21.5 C
Madura
Monday, March 27, 2023

Merawat Keris, Meruwat Peradaban Madura

oleh MH Said Abdullah

KUNTOWIJOYO mengaku pernah merasa kesulitan untuk menelusuri jejak para empu keris di Madura. Referensi tentang ini lebih banyak berpijak pada tutur dan cerita-cerita orang tua yang masih hidup di zaman ini. Sebagai cerita, kekuatan referensialnya kurang bercorak literatif atau bertumpu pada orasional. Itulah sebabnya, Madura masa depan memerlukan SDM yang sanggup ngopeni khazanah perbendaharaan budaya yang berdimensi literasional.

Membaca Madura masa lalu dari perspektif historis masih butuh membuka dokumen kesejarahan. Agak paradoks memang karena narasi-historis ini justru berada di luar negeri. Penelusuran ini bisa didapat dari arsip Belanda di Royal Tropical Institute milik perpustakaan Universitas Leiden. Ini pun tidak utuh karena berupa penggalan, cerita yang tak terlalu berarti untuk merekonstruksi sejarah, termasuk soal keris di Madura.

Salah satu artikel yang membahas keris antara lain tulisan C.C.F. M. Le Roux (1946). Di dalam artefak ini pun, tidak secara spesifik membahas tentang sejarah empu keris (Madura). Namun, menganalisis pamor yang terdapat di tubuh keris (Sumenep) yang bercorak kuda terbang, sayap yang bermotif ukiran (Keraton Sumenep), dan folklor bisa dikaitkan dengan kuda sembrani pada satu sisi dan Jokotole di sisi lainnya.

Tulisan Kuntowijoyo dan Huub de Jonge yang memiliki kompetensi berbasis riset belum bisa memberikan tempat untuk para empu dan perajin dalam bahasan utama. Kuat dugaan, tidak spesifiknya pembahasan lantaran keterbatasan literasi membedah soal keris. Namun, dalam risalah kekeratonan di Madura (Sumenep), dapat dipastikan bahwa pusaka keraton yang utama adalah keris, selain tombak dan busur-anak panah.

Jika disandingkan dengan tulisan Zainalfattah (1952), keris direvitalisasi dan mengalami elan vital pada sekitar abad 20 (pertengahan). Bangunan cerita saat itu antara lain dituturkan, orang tua yang sedang mengandung, maka di dalam keluarga itu sengaja membuat keris dan atau tombak, yang kelak akan diwariskan kepada anak yang berada di dalam kandungan tersebut. Dari sisi hermeneutika-historis, keluarga Madura memiliki kepentingan untuk mewariskan nasionalisme kepusakaan.

Baca Juga :  Menuju Malam Anugerah Madura Awards 2017

Di abad kekinian, keris tidak semata-mata menjadi pusaka. Namun, kehadiran keris ini melampaui takdirnya yang menjelma sebagai ”barang komoditas”. Di Madura, lokasi empu berada di sejumlah titik di Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Di bawah kepemimpinan Bupati Achmad Fauzi, keris menjadi pajangan wajib di setiap perkantoran.

Apa yang dilakukan kader PDI Perjuangan itu bukan semata-mata mengembangbiakkan warisan budaya dan peradaban, tetapi lebih dari itu supaya kehadiran keris mengundang kolektor dan wisatawan. Pasca ditetapkannya Kabupaten Sumenep sebagai Kota Keris (2013), terjadi eskalasi niaga. Kemudian, menetapkan Desa Aengtongtong, Saronggi, Sumenep, sebagai ”kampung keris”. Penobatan kampung ini disebabkan banyaknya sentra keris di desa tersebut.

Data di Pemprov Jatim menyebutkan, keris di Sumenep tidak hanya asal dibuat, tetapi disesuaikan dengan motif pesanan para kolektor. Dengan demikian, para pembuat keris bisa membuat beragam model sesuai dengan keinginan pemesan. Misalnya, ada kolektor yang memesan keris ala Majapahit, Mataram, dan keris bercorak Madura sendiri. Keris-keris dari Sumenep tidak saja dibeli kolektor local, tetapi ada juga yang dibawa ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Keris-keris ini umumnya telah bersifat duplikasi karya empu kekinian. Sementara keris karya empu di zaman dahulu kala telah menjadi pusaka langka, setidaknya dimiliki keraton atau keluarganya.

