20.7 C
Madura
Friday, June 2, 2023

Jakarta(an)

Oleh USWATUN HASANAH*

Kalakowan bisa etero, rajekke se ta’ nanto.

JIKA menelaah kalimat yang sering digunakan orang Madura ini, perihal harapan sejahteranya diri, baik dalam ranah ekonomi dan hal lainnya, menjadi bahan renungan untuk mengembalikan pada posisi semula sampai pada tahap, ini loh, takaran saya.
Seperti halnya merantau. Banyak orang merantau, baik ke luar kota hingga luar negeri, seperti Arab Saudi, Malaysia, Hongkong, dll. Selaras dengan pendapat Naim (2013), merantau adalah meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri, memiliki jangka waktu lama dengan tujuan tertentu yang pada akhirnya akan kembali ke kampung halaman.

Dulu, dulu sekali, semasih saya kanak-kanak di Madura, terutama di kampung saya, banyak orang merantau ke Banyuwangi, Jember, Rogojampi, dll. Kami menyebutnya ”palajar” yang artinya pelayar. Di sana, orang-orang perantau itu ada yang bekerja di kebun kopi, berdagang dengan sistem mindring ke kampung-kampung, termasuk uyut saya adalah perantau andal di zamannya.

Lalu, kian ke sini ada yang mencoba merantau ke Arab meski jumlahnya tidak banyak, tapi ada. Terus ke berbagai daerah, sampai sekarang yang hampir mendominasi itu merantau ke Jakarta, yang sering disebut dengan istilah ”jakarta’an”.

Kenapa merantau itu digemari, terutama merantau ke Jakarta? Karena merantau ke Jakarta dianggap gampang meraup pendapatan, gampang mendapatkan pundi-pundi rupiah. Padahal, ya tidak ada pekerjaan mudah. Juga tidak sedikit pekerja jakarta’an yang malah menambah utang. Ini yang jarang dibicarakan di khalayak.

Baca Juga :  Madura Historis, Pragmatis, dan Mistis

Seperti kalimat falsafah di atas bahwa semua keinginan manusia itu sama, sama-sama ingin kaya, sejahtera, namun garis dan takaran hidup itu yang berbeda. Pekerjaan apa pun termasuk menjadi perantau itu bisa ditiru. Namun jangan lupa, semua diri punya rel masing-masing.

Berbicara tentang merantau ke Jakarta, rata-rata menjadi pengelola atau pekerja toko kelontong, tidak hanya menyediakan kebutuhan primer, melainkan juga bahan tersier dan sekunder. Lalu, mi instan, obat-obatan, sandal, perlengkapan mandi, sikat baju, sandal, perlengkapan memasak, jajanan, bensin, mainan, pulsa, jasa tranfer antar bank, dll.

Seperti halnya pekerjaan lain, pekerja toko kelontong juga banyak memiliki risiko serta suka dukanya. Menjadi bagian dari masyarakat baru dengan budaya yang berbeda tentu butuh ketabahan lebih untuk beradaptasi dengan lingkungan. Saya sebagai orang yang menekuni pekerjaan ini, awalnya celingak-celinguk menghadapi puluhan bahkan ratusan karakter orang yang berbeda-beda.

Suatu ketika, ibu-ibu tergopoh menyerobot antrean. Ia kukuh menyodorkan uang meminta dilayani lebih dulu dengan dalih lupa mematikan kompor. Tanpa pikir panjang saya melayani, ndilalah itu sebatas prank untuk memudahkan jalan. Budaya tidak mau antre ala ibu-ibu setengah tua.

Tidak berhenti di situ jurus ibu-ibu kompleks. Ada juga yang tiba-tiba datang nyerobot dengan adegan memintal tangan di perut sembari menggerakkan kakinya ke kanan kiri dengan melontar kalimat, ”Saya duluan Mbak, kebelet niih, duuuh…!”

