Oleh BISYAROTUL HANUN IDRIS*
HUBUNGAN antara anak dan orang tua, sebagaimana hubungan antara guru dan murid, berlaku seumur hidup. Jika anak mendapatkan bimbingan tentang nilai-nilai hidup dari orang tua, maka murid memperoleh pengetahuan dan ilmu dari gurunya. Terutama ilmu agama, dalam menyelesaikan persoalan kehidupan.
Orang tua dan guru adalah sumber mata air bening. Keduanya bisa jadi penentu bagaimana seseorang akan melewati dinamika hidup yang pelik. Seseorang yang pernah mempelajari ilmu, sedikit banyak akan melalui perjalanan hidupnya dengan bekal-bekal ilmu tersebut.
Contoh sederhananya, anak yang belajar membaca Al-Qur’an kepada ustad, atau guru mengaji, akan mengamalkan ilmu ”mengaji”nya tersebut selama perjalanan hidupnya; selama salat ia dirikan, selama Al-Qur’an ia baca dan ia amalkan, selama doa ia panjatkan, dan selama ia berpegang pada ayat-ayat suci dan hadis Nabi.
Maka tidak disangsikan lagi, melalui jasa guru, murid memiliki kewajiban besar untuk terus menghormati dan ber-ihsan kepada gurunya. Bahwa, ujaran tentang adab harus lebih tinggi daripada ilmu, bukan sekadar ujaran basa-basi. Banyak kisah para ulama saleh tentang tradisi mengindahkan akhlak dan adab mereka kepada guru-guru yang telah mengajarkan ilmu pada mereka. Kisah tentang Imam Syafi’i, saya kira salah satu yang masyhur.
Konon, di Makkah, Imam Syafi’i terus belajar dari satu ulama ke ulama lainnya. Sampai-sampai, guru-gurunya mengatakan bahwa berbagai macam ilmu yang mereka ajarkan, dilahap habis oleh Imam Syafi’i. Selepas menuntut berbagai macam ilmu di Kota Makkah, beberapa gurunya menyarankan agar Imam Syafi’i datang ke Madinah. Sebab, di Madinah, ada tokoh alim bernama Imam Malik bin Anas yang begitu masyhur di kalangan para imam mazhab.
Dalam beberapa keterangan disebutkan bahwa Imam Malik tidak sembarang menerima murid. Ia selalu menyeleksi calon muridnya. Maka, ketika Imam Syafi’i datang kepada Imam Malik, yang kali pertama ditanya: sudahkah kamu membaca kitabku? Saat itu, Imam Syafi’i menjawab, bahwa tidak hanya membaca, namun calon murid itu telah menghafal seluruh isi kitab Al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. Kitab itu dihafal hanya dalam waktu satu pekan, selama perjalanan dari Makkah ke Madinah. Padahal, isi kitab itu lebih banyak dari Al-Qur’an yang berisi kurang lebih lima ribu hadis.
Imam Malik sangat terkejut mengetahui fakta tersebut. Ia melihat pancaran wajah orang saleh pada diri Imam Syafi’i. Ada dua wasiat yang beliau sampaikan pada Imam Syafi’i, saat itu: Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan ajarkan ilmu kepada kamu. Wahai Muhammad (Imam Syafi’i), jadikan ilmumu seperti garam dan jadikan akhlak dan adabmu seperti tepung. Tentu, maksud perkataan Imam Malik itu, agar Imam Syafi’ie mencari ilmu secukupnya saja, sementara untuk urusan adab dan akhlak harus lebih diutamakan.
Imam Syafi’i belajar di Kota Madinah sampai usianya genap 15 tahun. Ia telah menjadi mufti di usia yang sangat belia, sehingga Imam Malik mengizinkan Imam Syafi’i mengajar majelis taklim di Masjid Nabawi. Suatu hari, Imam Malik diam-diam memperhatikan cara Imam Syafi’i mengajar dari balik tiang masjid. Imam Malik terkagum-kagum terhadap kejeniusan muridnya. Maka, Imam Malik pun mengukir tulisan di salah satu tiang masjid tadi, yang kurang lebih berarti: Siapa pun yang ingin memperdalam ilmu agama yang suci dan berharga, maka ia harus belajar kepada Muhammad bin Idris (Imam Syafi’i).
