PAMEKASAN – Pemekaran Pamekasan menjadi atensi lintas fraksi DPRD setempat. Bahkan pada 13 November lalu, seluruh fraksi telah melakukan rapat. Mayoritas menyepakati wacana pemekaran tersebut.
Menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Forum Lintas Fraksi merencanakan pembahasan bersama antara legislatif dan eksekutif. Pimpinan Rapat Forum Lintas Fraksi Ismail mengatakan, pihaknya telah mengirim surat kepada pimpinan dewan. Surat itu berisi tentang rencana tindak lanjut pemekaran. ”Kami ingin mempercepat pembahasan pemekaran Pamekasan,” ujar Ismail, Selasa (21/11).
Pria yang juga Ketua Komisi I DPRD Pamekasan itu menilai, pemekaran menjadi satu-satunya pilihan agar Madura bisa menjadi provinsi. Tanpa pemekaran, jumlah kabupaten yang ada tidak memenuhi syarat. Sebagaimana tertera di UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, provinsi minimal terdiri dari lima kabupaten/kota.
Upaya untuk menjadikan Madura sebagai provinsi tanpa harus pemekaran telah ditempuh. Yakni dengan melakukan judicial review UU 23/2014 ke Mahkamah Konstitusi. Upaya ini tidak membuahkan hasil alias ditolak. ”Kami melihat respons positif dari masyarakat. Baik akademisi, tokoh ulama, ataupun tokoh muda. Mayoritas menginginkan pemekaran,” tegasnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Sapto Wahyono mengatakan, pemekaran daerah memiliki landasan hukum kuat. Hal itu termaktub dalam UU 32/2004 yang mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah.
Pasal 4 ayat (3) disebutkan, pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Ayat (4) lebih dipertegas, pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
”Pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan,” kata Sapto. ”Bagi kabupaten/kota, syarat administratif yang harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri,” pungkasnya.