BELAKANGAN ini, hampir semua orang ramai berbicara tentang pendidikan karakter sebagai roh untuk membangkitkan dan menghipnotis anak didik. Pendidikan karakter berada satu tingkat lebih tinggi esensinya daripada pendidikan moral. Dengan demikian, ketika diangkat jargon ”pendidikan karakter”, diharapkan akan memberikan dampak positif bagi pembentukan sikap anak didik. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga anak didik menjadi paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti sudah menjadi kesepakatan bahwa inti pendidikan membentuk pribadi yang paripurna untuk mencapai pada tingkat kedewasaan yang mumpuni. Dewasa yang dimaksud mampu menjabarkan nilai-nilai pendidikan ke ranah real kehidupan. Nah, sekarang timbul keraguan, apakah pendidikan yang sudah mendarah ini dapat membentuk kebiasaan (sikap) yang berkarakter pada masing-masing individu anak didik? Agaknya pertanyaan ini cukup sulit untuk menjawabnya, karena tidak bisa serta-merta kita melihat secara gamblang hasil pendidikan itu sendiri, semuanya melalui proses.
Namun, pelaku pendidikan merasa, penerapan nilai-nilai dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat belum mendapat porsi layak, terkesan normatif, terlalu menonjolkan ranah kognitif dan kurang menyentuh dengan ranah afektif dan psikomotorik. Akibatnya, anak didik seakan asing ketika mereka dalam kehidupan nyata. Ditambah lagi, terlalu banyak anak didik disibukkan tugas sekolah dan tetek bengeknya yang mengakibatkan mereka lupa esensi nilai kemanusiaannya.
Dekadensi moral siswa menjadi pembeda yang berindikasi bahwa pendidikan formal sedikit kurang beruntung (baca: gagal), ada banyak penyimpangan (kenakalan remaja) sebagai akibat mereka tidak memiliki karakter yang bermartabat, seperti hampir tiap tahun budaya coret-coret baju mewabah saat kelulusan, urakan, tawuran, dan ada pula yang terjangkit narkoba. Oleh karenanya, Kementerian Pendidikan Nasional (2009), menggulirkan wacana pendidikan karakter yang bertujuan mengatasi ”abrasi” moral pada anak didik. Pendidikan karakter lahir disebabkan hilangnya aspek nilai dalam dunia pendidikan. Sekolah lebih mementingkan intelektualitas dan terkesan mengabaikan akhlak (moral).
Padahal nilai-nilai akhlak (moral) sangat penting untuk menjamin kejujuran, ketertiban, keamanan, kedisiplinan, keadilan, dan keharmonisan dalam hubungan sosial serta interaksi dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah (masyarakat). Apalah artinya seseorang memiliki kecerdasan intelektual tetapi tidak disertai dengan akhlak yang baik. Adanya pejabat yang terjerat kasus korupsi, bukan karena mereka bodoh (intelektualitas rendah) tetapi karena moralnya terganggu.
Guru yang Serbasalah
Guru, sebuah profesi yang sangat mulia. Mendidik anak bangsa menuju dewasa dalam segala hal. Dewasa bersikap, dewasa berpikir, dan dewasa bertindak, sehingga dengan sentuhan magis guru, anak dapat menjadi penerus bangsa yang berkualitas. Di pundak guru inilah suksesnya anak didik dipertaruhkan, tentunya peran orang tua tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun, saat ini profesi guru harus selalu menahan diri dan pintar dalam mengelola pengembangan kependidikannya. Guru dituntut profesional dalam mendidik dan pembelajaran, profesional dalam sikap, dalam pikir dan dalam bertindak.
Ketika bersinggungan dengan dekadensi moral anak didik, semua pada bingung, pusing tujuh keliling menyaksikan parade kenakalan anak bangsa yang tiap tahun cenderung meningkat. Kebingungan ini makin memuncak tatkala belum ditemukan obat yang ampuh untuk menyembuhkan penyimpangan (kenakalan) tersebut. Sementara pihak yang satu menyalahkan pihak lain. Tidak ketinggalan masyarakat stres, khususnya wali murid (orang tua siswa, yang tidak sedikit menunjuk guru sebagai biang kenakalan remaja). Dalam kasus ini, guru jadi terdakwa meski tanpa melalui ”sidang pengadilan”. Guru sasaran empuk, guru seakan tak berdaya dikepung oleh dakwaan tersebut, sedang sang guru sepertinya hanya diam, apatis, dan pasrah walau pada kenyataannya sama sekali jauh dari dakwaan itu.
Melihat posisi guru yang demikian itu, tidaklah berlebihan bila saya meng-analogi-kan fungsi dan peran guru tidak ubahnya seperti antena teve. Coba lihat antena teve dalam memberikan servis (sumbangsih) terhadap program tayangan teve. Bila gambar dan program teve sempurna, kontan mereka berkata, ”Bagus tevenya, apa sih mereknya? Mereka sama sekali lupa bahwa baiknya tayangan teve berkat energi positif dari antena teve tersebut.
Sebaliknya, bila teve buruk rupa, semua memvonis antena teve. Mereka dengan enteng berkata, ”Antena teve-nya sih yang jelek dan perlu diganti,” jelasnya penuh yakin. Tanpa sedikit pun ingat tentang merek teve tersebut. Begitulah, apa pun perjuangan guru, dilihat sebelah mata. Kalau ada siswa cerdas dan pintar, mereka bilang, ”Siapa sih orang tuanya, ooo… pantas dia anaknya cerdas, hebat, kan bapaknya (orang tuanya) cukup peduli,” jelasnya. Coba kalau anak didiknya nakal, urakan, bodoh, dan sering bikin onar di sekolah, ramai-ramai menyalahkan guru. ”Gimana sih kerja guru, kok anak didiknya dibiarkan, apa saja yang dilakukan di sekolah, wah terlalu gurunya,” kata-kata ini yang sering terlontar sinis. Silang sengkarut tentang karakter anak didik, sepertinya saling ”lempar handuk”.
Benar-benar apes nasib guru persis antena teve. Sialnya, pihak pengambil kebijakan belum menemukan solusi konkret untuk meminimalkan penyimpangan (kenakalan) anak didik, persis seperti permainan domino yang saling terikat dan terkait.
Marilah kita duduk bersama, berpikir secara jernih, apa pun problemnya bila melihat titik diagnosisnya, maka akan memberikan efek positif bagi anak bangsa. Marilah kita berbenah tanpa harus mengambinghitamkan satu dengan lainnya. (*)
*)Kepala SMPN 1 Karang Penang, Sampang.