BAWASLU Pamekasan gencar menyisir praktik jual beli suara. Pengawasan dilakukan hingga lapisan paling bawah. Sayangnya, praktik haram tersebut sulit dibuktikan.
Aktivis Pemuda Kawal Pemilu Homaidi mengatakan, sistem pemilihan umum melarang keras politik uang. Jika kontestan atau tim pemenangan terbukti memberikan uang untuk membeli suara, yang bersangkutan bisa dijerat pidana.
Aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pelaku politik uang itu bisa dihukum dua tahun penjara. ”Sistem sudah mengatur sangat jelas,” kata dia kemarin (15/4).
Namun pada praktiknya, politik uang itu sulit dibuktikan. Apalagi, di dalam regulasi itu seseorang yang dapat dijerat pidana lantaran jual beli suara itu hanya kontestan dan tim pemenangan.
Sementara di lapangan, hanya calon presiden dan wakil presiden yang memiliki tim pemenangan secara resmi. Struktur tim itu dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara untuk calon lain seperti DPR dan DPD banyak yang tidak memiliki tim pemenangan resmi.
Akibatnya, meski ada orang memberikan uang, belum tentu bisa dijerat pidana. Bawaslu harus jeli menangani praktik jual beli suara. ”Berantas politik uang, tapi jangan abaikan prosedur,” pintanya.
Homai menyampaikan, jika ada yang terbukti melakukan jual beli suara, yang bersangkutan harus diproses sesuai aturan yang berlaku. Siapapun yang melakukan pelanggaran wajib ditindak tegas.
Menanggapi itu, Ketua Bawaslu Pamekasan Abdullah Saidi menegaskan, penyisiran politik uang dilakukan secara intens. Terutama, pada masa tenang sebelum hari pencoblosan.
Menurut Saidi, sanksi pelaku politik uang pada masa tenang lebih berat dibandingkan dengan hari biasa. Yakni, pada masa tenang, pelaku money politics bisa dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 48 juta.
Jika ada warga yang terbukti melakukan jual beli suara pada masa kampanye, ancaman hukumannya hanya dua tahun penjara. Dengan demikian, Bawaslu melakukan penyisiran secara intens.
Hanya, dia mengaku sulit menjerat warga yang memberikan uang. Sebab, dalam undang-undang, yang dapat dijerat pidana yakni tim pemenangan, calon, dan penyelenggara. Di luar itu, terbebas dari jeratan hukum.
”Tapi, kami terus melakukan pengawasan secara intens. Pengawas dari tingkat kabupaten hingga kecamatan semuanya dikerahkan,” tandas mantan aktivis HMI itu.