Di era terdahulu, terdapat empat empu keris yang cukup terkenal. Para empu itu hidup di era menjelang akhir pemerintahan Majapahit, menjelang masuk dan berkembangnya Islam di Jawa. Misalnya, Bujut Modjopahit, empu yang populer karena menghasilkan banyak murid di hampir seluruh penjuru pulau. Salah satu muridnya, Bujut Palengghijan (Sampang). Meski memiliki murid di kabupaten kawasan barat, Bujut Modjopahit memilih tinggal di Pulau Poteran (Talango, Sumenep). Sebagai jejak sejarah bahwa Bujut tinggal di Talango, nisannya saat ini masih menjadi salah satu jujukan wisata di Pulau Talango.

Baca Juga :  Taman Pemkab Tak Aman, Mesin Pompa Air Digondol Maling

Pembuat keris lainnya, Empu Pekandangan (Bluto, Sumenep) yang tak lain ayah Jokotole. Empu yang masih satu rumpun dengan ini, versi cerita berada di daerah Pekandangan, Sumenep. Satu lagi empu dari golongan ini adalah Empu Keleng (Pademawu, Pamekasan). Empu yang paling sepuh berasal dari Sampang (Empu Nepa). Dalam salah satu cerita tutur, Empu Nepa tinggal bersama Raden Segoro.

Terlepas dari cerita tutur rakyat maupun referensi yang terbatas mengenai empu berikut keris di zamannya, situasi terkini meunculkan dinamika masing-masing. Pertama, Madura memiliki perhatian yang begitu besar terhadap jejak dan perkembangan budaya di masa silam yang menegaskan bahwa Madura bukan satu teritori yang ahistoris. Kedua, Madura melakukan inovasi dan inisiasi sebagaimana NU, al muhafadlatu ala al qadimi al shalih, wa al akhdu bi al jadidi al ashlah (memelihara warisan terdahulu yang masih baik dan menginovasi sesuatu yang dianggap lebih baik). Ketiga, Madura tidak saja menjadikan keris sebagai warisan budaya yang perlu diruwat, tetapi keris dikapitasi menjadi sesuatu yang tidak saja bernilai historis, tetapi juga berdampak secara ekonomis.

Karena itu, pihak luar Madura yang seakan-akan memandang Madura sebagai tradisional ansich, kenyataan tentang dimensi keris ini mendekonstruksi anggapan itu. Madura hari ini adalah teritori yang tidak saja berbenah secara fisik, tetapi memodifikasi banyak hal di berbagai sector, termasuk soal teknologi, kebudayaan, dan keadaban berbangsa maupun bernegara. (*)

)*Ketua Banggar DPR Republik Indonesia

oleh MH Said Abdullah

KUNTOWIJOYO mengaku pernah merasa kesulitan untuk menelusuri jejak para empu keris di Madura. Referensi tentang ini lebih banyak berpijak pada tutur dan cerita-cerita orang tua yang masih hidup di zaman ini. Sebagai cerita, kekuatan referensialnya kurang bercorak literatif atau bertumpu pada orasional. Itulah sebabnya, Madura masa depan memerlukan SDM yang sanggup ngopeni khazanah perbendaharaan budaya yang berdimensi literasional.

Membaca Madura masa lalu dari perspektif historis masih butuh membuka dokumen kesejarahan. Agak paradoks memang karena narasi-historis ini justru berada di luar negeri. Penelusuran ini bisa didapat dari arsip Belanda di Royal Tropical Institute milik perpustakaan Universitas Leiden. Ini pun tidak utuh karena berupa penggalan, cerita yang tak terlalu berarti untuk merekonstruksi sejarah, termasuk soal keris di Madura.


Salah satu artikel yang membahas keris antara lain tulisan C.C.F. M. Le Roux (1946). Di dalam artefak ini pun, tidak secara spesifik membahas tentang sejarah empu keris (Madura). Namun, menganalisis pamor yang terdapat di tubuh keris (Sumenep) yang bercorak kuda terbang, sayap yang bermotif ukiran (Keraton Sumenep), dan folklor bisa dikaitkan dengan kuda sembrani pada satu sisi dan Jokotole di sisi lainnya.

Tulisan Kuntowijoyo dan Huub de Jonge yang memiliki kompetensi berbasis riset belum bisa memberikan tempat untuk para empu dan perajin dalam bahasan utama. Kuat dugaan, tidak spesifiknya pembahasan lantaran keterbatasan literasi membedah soal keris. Namun, dalam risalah kekeratonan di Madura (Sumenep), dapat dipastikan bahwa pusaka keraton yang utama adalah keris, selain tombak dan busur-anak panah.

Jika disandingkan dengan tulisan Zainalfattah (1952), keris direvitalisasi dan mengalami elan vital pada sekitar abad 20 (pertengahan). Bangunan cerita saat itu antara lain dituturkan, orang tua yang sedang mengandung, maka di dalam keluarga itu sengaja membuat keris dan atau tombak, yang kelak akan diwariskan kepada anak yang berada di dalam kandungan tersebut. Dari sisi hermeneutika-historis, keluarga Madura memiliki kepentingan untuk mewariskan nasionalisme kepusakaan.