Setelah majelis ilmu tersebut berakhir, Imam Syafi’i membaca tulisan tersebut dan segera tahu bahwa itu merupakan tulisan gurunya. Berkat ketinggian adabnya, Imam Syafi’i lantas membalas tulisan gurunya di tiang yang sama, yang berarti kurang lebih: Siapalah seorang Muhammad bin Idris itu? Dia tiada lain adalah salah satu murid dari Imam Malik. Sungguh, perjalanan panjang Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu tidak membuatnya tinggi hati apalagi bangga. Ilmu itu dipancarkan lewat adab dan akhlak yang mulia pula.
Adab dalam Dunia Pendidikan
Keterkaitan adab antara guru dan murid dalam dunia pendidikan kita saat ini, cukup memprihatinkan. Adab yang telah diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu, tidak lagi mendapatkan pesona dan porsi yang cukup untuk diajarkan dan ditanamkan kepada peserta didik. Akibatnya, terjadilah fenomena gunung es, hilangnya adab dari para penuntut ilmu.
Dalam beberapa pemberitaan, barangkali kita sering menyimak beragam kasus kriminal yang menuai respons para pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini. Misalnya, seorang guru yang melakukan tindak kekerasan terhadap murid, yang berujung menyeret sang guru ke meja hijau. Murid memukul guru, mahasiswa membunuh dosen sendiri, dan beberapa contoh kriminalitas yang terjadi di dunia pendidikan. Sungguh ironis.
Aspek akhlak, adab atau budi pekerti dalam dunia pendidikan menjadi unsur yang paling penting untuk diperhatikan. Bahkan, lebih penting daripada ilmu itu sendiri. Terdapat kaidah hukum yang disepakati para ulama dalam hal ini, yaitu: adab sebelum ilmu. Artinya, murid harus belajar adab terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Begitu pula, guru harus memiliki adab sebelum menyampaikan ilmu. Keduanya harus disepakati agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan yang akan memengaruhi keberkahan dalam proses pendidikan tersebut.
Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 5 dijelaskan bahwa ada ahli ilmu (dalam hal ini dicontohkan ahli Taurat), atau sederhananya kita sebut seorang guru, apabila ia tidak mengerti hakikat tanggung jawabnya untuk menjadi teladan, maka ia diibaratkan seperti keledai. Bagi masyarakat Arab, keledai merupakan binatang lambang kedunguan.
Fenomena-fenomena seperti digambarkan di atas, boleh jadi bukan hal asing lagi bagi kita. Apalagi, percepatan ketersebaran informasi berita-berita kriminal di lingkungan pendidikan mudah kita temukan laman-laman. Sementara tidak sedikit tingkah laku guru di media-media sosial yang jauh dari mencerminkan adab yang mestinya menjadi contoh bagi peserta didiknya. Guru tidak lagi malu berjoget, bernyanyi, dan melakukan hal-hal yang di luar fitrahnya sebagai guru, hanya demi kepentingan konten semata. Jika gurunya saja berbuat demikian, apa kabar anak didiknya? Jika guru kencing berlari, maka tak ayal murid akan kencing berlari.
Dari sinilah pentingnya akhlak dan keteladanan bagi guru. Bukan hanya menjadi pilihan, tapi juga sebuah keharusan (bahkan prasyarat) yang harus dipertimbangkan sebelum seseorang beriktikad menjadi guru. Sebab keteladanan memiliki banyak sekali keutamaan. Ia merupakan perkara yang harus dipelajari oleh murid sebelum ia mempelajari ilmu.
Seorang ulama salaf, Abdullah bin Al-Mubarak pernah berkata bahwa sepanjang hidupnya, ia belajar tentang adab selama tiga puluh tahun. Sementara mempelajari ilmu selama 20 tahun. Sungguh, mereka itu (para salafus shalih) belajar tentang keteladanan dari para guru mereka, meniru keteladanan sang guru, mempelajari akhlak dari para guru, lebih lama dibanding masa-masa mereka mempelajari ilmu.
Tentu kita semua berharap, Allah selalu membimbing kita dan seluruh generasi penerus kita, supaya memiliki akhlak dan adab yang mulia. Sehingga, ilmu yang kita pelajari dari para guru kita, dan kita berikan kepada para murid kita, mendatangkan keberkahan bagi kehidupan nyata. Amin. (*)
*)Konsultan literasi di TMI Putri Al-Amien Prenduan