SUMENEP – Maraknya aksi kekerasan yang menimpa tokoh agama membuat banyak pihak resah. Termasuk, warga Nahdlatul Ulama. Seperti diutarakan Koordinator Densus 26 Wilayah Madura Nur Faizin.
Pria yang akrab disapa Jend itu mengatakan, selama 2018 ini, banyak kasus menimpa tokoh agama. Misalnya, penganiayaan terhadap pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah, Bandung, KH Umar Basti atau Mama Santiong. Juga penyerangan terhadap umat kristiani di Gereja Santa Lidwina, Bedog, Trihanggo, Gamping, Sleman, Jogjakarta, pada Minggu, 11 Februari lalu.
”Spiral kekerasan dan penganiayaan yang dialamatkan pada pemuka agama di Indonesia seyogianya menjadi perhatian kita bersama,” kata Jend Senin (19/2). ”Jangan sampai peristiwa penganiayaan pada kiai dan tokoh agama menjelang reformasi yang pernah menjadi duri negeri ini mengemuka kembali,” tambahnya.
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta itu mengatakan, apa pun alasannya, kekerasan terhadap tokoh agama tidak dapat dibenarkan. Kekerasan tersebut bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM). Terlebih agama di muka bumi pada dasarnya mengajarkan nilai perdamaian.
”Penganiayaan terhadap tokoh agama yang terjadi di berbagai daerah di Indonesiaharus menjadi momentum segenap pihak untuk saling bergandeng tangan,” tegasnya.
Pemuka agama, baik itu ulama, pendeta, biksu, pastor, dan lainnya juga perlu membangun sinergi dengan pemimpin negeri ini, baik legislatif, eksekutif, atau yudukatif. Tokoh agama dan pemerintah harus bersatu merawat kebinekaan dan perdamaian Indonesia. ”Mereka merupakan kunci stabilitas harmoni di tengah-tengah masyarakat,” urainya.
Pada saat yang sama, lanjut Jend, wawasan ajaran ahlus sunnah wal jamaah harus diinternalisasi di hati umat Islam. Tujuannya, agar pemahaman mereka tentang beragama dan berbangsa semakin utuh. Konsep beragama dan berbangsa tidak bisa dipisahkan.
Sebab, negeri ini dibangun atas spirit para tokoh agama. Baik dari kalangan muslim atau pun nonmuslim. ”Indonesia adalah rumah kita bersama. Rumah keberagamaan,” tukasnya.