22.1 C
Madura
Thursday, June 1, 2023

Hari Raya Harus Mengikuti Pemerintah?

Oleh ACHMAD BAHRUR ROZI*

HINGGA saat ini masih saja ada pandangan ngeyel dan menganggap bahwa menentukan hari raya adalah bagian dari kebebasan berkeyakinan. Karena itu, mereka bebas menentukan metode dan melakukan ikhbar (pengumuman) bahkan isbat(penetapan), baik atas nama pribadi maupun atas nama organisasi.

Padahal salah satu prinsip akidah salafus shalih dari kalangan ahlusunah waljamaah adalah mematuhi kebijakan pemerintah. Sepanjang kebijakan tersebut bukan kebijakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT.

Bahkan, andai saja kebijakan tersebut berupa maksiat kepada Allah, kita hanya tidak boleh patuh pada kebijakan tersebut. Namun, tetap wajib patuh pada kebijakan-kebijakan lain yang maruf.

Patuh terhadap kebijakan pemerintah adalah prinsip pokok, bahkan bagian tak terpisahkan dari akidah ahlusunah waljamaah. Hampir seluruh karya ulama ahlusunah waljamaah menjelaskan dan menegaskan tentang prinsip tersebut sebagai bagian dari kewajiban syariah bagi seluruh umat Islam serta menjadi fondasi bagi terwujudnya ketertiban bernegara.

Persisnya ada enam perkara umat Islam wajib mengikuti keputusan pemerintah, tidak peduli apakah pemerintah itu baik atau jahat sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam kitab Al-Wajiz: 1) salat (terkait waktu, penyelenggaraan, hingga penggunaan pengeras suara), 2) salat Jumat (masjid yang boleh menyelenggarakan dan yang tidak), 3) dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha (terkait awal puasa, mulai hari raya, dan penyembelihan kurban), 4) amar makruf nahi mungkar (terutama nahi mungkar harus oleh pemerintah, karena terkait penindakan), 5), jihad fi sabilillah, tidak boleh oleh dan atas nama individu atau ormas tertentu, dan 6) haji (baik penyelenggaraan, pelayanan, dan pengelolaannya).

Baca Juga :  Jika Khawatir, Lebih Baik Salat Id di Rumah

Karena itu, jika di momen Ramadan saat ini ada kelompok atau ormas yang mengajak umat Islam menentang kebijakan pemerintah tentang penentuan hari raya, maka kesimpulannya jelas bahwa mereka adalah ahli bidah, bukan ahlusunah.

Mengapa Harus Ikut Pemerintah?

Tidak banyak yang tahu bahwa baik individu maupun organisasi masyarakat (ormas) haram hukumnya mengumumkan dan menetapkan hari raya. Karena menurut hukum Islam, satu-satunya yang berhak dan berwenang mengumumkan adalah pemerintah, baik itu penentuan awal puasa, Hari Raya Idul Fitri, maupun Idul Adha. Sebagaimana telah disabdakan Nabi, ”Puasa adalah hari manusia berpuasa, Idul Fitri adalah hari manusia berbuka, Idul Adha adalah hari manusia berkurban.

Maksud hadis di atas, menurut ulama bahwa berpuasa dan hari raya wajib bersama pemerintah dan mayoritas masyarakat (tidak boleh berdasarkan individu maupun ormas).

Empat mazhab juga telah sepakat bahwa haram hukumnya mengumumkan hari raya berbeda dengan pemerintah. Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Hambali menegaskan bahwa tidak boleh sama sekali memulai puasa dan hari raya berbeda dengan pemerintah.

Baca Juga :  Lebaran Tetap Jadi

Sedikit ada pengecualian pada Imam Syafi’i. Menurutnya,barang siapa yang di akhir Ramadan melihat hilal dengan mata kepalanya (tentunya orang yang mengerti hilal) tetapi ternyata pemerintah belum mengumumkan hari raya, maka orang yang melihat hilal tersebut boleh tidak berpuasa pada esok hari. Hanya,ia tetap wajib berhari raya bersama pemerintah dan dia tidak boleh (haram) mengumumkan hari raya yang menjadi kewenangan pemerintah hanya berdasarkan penglihatannya.

Dua hal yang penting ditekankan dalam hal ini adalah, bahwa ormas tidak boleh mengumumkan awal puasa dan hari raya. Kedua, haram hukumnya berhari raya berbeda dengan ketentuan pemerintah apalagi sampai mengumumkan. Karena itu, di kerajaan Saudi Arabia, siapa pun yang mengumumkan hari raya berbeda dengan pemerintah akan dihukumi bughat (memberontak) pada pemerintah yang sah.

Indonesia sangat demokratis, ulama dan ormas diberi kebebasan menentukan puasa dan melaksanakan hari raya masing-masing. Ini sebagai bukti bahwa negara kita menghormati perbedaan pendapat di kalangan ulama. (*)

*)Dosen STITA Sumenep, wakil ketua LBM Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Pusat.

