BATU – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut perempuan karir rentan menjadi sasaran pelaku kekerasan seksual. Setiap tahun, tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) meningkat. Karena itu, kasus tersebut menjadi salah satu atensi dari LPSK.
Koordinator Gerakan Sayang Perempuan Ojek Online Jaim Tri Desy mengatakan, perempuan sering kali menerima perlakuan tidak baik saat bekerja. Dia sering menerima keluhan dari perempuan sesama ojek online (ojol). Tidak jarang, mereka dirayu bahkan disentuh oleh customer.
Dalam kondisi tersebut, terkadang ojol perempuan kebingungan menghadapi customer. Ketika mereka melawan, customer mengancam akan melapor ke pusat. Dampaknya, ojol perempuan diputus sebagai mitra di tempat kerjanya.
”Ini sering teman-teman alami. Kita kan tidak bisa memilih customer,” ulasnya.
Kepala Biro Hukum Kerja Sama dan Humas LPSK Sriyana menyampaikan, korban kasus pelecehan seksual harus mendapatkan perlindungan dari negara. Apalagi, perempuan yang berjuang untuk menghidupi keluarganya.
Menurutnya, mereka sangat rentan menjadi sasaran korban TPKS saat bekerja. ”Ada juga perilaku yang tidak bertanggung jawab melakukan tindak pelecehan,” tuturnya.
Dijelaskan, saat ini sudah ada UU 12/2022 tentang TPKS. Regulasi itu menjadi perisai bagi perempuan yang bekerja. Aturan itu juga menjadi warning bagi seseorang yang berniat untuk melakukan TPKS.
Yana menambahkan, undang-undang menyatakan bahwa kekerasan seksual bisa dilakukan secara fisik dan nonfisik. Kekerasan seksual bisa berupa tindakan yang merendahkan martabat perempuan. Baik tindakan pelecehan dengan perbuatan fisik, kata-kata, dan kekerasan seksual lainnya.
”Artinya, ucapan yang mengandung pelecehan harus dipertanggungjawabkan,” terangnya.
Dijelaskan, ada perbedaan dalam konteks hukum perlindungan korban TPKS dengan tindak pidana yang lain. Satu saksi dengan satu alat bukti dan juga keyakinan hakim sudah bisa membuktikan proses pidana. UU mengatur bahwa polisi wajib memberikan perlindungan dan menerangkan hak-hak korban TPKS.
Kemudian, korban melakukan koordinasi dengan APH. LPSK juga memberikan perlindungan bagi korban yang mengalami TPKS. Termasuk pelecehan. Ketika sudah menjadi terlindung, LPSK akan memenuhi hak dasarnya. Misalnya menfasilitasi bantuan medis, psikologis, dan psikososial.
Yana menuturkan, ada beberapa hal layanan yang akan diberikan institusinya kepada terlindung. Jika terlindung mengalami trauma, LPSK akan memberikan layanan psikolog. Termasuk ketika kehilangan pencaharian, ada program psikososial.
”Nanti kami akan berikan bantuan biaya hidup sementara kepada terlindung,” ungkapnya.
Dia membeberkan, kasus TPKS yang ditangani LPSK cukup banyak. Bahkan, trennya semakin meningkat. Pelakunya paling banyak dari kalangan keluarga dekat. Kasus TPKS juga terjadi di dunia pendidikan.
Yana memaparkan, pihaknya juga memperjuangkan restitusi yang menjadi hak dan bisa didapatkan korban. Restitusi merupakan ganti rugi kepada korban yang diberikan oleh pelaku. Kalau pelaku tidak mampu membayar, maka akan dibayar negara dalam bentuk kompensasi.
”Ini bentuk pemastian hak agar korban tidak harus menunggu terlalu lama karena tidak ada kepastian dari pelaku mau bayar restitusi atau tidak,” paparnya.
Yana mengatakan, restitusi diajukan sejak menjadi terlindung LPSK. Nantinya, ada tim penilai dari LPSK yang menghitung bentuk kerugian yang dialami terlindung. Kerugian tersebut dihitung dalam bentuk rupiah. Hasilnya akan dikirimkan ke polisi supaya dicantumkan dalam BAP.
”Kalau dalam BAP tidak ada restitusi, perkaranya tidak bisa P-21,” tandasnya. (bil/yan)