Baca Juga :  Genealogi Lagu-lagu Madura

Di abad kekinian, keris tidak semata-mata menjadi pusaka. Namun, kehadiran keris ini melampaui takdirnya yang menjelma sebagai ”barang komoditas”. Di Madura, lokasi empu berada di sejumlah titik di Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep. Di bawah kepemimpinan Bupati Achmad Fauzi, keris menjadi pajangan wajib di setiap perkantoran.

- Advertisement -

Apa yang dilakukan kader PDI Perjuangan itu bukan semata-mata mengembangbiakkan warisan budaya dan peradaban, tetapi lebih dari itu supaya kehadiran keris mengundang kolektor dan wisatawan. Pasca ditetapkannya Kabupaten Sumenep sebagai Kota Keris (2013), terjadi eskalasi niaga. Kemudian, menetapkan Desa Aengtongtong, Saronggi, Sumenep, sebagai ”kampung keris”. Penobatan kampung ini disebabkan banyaknya sentra keris di desa tersebut.

Data di Pemprov Jatim menyebutkan, keris di Sumenep tidak hanya asal dibuat, tetapi disesuaikan dengan motif pesanan para kolektor. Dengan demikian, para pembuat keris bisa membuat beragam model sesuai dengan keinginan pemesan. Misalnya, ada kolektor yang memesan keris ala Majapahit, Mataram, dan keris bercorak Madura sendiri. Keris-keris dari Sumenep tidak saja dibeli kolektor local, tetapi ada juga yang dibawa ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Keris-keris ini umumnya telah bersifat duplikasi karya empu kekinian. Sementara keris karya empu di zaman dahulu kala telah menjadi pusaka langka, setidaknya dimiliki keraton atau keluarganya.

Di era terdahulu, terdapat empat empu keris yang cukup terkenal. Para empu itu hidup di era menjelang akhir pemerintahan Majapahit, menjelang masuk dan berkembangnya Islam di Jawa. Misalnya, Bujut Modjopahit, empu yang populer karena menghasilkan banyak murid di hampir seluruh penjuru pulau. Salah satu muridnya, Bujut Palengghijan (Sampang). Meski memiliki murid di kabupaten kawasan barat, Bujut Modjopahit memilih tinggal di Pulau Poteran (Talango, Sumenep). Sebagai jejak sejarah bahwa Bujut tinggal di Talango, nisannya saat ini masih menjadi salah satu jujukan wisata di Pulau Talango.

Baca Juga :  Tersangka Bantuan Tebu 2014 Berkeliaran Bebas

Pembuat keris lainnya, Empu Pekandangan (Bluto, Sumenep) yang tak lain ayah Jokotole. Empu yang masih satu rumpun dengan ini, versi cerita berada di daerah Pekandangan, Sumenep. Satu lagi empu dari golongan ini adalah Empu Keleng (Pademawu, Pamekasan). Empu yang paling sepuh berasal dari Sampang (Empu Nepa). Dalam salah satu cerita tutur, Empu Nepa tinggal bersama Raden Segoro.

Terlepas dari cerita tutur rakyat maupun referensi yang terbatas mengenai empu berikut keris di zamannya, situasi terkini meunculkan dinamika masing-masing. Pertama, Madura memiliki perhatian yang begitu besar terhadap jejak dan perkembangan budaya di masa silam yang menegaskan bahwa Madura bukan satu teritori yang ahistoris. Kedua, Madura melakukan inovasi dan inisiasi sebagaimana NU, al muhafadlatu ala al qadimi al shalih, wa al akhdu bi al jadidi al ashlah (memelihara warisan terdahulu yang masih baik dan menginovasi sesuatu yang dianggap lebih baik). Ketiga, Madura tidak saja menjadikan keris sebagai warisan budaya yang perlu diruwat, tetapi keris dikapitasi menjadi sesuatu yang tidak saja bernilai historis, tetapi juga berdampak secara ekonomis.

Karena itu, pihak luar Madura yang seakan-akan memandang Madura sebagai tradisional ansich, kenyataan tentang dimensi keris ini mendekonstruksi anggapan itu. Madura hari ini adalah teritori yang tidak saja berbenah secara fisik, tetapi memodifikasi banyak hal di berbagai sector, termasuk soal teknologi, kebudayaan, dan keadaban berbangsa maupun bernegara. (*)

)*Ketua Banggar DPR Republik Indonesia

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/