Banyak jakarta’an pemula ini yang tidak lolos sampai pada tujuannya. Mereka harus menyerah pada keadaan, semisal cara hidup keseharian. Rata-rata ruangan kontrakan yang sempit membuat tidur kami kadang cuma cukup berbaring. Jika untuk dua orang harus dengan posisi miring. Sebagai pekerja pemula tentu tidak bisa memilih lokasi yang nyaman, karena masih pekerja, bukan pemilik modal yang bisa menentukan sendiri titik lokasinya. Akan tetapi, semua pemilik dan pekerja tetap menitikberatkan pada omzet dan lokasi strategis.

Baca Juga :  Sistem Pilkades yang Kacau

Jangan tanya bagaimana bosannya pekerjaan dengan pola monoton ini. Seperti kata seorang teman yang memilih hengkang dari pekerjaan toko kelontong. Katanya, bekerja toko kelontong seperti dipenjara, kegiatan itu-itu saja. Tidur, makan, mandi, layani orang begitu seterusnya sampai batas kontrak yang disepakati.

Saya tertawa mendengar perkataan itu, karena memang benar adanya. Tidur, makan, mandi tidak senormal seperti biasanya. Meriang, flu, mata bengkak itu sudah jadi ciri khas. Waktu tidur yang dibatasi sif jaga karena toko buka 24 jam. Apalagi semasih awal-awal bekerja, makan harus bergantian. Jika nekat makan barengan, harus siap dengan risiko sesuap berhenti karena ada yang beli. Mandi, jika kebetulan air mati atau susah air, hanya golongan kami yang merasakan bersuci dengan segalon isi ulang Aqua.

Itu hanya sekelumit kecil cerita. Belum lagi sering menjadi sasaran empuk penipu. Wajah-wajah polos orang kampung itu memang menggiurkan bagi mereka. Tetapi, setiap orang memiliki ketahanan masing-masing dalam berproses mencapai tujuan yang diimpikan. (*)

*)Warga Kecamatan Batang-Batang, Sumenep

Oleh USWATUN HASANAH*

Kalakowan bisa etero, rajekke se ta’ nanto.

JIKA menelaah kalimat yang sering digunakan orang Madura ini, perihal harapan sejahteranya diri, baik dalam ranah ekonomi dan hal lainnya, menjadi bahan renungan untuk mengembalikan pada posisi semula sampai pada tahap, ini loh, takaran saya.
Seperti halnya merantau. Banyak orang merantau, baik ke luar kota hingga luar negeri, seperti Arab Saudi, Malaysia, Hongkong, dll. Selaras dengan pendapat Naim (2013), merantau adalah meninggalkan kampung halaman dengan kemauan sendiri, memiliki jangka waktu lama dengan tujuan tertentu yang pada akhirnya akan kembali ke kampung halaman.


Dulu, dulu sekali, semasih saya kanak-kanak di Madura, terutama di kampung saya, banyak orang merantau ke Banyuwangi, Jember, Rogojampi, dll. Kami menyebutnya ”palajar” yang artinya pelayar. Di sana, orang-orang perantau itu ada yang bekerja di kebun kopi, berdagang dengan sistem mindring ke kampung-kampung, termasuk uyut saya adalah perantau andal di zamannya.

Lalu, kian ke sini ada yang mencoba merantau ke Arab meski jumlahnya tidak banyak, tapi ada. Terus ke berbagai daerah, sampai sekarang yang hampir mendominasi itu merantau ke Jakarta, yang sering disebut dengan istilah ”jakarta’an”.

Kenapa merantau itu digemari, terutama merantau ke Jakarta? Karena merantau ke Jakarta dianggap gampang meraup pendapatan, gampang mendapatkan pundi-pundi rupiah. Padahal, ya tidak ada pekerjaan mudah. Juga tidak sedikit pekerja jakarta’an yang malah menambah utang. Ini yang jarang dibicarakan di khalayak.

