PENTAS Jazz tiba-tiba hadir di Madura dalam Songennep Jazz and Culture. Sebuah hal yang menarik karena selama ini, Jazz itu hanyalah milik kalangan tertentu pada segmentasi urban. Di Madura, genre musik ini terasa asing.
Helena Bouvier bahkan tak memasukkan musik Jazz sebagai sesuatu yang lebur bagi masyarakat Madura. Bagi masyarakat Madura, sampai penelitian Helena dibuat 1980–1990-an, musik yang disenangi masyarakat Madura adalah dangdut, gambus, hadrah, samroh, dan musik tradisional Madura seperti saronen dan kalenengan. Jazz, tak ada dalam memori kebanyakan orang Madura.
Di era 1980-an, ketika Jazz tampil di pentas nasional, di Sumenep, musik ini hanya dapat dinikmati melalui RRI dan radio Double One pada waktu-waktu tertentu. Sesekali pula menyeruak dalam pesta-pesta pernikahan kalangan menengah ke atas.
Nama-nama Mus Mujiono, Ermy Kulit, Tri Utami, Harvey Malaiholo, Fariz RM tetap kalah pamor dengan Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, A. Rafiq, Mashabi, Ida Laila, Hamdan ATT, dan lainnya. Ada lagi, genre pop yang biasa didengar oleh telinga masyarakat seperti Rano Karno, Andi Meriem Matalatta, Dewi Yull, dan lainnya. Irama Jazz juga tenggelam di kalangan pesantren dikalahkan Nasida Ria.
Musik Jazz juga asing bagi Madura. Bukan hanya pamornya yang kalah dengan dangdut dan samroh lokal di desa-desa, tapi juga kalah dengan pop di kota-kota. Harus kita ketahui, banjir musik Barat modern dalam historiografi musik Indonesia terkait erat dengan oil boom era 1970-an. Tampilnya Indonesia sebagai negara penghasil minyak menyebabkan melimpahnya rezeki baru dari hasil ekspor minyak ini.
Memang saat itu, kue ekonomi dari minyak bumi ini tak merata dicicipi seluruh masyarakat Indonesia. Di Madura, sampai era munculnya musik Jazz, sangat sedikit sekali dijumpai kalangan menengah perkotaan yang mencicipi limpahan rezeki dadakan tersebut. Di era 80-an, kalangan menengah perkotaan itulah konsumen Jazz kali pertama.
Sedikitnya kalangan menengah di Madura inilah yang menyebabkan Jazz tak mampu memiliki simpatisan signifikan di Madura. Apalagi, kondisi politik Madura sampai era 1980-an merupakan kondisi politik oposan terhadap pemerintah. PPP dan NU menjadi sumber kekuatan oposan itu, sehingga pembangunan sebagai efek minyak bumi tak mengalir optimal ke Madura.
Sejak beberapa tahun terakhir, Jazz memang mengalami ruralisasi. Pentas Jazz secara sporadis muncul di kota-kota dari Banyuwangi sampai Magelang. Area penampakannya pun beragam. Tak lagi di hotel-hotel atau klub-llub eksklusif. Sejak gunung sampai pantai, Jazz dibawa dengan satu spirit music tourism yang legit.
Kehadirannya seakan mengabarkan tentang sebuah dunia baru yang bangun dengan wajah kekinian. Jazz hadir dengan simplifikasi musik menarik, bahwa Jazz tak melulu harus direferensi kaum profesional di basisnya, yaitu urban-urban yang kosmopolit. Jazz terbawa dengan irama serunai yang orisinal bahwa dia berasal justru dari basis-basis rural populer.
Di Madura, musik memiliki garis demarkasi sendiri-sendiri. Diba’an yang terkadang diiringi dengan hadrah rebana dan tampil masif di bulan Maulid dan bulan Rasol itu ternyata sering dianggap bukan kesenian, tapi sebuah ritus agama. Dangdut yang berirama pure melayu ala Rhoma Irama pun meski berisikan lagu-lagu bersemangatkan agama justru malah dianggap tak sakral.
