dientas. Sampai-sampai mereka dapat membangun rumah dan membeli mobil.

Afirmasi keempat, watak pragmatis menyebabkan kerusakan ekologis di wilayah daratan maupun perairan di Madura. Masifnya ketersediaan SDA yang hanya dikeruk untuk kepentingan pribadi tanpa pertimbangan jangka panjang adalah faktor utama kerusakan ekologis. Potret proyek pertambangan batu kapur (galian C), tercemarnya laut karena limbah tambak udang, dan alih fungsi lahan adalah background biasa di bumi Pulau Garam. Royyan menyebutnya dengan ”ekologi dangkal”. Artinya, alam hanya dapat dikeruk dan dipergunakan untuk memenuhi hasrat dan hajat manusia tanpa pertimbangan kelanggengan ekologis jangka panjang. Akibatnya, musibah ekologis masif terjadi seperti krisis air, tanah longsor, dan rusaknya ekosistem kelautan.

Baca Juga :  Pendidikan Anak dalam Lagu Gai’ Bintang

Royyan memungkasi bukunya dengan esai berjudul serupa dengan judul buku. Ya Madura Niskala. Pola hidup orang Madura direpresentasikan dengan keimanan kuat pada hal-hal mistis atau supranatural. Hal itu bisa dilihat dari masifnya orang Madura yang datang ke dukun atau paranormal untuk mengobati penyakitnya dan memperlancar segala urusannya. Ritus kematian juga menjadi ritus mistik yang tak boleh terlewati. Orang Madura percaya bahwa dengan mengunjungi makam leluhur dan memanjatkan doa untuk mereka pada waktu tertentu seperti pada Kamis sore, Jumat pagi, menjelang Ramadan, dan Lebaran, roh mereka akan tenang selama di alam kubur. Sebaliknya, makam yang jarang dikunjungi oleh keluarga dan kerabat dekat, rohnya dipercaya akan menghampiri rumah dan memelas meminta didoakan oleh anak cucunya yang masih hidup pada waktu-waktu tertentu. Semisal malam Jumat.

Buku ini menyuguhkan kajian menarik nan renyah untuk memperluas khazanah ke-Madura-an kita. Royyan tampaknya cukup lihai mengolah kata dan bahasa, lalu memadukannya dengan konteks sosio-kultural di Madura. Namun, perlu menjadi catatan, dalam buku ini banyak kosakata bahasa Indonesia yang tak jamak dipakai alias jelimet dalam penulisan karya-karya nonfiksi semacam esai. Semisal jupang, sabak, wingit, takarir, syaman, jawawut, waskita, anunsiasi, dan sederet kosakata jelimet lainnya. Bagi pembaca yang belum terbiasa berhadapan dengan kosakata semacam itu, barangkali harus bolak-balik menengok kamus. Kosakata macam ini agaknya lebih pas jika digunakan dalam penulisan karya tulis fiksi semacam cerpen dan puisi.

Buku ini juga tampaknya kurang mengeksplorasi kekayaan bumi Madura secara utuh. Tampak dari beberapa tulisan yang masih memprioritaskan satu daerah yaitu Pamekasan dari empat kabupaten di Madura. Padahal, penulis dan buku karyanya diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih ensiklopedis. Khususnya, pengetahuan tentang Madura yang beberapa masih belum tersaji di meja diskusi dan riset ilmiah. (*)

*)Santri Annuqayah Latee, asal Ambunten, Sumenep

 

Oleh AINUL YAQIN*

BUKU Madura Niskala karya penulis asal Pamekasan berupaya menginterpretasikan Madura tidak melulu dari sisi kultural dan religiositasnya saja seperti carok, karapan sapi, dan tradisi keberagamaan yang kental nan kuat. Melampaui itu, interpretasi yang lebih ekstensif dan eksplisit, Royyan Julian mencoba menerjemahkan Madura. Pertama, dari sisi historisnya seperti asal muasal manusia Madura, potret makam-makam kuno sebagai eksistensi bebuyut orang Madura. Kedua, dari sisi pragmatis yang sampai sekarang masih menjadi watak mengakar bagi manusia Madura. Ketiga, dari aspek mistis, yang dicirikan dengan pola hidup orang Madura yang masih mengeramatkan ritus kematian dan memercayai dukun atau paranormal untuk mempermulus segala urusan.

Buku Madura Niskala ini disibak dengan salah satu esai menarik berjudul Ziarah ke Masa Silam. Royyan berupaya mencurahkan kepada pembaca mengenai kegelisahan arkeologisnya seputar makam-makam kuno nan keramat yang tak terawat dan terbengkalai. Makam-makam itu dikenal dengan istilah buju. Buju berarti makam para wira, wali, raja, dan tokoh-tokoh yang diistimewakan. Di antara beberapa makam para buju yang terbengkalai itu adalah kompleks makam Kiai Moko dan Kiai Raba. Banyak yang tidak tahu bahwa Kiai Moko adalah sosok legendaris di balik objek wisata api abadi di Pamekasan, sedangkan Kiai Raba adalah salah satu murid Waliullah Raden Aji Gunung di Sampang. Dua makam itu nyaris tak terurus oleh tangan-tangan masyarakat setempat, bahkan pemkab. Keduanya Tak bernasib sama dengan situs pemakaman lain di Madura yang telah lama naik daun menjadi objek wisata religi. Sebut saja situs Syaikhona Kholil Bangkalan, Asta Tinggi Sumenep, Sayyid Yusuf di Pulau Poteran, dan sebagainya.