Oleh ACHMAD BAHRUR ROZI*

HINGGA saat ini masih saja ada pandangan ngeyel dan menganggap bahwa menentukan hari raya adalah bagian dari kebebasan berkeyakinan. Karena itu, mereka bebas menentukan metode dan melakukan ikhbar (pengumuman) bahkan isbat(penetapan), baik atas nama pribadi maupun atas nama organisasi.

Padahal salah satu prinsip akidah salafus shalih dari kalangan ahlusunah waljamaah adalah mematuhi kebijakan pemerintah. Sepanjang kebijakan tersebut bukan kebijakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT.


Bahkan, andai saja kebijakan tersebut berupa maksiat kepada Allah, kita hanya tidak boleh patuh pada kebijakan tersebut. Namun, tetap wajib patuh pada kebijakan-kebijakan lain yang maruf.

Patuh terhadap kebijakan pemerintah adalah prinsip pokok, bahkan bagian tak terpisahkan dari akidah ahlusunah waljamaah. Hampir seluruh karya ulama ahlusunah waljamaah menjelaskan dan menegaskan tentang prinsip tersebut sebagai bagian dari kewajiban syariah bagi seluruh umat Islam serta menjadi fondasi bagi terwujudnya ketertiban bernegara.

Persisnya ada enam perkara umat Islam wajib mengikuti keputusan pemerintah, tidak peduli apakah pemerintah itu baik atau jahat sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam kitab Al-Wajiz: 1) salat (terkait waktu, penyelenggaraan, hingga penggunaan pengeras suara), 2) salat Jumat (masjid yang boleh menyelenggarakan dan yang tidak), 3) dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha (terkait awal puasa, mulai hari raya, dan penyembelihan kurban), 4) amar makruf nahi mungkar (terutama nahi mungkar harus oleh pemerintah, karena terkait penindakan), 5), jihad fi sabilillah, tidak boleh oleh dan atas nama individu atau ormas tertentu, dan 6) haji (baik penyelenggaraan, pelayanan, dan pengelolaannya).

Baca Juga :  Pemudik Jangan Istirahat di Tempat Sepi

Karena itu, jika di momen Ramadan saat ini ada kelompok atau ormas yang mengajak umat Islam menentang kebijakan pemerintah tentang penentuan hari raya, maka kesimpulannya jelas bahwa mereka adalah ahli bidah, bukan ahlusunah.

- Advertisement -

Mengapa Harus Ikut Pemerintah?

Tidak banyak yang tahu bahwa baik individu maupun organisasi masyarakat (ormas) haram hukumnya mengumumkan dan menetapkan hari raya. Karena menurut hukum Islam, satu-satunya yang berhak dan berwenang mengumumkan adalah pemerintah, baik itu penentuan awal puasa, Hari Raya Idul Fitri, maupun Idul Adha. Sebagaimana telah disabdakan Nabi, ”Puasa adalah hari manusia berpuasa, Idul Fitri adalah hari manusia berbuka, Idul Adha adalah hari manusia berkurban.

Maksud hadis di atas, menurut ulama bahwa berpuasa dan hari raya wajib bersama pemerintah dan mayoritas masyarakat (tidak boleh berdasarkan individu maupun ormas).

Empat mazhab juga telah sepakat bahwa haram hukumnya mengumumkan hari raya berbeda dengan pemerintah. Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Hambali menegaskan bahwa tidak boleh sama sekali memulai puasa dan hari raya berbeda dengan pemerintah.

Baca Juga :  Salat Itu Ibadah Yang Menyehatkan

Sedikit ada pengecualian pada Imam Syafi’i. Menurutnya,barang siapa yang di akhir Ramadan melihat hilal dengan mata kepalanya (tentunya orang yang mengerti hilal) tetapi ternyata pemerintah belum mengumumkan hari raya, maka orang yang melihat hilal tersebut boleh tidak berpuasa pada esok hari. Hanya,ia tetap wajib berhari raya bersama pemerintah dan dia tidak boleh (haram) mengumumkan hari raya yang menjadi kewenangan pemerintah hanya berdasarkan penglihatannya.

Dua hal yang penting ditekankan dalam hal ini adalah, bahwa ormas tidak boleh mengumumkan awal puasa dan hari raya. Kedua, haram hukumnya berhari raya berbeda dengan ketentuan pemerintah apalagi sampai mengumumkan. Karena itu, di kerajaan Saudi Arabia, siapa pun yang mengumumkan hari raya berbeda dengan pemerintah akan dihukumi bughat (memberontak) pada pemerintah yang sah.

Indonesia sangat demokratis, ulama dan ormas diberi kebebasan menentukan puasa dan melaksanakan hari raya masing-masing. Ini sebagai bukti bahwa negara kita menghormati perbedaan pendapat di kalangan ulama. (*)

*)Dosen STITA Sumenep, wakil ketua LBM Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Pusat.

Artikel Terkait

Most Read

Ribuan Nelayan Terdampak Korona

Polisi Buru Pembuang Bayi

Pemenuhan RTH Belum Tercapai

Artikel Terbaru

/