Tak pernah ada di Madura, pentas dangdut di acara imtihanan, meski piano dan gendang hadir dalam salawatan mutakhir. Hal ini wajar terjadi karena keberagaman di Madura hadir dengan warna seragam yaitu keislaman ala pondok pesantren. Berbeda misalnya dengan di Tegalrejo, Magelang, yang demi kepentingan dakwah, Pesantren Tegalrejo membawa kesenian kaum abangan sejak ketoprak, wayang sampai jatilan dalam acara-acara religius pesantren. Tujuannya adalah merangkul kaum abangan agar dekat dengan Islam.
Di Madura, tak ada kaum abangan meski ada orang yang tak taat. Bahkan, diferensiasi blater pun tak mengarahkan diri pada pola ala kaum abangan di Jawa. Para blater dan bajing justru tetap dianggap sebagai kelompok santri, karena taat tunduknya pada ulama.
Status mustami’ yang sering disematkan pada kaum abangan yang taat pada kiai seperti di Jawa juga tak terpola di Madura. Para blater atau bajing tetap memiliki area sakralitasnya tersendiri yang menyebabkan mereka tak terpisah dengan Islam. Madura mengenal istilah sendiri bagi orang-orang yang tak taat yaitu Islam Onggu’ (Islam mengangguk), sejenis keberagaman yang hanya setuju terhadap syariat meski tak mengamalkan.
Kembali soal Jazz. Lalu, pada tataran apa Jazz akan bermain di kultur Madura. Bisa jadi, Jazz hanya akan memperteguh disparitas itu. Jazz fusion kontemporer yang hanya dinikmati kaum muda kota itu takkan pernah bisa memasuki wilayah sentimen agama, kaum santri mereferensi keseniannya. Jazz sebagaimana dangdutnya Irwan tetap akan berposisi sebagai musik profan yang tak lebih hiburan semata.
Ini artinya, Jazz bisa jadi hanya mengikuti trendi kota-kota yang sedang galau identitas demi pariwisata. Jazz hanya akan terpakai sebagai musik bercitarasa turisme demi kepentingan ketenaran akan sebuah objek wisata modern yang ingin ditenarkan.
Jazz memang membebaskan sebagaimana yang gagasan pertama di Amerika dulu. Spirit Jazz juga membawa perubahan sebagaimana digemakan musisi Jazz Afro-Amerika. Sebagai sebuah budaya, Jazz berpotensi membawa kultur baru yang hibrid. Tapi, apakah Jazz mampu menyelaraskan diri dengan spirit asalnya yang New Orleans sentris? Atau jangan-jangan musik Jazz di Madura hanya seperti mempromosikan musik populer kalangan menengah metropolis kepada kalangan menengah lainnya di Madura yang jauh dari pusat-pusat hiburan.
Jazz memang unik. Sebagai musik dia memiliki nilai-nilai positif, tapi sebagai relaksasi wisata dia akan bercitarasa lain. Jazz dalam kuasa wisata akan menjadi semata-mata kultur pendatang dan hanya bersifat cangkokan dalam budaya Madura.
Festival musik merupakan ekonomi kreatif dalam bisnis pariwisata. Tapi, menjadikan Jazz sebagai sesuatu yang lebur itu soal lain. Lebur dalam perspektif Madura tak semata-mata ekaandhi’ (dipunyai) tapi juga bisa ekasango (sebagai bekal). Dalam nilai Madura, hal duniawi tak boleh menghalangi hal ukhrawi.
Jika ingin membumikan Jazz di Madura, nilai ekasango itu tak boleh diabaikan. Tapi, jika Jazz hanya untuk menarik turis, bukan hanya nilai ekasango yang perlu dibawa, tapi juga nilai sarrena bagus pabagas yang memiliki denotasi agar orang Madura tak melupakan lingkungan dan selalu berupaya mengangkat harkat martabat lingkungannya itu dari terpaan nilai-nilai tak Islami dan tak Madurawi.
*) Alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.