Di esai kedua berjudul Kosmologi Pragmatis Manusia Madura, Royyan mengajak kita menyelami Madura secara lebih substansial. Label pragmatis ia sematkan pada watak dasar orang Madura karena etos kerja mereka yang tinggi. Afirmasi pertama, Royyan menuliskan bahwa jagat hidup orang Madura adalah ”pragmatis”. Hal itu ditandai dengan corak keberislaman orang Madura yang cenderung syariat ketimbang mistik. Orang Madura tidak punya banyak waktu untuk merenungi kosmos seperti halnya orang Jawa yang melahirkan tarekat dan suluk yang menjadi ritus keintiman mereka dengan Tuhan. Orang Madura mempergunakan waktu mereka untuk menggarap sawah dan menjaring ikan. Tanah yang mereka garap adalah tanah kering berkapur yang butuh ketekunan dan kesungguhan demi menumbuhkan setangkai padi dan jagung. Berbeda sekali dengan keadaan fisik tanah di Jawa yang subur. Si empunya hanya perlu menancapkan tongkat kayu dan melempar batu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Merenungi kosmos pun tersedia banyak waktu.

Baca Juga :  Ramadan dan Pemaknaan Tradisi Tadarusan

Afirmasi kedua, watak pragmatis timbul yang mendasarkan pada sumber historis. Konon Raden Segara, penguasa pertama Madura, lahir dari rahim ibunya, Bendara Gung, di tengah lautan mengendarai sebuah rakit. Ombak dan badai di lautan yang mengiringi kelahiran sang Raden ke dunia memunculkan tafsiran bahwa pola hidup nelayan Madura adalah abantal omba’ asapo’ angen (berbantal ombak berselimut angin). Nelayan Madura seakan telah akrab dengan ganasnya ombak dan badai kala melaut. Sebab, sang moyang Raden Segara lahir diiringi terpaan badai dan ombak di lautan.

Afirmasi ketiga, watak pragmatis bisa disaksikan dari budaya ”rantau” yang menjangkiti orang Madura. Faktor tekanan ekonomi maupun keterbatasan sumber daya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menjadi alasan utama. Mereka harus mencari sumber penghidupan sampai ke luar pulau seperti Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sumatra. Bahkan, ke negeri seberang seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Arab. Usaha mereka di tanah orang tidak sia-sia, bahkan berbuah manis. Problematika ekonomi keluarga di kampung halaman kian dapat dientas. Sampai-sampai mereka dapat membangun rumah dan membeli mobil.

Afirmasi keempat, watak pragmatis menyebabkan kerusakan ekologis di wilayah daratan maupun perairan di Madura. Masifnya ketersediaan SDA yang hanya dikeruk untuk kepentingan pribadi tanpa pertimbangan jangka panjang adalah faktor utama kerusakan ekologis. Potret proyek pertambangan batu kapur (galian C), tercemarnya laut karena limbah tambak udang, dan alih fungsi lahan adalah background biasa di bumi Pulau Garam. Royyan menyebutnya dengan ”ekologi dangkal”. Artinya, alam hanya dapat dikeruk dan dipergunakan untuk memenuhi hasrat dan hajat manusia tanpa pertimbangan kelanggengan ekologis jangka panjang. Akibatnya, musibah ekologis masif terjadi seperti krisis air, tanah longsor, dan rusaknya ekosistem kelautan.

- Advertisement -
Baca Juga :  Stop Santri Entrepreneur

Royyan memungkasi bukunya dengan esai berjudul serupa dengan judul buku. Ya Madura Niskala. Pola hidup orang Madura direpresentasikan dengan keimanan kuat pada hal-hal mistis atau supranatural. Hal itu bisa dilihat dari masifnya orang Madura yang datang ke dukun atau paranormal untuk mengobati penyakitnya dan memperlancar segala urusannya. Ritus kematian juga menjadi ritus mistik yang tak boleh terlewati. Orang Madura percaya bahwa dengan mengunjungi makam leluhur dan memanjatkan doa untuk mereka pada waktu tertentu seperti pada Kamis sore, Jumat pagi, menjelang Ramadan, dan Lebaran, roh mereka akan tenang selama di alam kubur. Sebaliknya, makam yang jarang dikunjungi oleh keluarga dan kerabat dekat, rohnya dipercaya akan menghampiri rumah dan memelas meminta didoakan oleh anak cucunya yang masih hidup pada waktu-waktu tertentu. Semisal malam Jumat.

Buku ini menyuguhkan kajian menarik nan renyah untuk memperluas khazanah ke-Madura-an kita. Royyan tampaknya cukup lihai mengolah kata dan bahasa, lalu memadukannya dengan konteks sosio-kultural di Madura. Namun, perlu menjadi catatan, dalam buku ini banyak kosakata bahasa Indonesia yang tak jamak dipakai alias jelimet dalam penulisan karya-karya nonfiksi semacam esai. Semisal jupang, sabak, wingit, takarir, syaman, jawawut, waskita, anunsiasi, dan sederet kosakata jelimet lainnya. Bagi pembaca yang belum terbiasa berhadapan dengan kosakata semacam itu, barangkali harus bolak-balik menengok kamus. Kosakata macam ini agaknya lebih pas jika digunakan dalam penulisan karya tulis fiksi semacam cerpen dan puisi.

Buku ini juga tampaknya kurang mengeksplorasi kekayaan bumi Madura secara utuh. Tampak dari beberapa tulisan yang masih memprioritaskan satu daerah yaitu Pamekasan dari empat kabupaten di Madura. Padahal, penulis dan buku karyanya diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih ensiklopedis. Khususnya, pengetahuan tentang Madura yang beberapa masih belum tersaji di meja diskusi dan riset ilmiah. (*)

*)Santri Annuqayah Latee, asal Ambunten, Sumenep

 

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/