IDUL Fitri menjadi sangat berarti karena ia sejatinya berkaitan dengan ibadah-ibadah penting di dalam Islam. Hari Raya Idul Fitri dirayakan setelah kaum muslimin menunaikan ibadah puasa selama satu bulan penuh, rukun Islam keempat.
Ibnul A’rabi, sebagaimana dalam Al Lisan, berkata, ”Idul Fitri disebut ’ied karena ia senantiasa kembali setiap tahun dengan kebahagian yang baru.” (Syarh Umdah Al Fiqh, hal. 309)
Karena itu, hari raya seharusnya dimaknai oleh kaum muslimin sebagai bentuk sukacita karena keutamaan dan karunia Allah. Sublimasi dari kebahagiaan karena taat dan ibadah, rasa syukur yang seutuhnya karena takwa, dan amal shaleh. Berbahagia karena keutamaan dan karunia Allah adalah perintah Allah.
Akan tetapi, Idul Fitri tentu bukan momen kebahagiaan individual. Idul Fitri adalah hari kebahagiaan semua umat Islam. Maka, pada setiap hari raya itu disyariatkan amal ibadah yang mengandung nilai sosial. Di samping nilai ketaatan dan ketundukan kepada Allah sebagai tujuan utamanya.
Tujuannya adalah agar secara merata seluruh kaum muslimin dapat merasakan kebahagiaan. Termasuk orang-orang fakir dan miskin. Makna disyariatkannya zakat fitrah pada hari Idul Fitri hakikatnya adalah bagaimana distribusi kebahagiaan dapat merata pada semua kalangan. Ukuran minimalnya adalah mengeluarkan harta dalam bentuk makanan kepada fakir miskin dengan ukuran yang telah ditentukan.
Maka, merayakan Idul Fitri secara berlebihan dan menonjolkan kemewahan individual sesungguhnya bukan spirit yang dikehendaki perayaan Idul Fitri. Kebahagiaan egoistik dengan memamerkan kemewahan individual justru merupakan kontradiksi dengan semangat Idul Fitri itu sendiri.
Sebagai simbolisasi kemenangan, sudah selayaknya Idul Fitri dirayakan dengan kegembiraan. Bagi mereka yang betul-betul berpuasa, Idul Fitri akan datang secara alamiah tanpa harus dipersiapkan kedatangannya.
Sebentar lagi Idul Fitri akan tiba. Namun, sesungguhnya sepertiga akhir Ramadan merupakan saat-saat paling menyedihkan karena sebentar lagi Ramadan meninggalkan kita. Bukan sebaliknya, menjadi masa-masa menyenangkan karena menunggu Lebaran tiba.
Bagi orang yang beriman dan senantiasa bermuhasabah, kepergian Ramadan tentulah sebuah kehilangan. Mereka kehilangan rasa bahagia yang tidak tergantikan ketika melakukan berbagai ibadah dan amal kebaikan selama bulan Ramadan. Tidak sedikit dari para ulama dan orang saleh yang mengungkapkan kesedihan dan tangisan menjelang perpisahan dengan Ramadan.
Rasa sedih dengan kepergian Ramadan akan selaras dengan kualitas kebahagiaan ketika menyambutnya. Bagi mereka yang sangat merindukan keberkahan Ramadan, kepergiannya adalah kehilangan luar biasa. Kesedihan para ulama dan orang saleh yang memendam api kerinduan yang membakar selama sebelas bulan ke depan.
Kita pun semestinya merasa sedih dengan kepergian Ramadan. Semoga saja kesedihan itu bukan kepura-puraan atau sekadar ikut-ikutan. Kesedihan karena akan kehilangan suasana menyenangkan menjelang berbuka saja, kesedihan karena tak akan ada lagi asyiknya reuni dan buka bersama.
Kualitas kesedihan itu sangat ditentukan oleh apa yang menjadi objek kehilangan. Kesedihan palsu segera tertutup dengan gegap gempita dan hura-hura Lebaran saja. Ramadan tidak bermakna apa-apa kecuali menunggu waktu pameran baju baru. Na’udzubillah.
*)Alumni Annuqayah Latee, pengajar di STIT Aqidah Usymuni, peneliti di elBina Jatim.