21.6 C
Madura
Friday, June 9, 2023

KH Abdullah Sajjad, Pahlawan Kemerdekaan dari Pondok Pesantren Annuqayah (2)

Gugurnya Sang Pahlawan Ini Menegaskan Spirit Nasionalisme Santri

Cerita KH Abdullah Sajjad menarik untuk terus digali. Baik sebagai ulama maupun sebagai pahlawan punya andil besar dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Khususnya, dalam membela masyarakat dari belenggu kolonial.

MOH. JUNAIDI, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura

JIKA berkunjung ke Kecamatan Guluk-Guluk, tepat di sebelah timur pertigaan puskesmas, ada sebuah prasasti dan tugu proklamasi. Prasasti itu berada di Lapangan Kemisan, tempat ayah KH Ahmad Basyir AS ini dieksekusi oleh Belanda.

Di atas prasasti itu tertulis dengan jelas, ”Di sini, pada tanggal 03 Desember 1947 KH. Abdullah Sajjad Syarqawi, Ketua Barisan Sabilillah gugur sebagai syahid pada masa Agresi II Belanda.” Sedangkan di sebelah selatan jalan dari prasasti ini, sebuah tugu proklamasi didirikan.

Tuga dan prasasti untuk mengenang dan menandai perjuangan KH Abdullah Sajjad. Babad Madura karangan R Werdisastra mencatat peristiwa tersebut. Meskipun tidak diceritakan secara detail.

MENGENANG PAHLAWAN: Tugu proklamasi yang dibangun untuk mengenang jasa kepahlawanan KH Abdullah Sajjad di Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep. (MOH. JUNAIDI/RadarMadura.id)

Kiai Sajjad punya kesibukan yang sangat kompleks pada masa hidupnya. Meskipun kemerdekaan sudah diproklamasikan oleh Bung Karno di Jakarta pada 17 Agustus 1945, tapi kolonial di tanah air, khususnya Sumenep, Madura, masih ada. Karena itu, Kiai Sajjad merasa punya tanggung jawab besar, baik sebagai pengasuh pesantren dan guru agama bagi masyarakat. Di sisi lain, sebagai kepala desa yang harus melindungi warganya.

”Kiai Sajjad ini dulu juga dipercaya oleh masyarakat menjadi kepada desa di Guluk-Guluk,” terang Prof Abd. A’la, cucu KH Abdullah Sajjad kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) pekan lalu.

Di samping itu, Kiai Sajjad juga merupakan pimpinan Laskar Santri dan Laskar Sabilillah di Sumenep. Hal itu dia emban untuk melanjutkan spirit KH Muhammad Ilyas. Tak jarang, Kiai Sajjad selalu bepergian, keliling ke berbagai wilayah. Utamanya Pamekasan dan Sumenep untuk mengajak masyarakat bergabung ke dalam laskar yang dipimpinnya itu. Tujuannya, tidak lain adalah menegakkan agama, negara, dan bangsa.

Baca Juga :  Fraksi PKB Perlu Perkuat Kesepakatan Koalisi

”Sumenep itu kan ingin dikuasai oleh Belanda, tapi belum berhasil. Karena para ulama di sini bersatu. Makanya, pesantren dulu dianggap sebagai penghalang bagi mereka,” katanya.

Kiai Sajjad selalu berada di garda terdepan dalam memperjuangkan dan mempertahankan Sumenep dari ancaman Belanda. Menurut Kiai A’la, dalam menghimpun kekuatan, Kiai Sajjad dibantu oleh keponakannya, yakni KH Moh. Khazin. Tak jarang, Kiai Sajjad terlibat dalam pertempuran.

”Bahkan, dulu pesantren ini juga menjadi pusat untuk melatih barisan Sabilillah. Ini masyhur, dan diketahui banyak orang,” tuturnya.

Diceritakan, ketangguhan pasukan Kiai Sajjad sangat terkenal hingga sampai ke telinga kolonial. Konon, Belanda melalui pasukan khusus berupaya menangkap sosok Kiai Sajjad. Namun, Kiai Sajjad dilindungi oleh santri dan masyarakat. Bahkan, pasukan Belanda dipukul mundur hingga ke daerah Branta, Pamekasan.

Pernah dalam satu kesempatan, pasukan yang dipimpinnya mengalami semacam ketidakseimbangan. Penyebab utamanya, adalah akses persenjataan. Belanda lebih lengkap dan canggih dalam urusan senjata. Sementara masyarakat dan santri hanya dikenal dengan bambu runcingnya.

”Saat itu pesantren ini dikosongkan, Kiai Sajjad, konon dilarikan ke Karduluk. Bersembunyi, kalau tidak salah di kediaman KH Ahmad Bahar,” lanjut Kiai A’la.

Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Sajjad berada di wilayah Kecamatan Pragaan itu. Tidak diketahui pula kegiatan yang dilakukan di sana. Namun, beberapa bulan kemudian, Kiai Sajjad kembali lagi ke Guluk-Guluk.

Baca Juga :  Kepala Disdik Bangkalan Mundur demi Bacawabup

”Waktu kembali ini, ada yang mengatakaan bahwa Kiai Sajjad dikirimi surat oleh Belanda, berbahasa Madura, bahwa Guluk-Guluk sudah aman dan kondusif. Intinya, agar misi menangkap Kiai Sajjad ini berhasil. Hari itu juga beliau pulang ke Annuqayah,” jelasnya.

Sesampainya di Annuqayah, suasana memang biasa-biasa saja. Bahkan, Kiai Sajjad sudah mulai memimpin pesantren sebagaimana mestinya. Akan tetapi, tidak lama dari itu, Belanda datang dan membawa Kiai Sajjad ke Kemisan, tempat Belanda membangun markas di Guluk-Guluk, lebih kurang 1 kilometer dari Ponpes Annuqayah.

Saat itulah hayat Kiai Sajjad berakhir. Ulama yang juga punya kebiasaan membaca salawat burdah itu dieksekusi oleh Belanda saat menjenguk tetangganya ketika sakit. Menurut riwayat, Kiai Sajjad ditembak saat salat. Lalu, meninggal dalam keadaan bersujud.

Kiai Sajjad dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Ponpes Annuqayah. Tepatnya di sebelah selatan pesantren. Di atas makamnya tegak berdiri tiang bambu dengan bendera Merah Putih untuk menandai bahwa Kiai Sajjad gugur sebagai syahid.

Prof A’la menegaskan, nilai besar yang bisa diambil dari perjuangan Kiai Sajjad adalah spirit dan nasionalisme. Meskipun dari kalangan pesantren, Kiai Sajjad selalu hadir tidak hanya dalam urusan agama.

”Menjadi kepala desa itu juga menandakan bahwa beliau aktif dan punya perhatian dalam dunia politik. Spirit dan nasionalismenya ini yang bisa kita contoh. Sebab, situasinya sekarang sudah berbeda. Kita tinggal melanjutkan, membangun, dan memajukan Indonesia,” ungkapnya. (*/luq)

Cerita KH Abdullah Sajjad menarik untuk terus digali. Baik sebagai ulama maupun sebagai pahlawan punya andil besar dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Khususnya, dalam membela masyarakat dari belenggu kolonial.

MOH. JUNAIDI, Sumenep, Jawa Pos Radar Madura

JIKA berkunjung ke Kecamatan Guluk-Guluk, tepat di sebelah timur pertigaan puskesmas, ada sebuah prasasti dan tugu proklamasi. Prasasti itu berada di Lapangan Kemisan, tempat ayah KH Ahmad Basyir AS ini dieksekusi oleh Belanda.


Di atas prasasti itu tertulis dengan jelas, ”Di sini, pada tanggal 03 Desember 1947 KH. Abdullah Sajjad Syarqawi, Ketua Barisan Sabilillah gugur sebagai syahid pada masa Agresi II Belanda.” Sedangkan di sebelah selatan jalan dari prasasti ini, sebuah tugu proklamasi didirikan.

Tuga dan prasasti untuk mengenang dan menandai perjuangan KH Abdullah Sajjad. Babad Madura karangan R Werdisastra mencatat peristiwa tersebut. Meskipun tidak diceritakan secara detail.

MENGENANG PAHLAWAN: Tugu proklamasi yang dibangun untuk mengenang jasa kepahlawanan KH Abdullah Sajjad di Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep. (MOH. JUNAIDI/RadarMadura.id)

Kiai Sajjad punya kesibukan yang sangat kompleks pada masa hidupnya. Meskipun kemerdekaan sudah diproklamasikan oleh Bung Karno di Jakarta pada 17 Agustus 1945, tapi kolonial di tanah air, khususnya Sumenep, Madura, masih ada. Karena itu, Kiai Sajjad merasa punya tanggung jawab besar, baik sebagai pengasuh pesantren dan guru agama bagi masyarakat. Di sisi lain, sebagai kepala desa yang harus melindungi warganya.

”Kiai Sajjad ini dulu juga dipercaya oleh masyarakat menjadi kepada desa di Guluk-Guluk,” terang Prof Abd. A’la, cucu KH Abdullah Sajjad kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM) pekan lalu.