Baca Juga :  Cerita Pekerja Warung Madura di Ibu Kota, Ke Jakarta Seakan Sudah Jadi Tradisi

Seperti kalimat falsafah di atas bahwa semua keinginan manusia itu sama, sama-sama ingin kaya, sejahtera, namun garis dan takaran hidup itu yang berbeda. Pekerjaan apa pun termasuk menjadi perantau itu bisa ditiru. Namun jangan lupa, semua diri punya rel masing-masing.

- Advertisement -

Berbicara tentang merantau ke Jakarta, rata-rata menjadi pengelola atau pekerja toko kelontong, tidak hanya menyediakan kebutuhan primer, melainkan juga bahan tersier dan sekunder. Lalu, mi instan, obat-obatan, sandal, perlengkapan mandi, sikat baju, sandal, perlengkapan memasak, jajanan, bensin, mainan, pulsa, jasa tranfer antar bank, dll.

Seperti halnya pekerjaan lain, pekerja toko kelontong juga banyak memiliki risiko serta suka dukanya. Menjadi bagian dari masyarakat baru dengan budaya yang berbeda tentu butuh ketabahan lebih untuk beradaptasi dengan lingkungan. Saya sebagai orang yang menekuni pekerjaan ini, awalnya celingak-celinguk menghadapi puluhan bahkan ratusan karakter orang yang berbeda-beda.

Suatu ketika, ibu-ibu tergopoh menyerobot antrean. Ia kukuh menyodorkan uang meminta dilayani lebih dulu dengan dalih lupa mematikan kompor. Tanpa pikir panjang saya melayani, ndilalah itu sebatas prank untuk memudahkan jalan. Budaya tidak mau antre ala ibu-ibu setengah tua.

Tidak berhenti di situ jurus ibu-ibu kompleks. Ada juga yang tiba-tiba datang nyerobot dengan adegan memintal tangan di perut sembari menggerakkan kakinya ke kanan kiri dengan melontar kalimat, ”Saya duluan Mbak, kebelet niih, duuuh…!”

Banyak jakarta’an pemula ini yang tidak lolos sampai pada tujuannya. Mereka harus menyerah pada keadaan, semisal cara hidup keseharian. Rata-rata ruangan kontrakan yang sempit membuat tidur kami kadang cuma cukup berbaring. Jika untuk dua orang harus dengan posisi miring. Sebagai pekerja pemula tentu tidak bisa memilih lokasi yang nyaman, karena masih pekerja, bukan pemilik modal yang bisa menentukan sendiri titik lokasinya. Akan tetapi, semua pemilik dan pekerja tetap menitikberatkan pada omzet dan lokasi strategis.

Baca Juga :  Pulangkan Paksa Puluhan PMI Ilegal Asal Sumenep

Jangan tanya bagaimana bosannya pekerjaan dengan pola monoton ini. Seperti kata seorang teman yang memilih hengkang dari pekerjaan toko kelontong. Katanya, bekerja toko kelontong seperti dipenjara, kegiatan itu-itu saja. Tidur, makan, mandi, layani orang begitu seterusnya sampai batas kontrak yang disepakati.

Saya tertawa mendengar perkataan itu, karena memang benar adanya. Tidur, makan, mandi tidak senormal seperti biasanya. Meriang, flu, mata bengkak itu sudah jadi ciri khas. Waktu tidur yang dibatasi sif jaga karena toko buka 24 jam. Apalagi semasih awal-awal bekerja, makan harus bergantian. Jika nekat makan barengan, harus siap dengan risiko sesuap berhenti karena ada yang beli. Mandi, jika kebetulan air mati atau susah air, hanya golongan kami yang merasakan bersuci dengan segalon isi ulang Aqua.

Itu hanya sekelumit kecil cerita. Belum lagi sering menjadi sasaran empuk penipu. Wajah-wajah polos orang kampung itu memang menggiurkan bagi mereka. Tetapi, setiap orang memiliki ketahanan masing-masing dalam berproses mencapai tujuan yang diimpikan. (*)

*)Warga Kecamatan Batang-Batang, Sumenep

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/