- Advertisement -

Di samping itu, Kiai Sajjad juga merupakan pimpinan Laskar Santri dan Laskar Sabilillah di Sumenep. Hal itu dia emban untuk melanjutkan spirit KH Muhammad Ilyas. Tak jarang, Kiai Sajjad selalu bepergian, keliling ke berbagai wilayah. Utamanya Pamekasan dan Sumenep untuk mengajak masyarakat bergabung ke dalam laskar yang dipimpinnya itu. Tujuannya, tidak lain adalah menegakkan agama, negara, dan bangsa.

Baca Juga :  Dua Kurir 8,75 Kilogram Sabu Dituntut 20 Tahun

”Sumenep itu kan ingin dikuasai oleh Belanda, tapi belum berhasil. Karena para ulama di sini bersatu. Makanya, pesantren dulu dianggap sebagai penghalang bagi mereka,” katanya.

Kiai Sajjad selalu berada di garda terdepan dalam memperjuangkan dan mempertahankan Sumenep dari ancaman Belanda. Menurut Kiai A’la, dalam menghimpun kekuatan, Kiai Sajjad dibantu oleh keponakannya, yakni KH Moh. Khazin. Tak jarang, Kiai Sajjad terlibat dalam pertempuran.

”Bahkan, dulu pesantren ini juga menjadi pusat untuk melatih barisan Sabilillah. Ini masyhur, dan diketahui banyak orang,” tuturnya.

Diceritakan, ketangguhan pasukan Kiai Sajjad sangat terkenal hingga sampai ke telinga kolonial. Konon, Belanda melalui pasukan khusus berupaya menangkap sosok Kiai Sajjad. Namun, Kiai Sajjad dilindungi oleh santri dan masyarakat. Bahkan, pasukan Belanda dipukul mundur hingga ke daerah Branta, Pamekasan.

Pernah dalam satu kesempatan, pasukan yang dipimpinnya mengalami semacam ketidakseimbangan. Penyebab utamanya, adalah akses persenjataan. Belanda lebih lengkap dan canggih dalam urusan senjata. Sementara masyarakat dan santri hanya dikenal dengan bambu runcingnya.

”Saat itu pesantren ini dikosongkan, Kiai Sajjad, konon dilarikan ke Karduluk. Bersembunyi, kalau tidak salah di kediaman KH Ahmad Bahar,” lanjut Kiai A’la.

Tidak diketahui secara pasti berapa lama Kiai Sajjad berada di wilayah Kecamatan Pragaan itu. Tidak diketahui pula kegiatan yang dilakukan di sana. Namun, beberapa bulan kemudian, Kiai Sajjad kembali lagi ke Guluk-Guluk.

Baca Juga :  Gelorakan Spirit Nasionalisme Pemuda

”Waktu kembali ini, ada yang mengatakaan bahwa Kiai Sajjad dikirimi surat oleh Belanda, berbahasa Madura, bahwa Guluk-Guluk sudah aman dan kondusif. Intinya, agar misi menangkap Kiai Sajjad ini berhasil. Hari itu juga beliau pulang ke Annuqayah,” jelasnya.

Sesampainya di Annuqayah, suasana memang biasa-biasa saja. Bahkan, Kiai Sajjad sudah mulai memimpin pesantren sebagaimana mestinya. Akan tetapi, tidak lama dari itu, Belanda datang dan membawa Kiai Sajjad ke Kemisan, tempat Belanda membangun markas di Guluk-Guluk, lebih kurang 1 kilometer dari Ponpes Annuqayah.

Saat itulah hayat Kiai Sajjad berakhir. Ulama yang juga punya kebiasaan membaca salawat burdah itu dieksekusi oleh Belanda saat menjenguk tetangganya ketika sakit. Menurut riwayat, Kiai Sajjad ditembak saat salat. Lalu, meninggal dalam keadaan bersujud.

Kiai Sajjad dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Ponpes Annuqayah. Tepatnya di sebelah selatan pesantren. Di atas makamnya tegak berdiri tiang bambu dengan bendera Merah Putih untuk menandai bahwa Kiai Sajjad gugur sebagai syahid.

Prof A’la menegaskan, nilai besar yang bisa diambil dari perjuangan Kiai Sajjad adalah spirit dan nasionalisme. Meskipun dari kalangan pesantren, Kiai Sajjad selalu hadir tidak hanya dalam urusan agama.

”Menjadi kepala desa itu juga menandakan bahwa beliau aktif dan punya perhatian dalam dunia politik. Spirit dan nasionalismenya ini yang bisa kita contoh. Sebab, situasinya sekarang sudah berbeda. Kita tinggal melanjutkan, membangun, dan memajukan Indonesia,” ungkapnya. (*/luq)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/