KATA ”barokah” sangat populer melebihi apa yang bisa dipahami dari kata itu sendiri. Sehingga, kata ini begitu sakral dan rasanya tidak bisa diperoleh dengan cara biasa.
Imam Nawawi Jawi, konon, menjadi ulama alim karena selama belajar di Makkah senantiasa melinting rokok gurunya. Selesai belajar dari Makkah, dia pulang dan ”tiba-tiba” menjadi orang alim dan penulis kitab. Ini semua karena barokah gurunya. Sebab, Imam Nawawi selalu melinting rokok sang guru.
Ada juga santri yang setiap hari menjaga kuda kesayangan sang guru. Begitu pulang, santri ini ”tiba-tiba” bisa baca kitab kuning dan bisa paham isinya dengan baik karena barokah sang guru yang sangat berhubungan dengan ketekunan santri itu merawat kuda gurunya.
Bahkan, suatu ketika, teman saya di Bangkalan mengisahkan tentang santri Kiai Khalil yang sangat lugu, namun patuh. Kepada santri itu, Kiai Khalil berkata ”Bersihkan kebun salak ini”. Santri itu segera membersihkan kebun itu. Ketika Kiai Khalil datang dari undangan, terkejut melihat semua pohon salaknya lenyap.
Kiai Khalil memanggil santri tadi dan bertanya, ”Kenapa semua pohon salak saya lenyap dari kebun?” Santri itu dengan tersenyum menjawab ”Iya, sudah saya bersihkan, sesuai dengan titah Kiai”. Karena kejadian ini, Kiai Khalil menyuruh santri itu berhenti mondok dan pulang. Karena barokahnya Kiai Khalil, kata teman saya itu, orang tersebut menjadi ulama.
Dari semua peristiwa di atas kita bisa memperhatikan proses perolehan barokah yang tidak lumrah. Melinting rokok, merawat kuda hingga membersihkan pohon salak milik guru bisa membuat orang menjadi alim. Kita tahu, alim itu adalah orang yang punya ilmu. Ulama adalah orang yang menguasai ilmu agama secara luas. Bukankah ini proses yang tidak wajar jika melinting rokok, merawat kuda, dan menebang pohon salak bisa membuat orang pintar dan paham ilmu agama?
Proses yang wajar adalah dengan belajar. Semakin tekun belajar, maka semakin paham dan bagus keilmuwannya. Melinting rokok, berdasarkan proses yang wajar, bisa menjadikan orang ahli bikin rokok. Ketika pulang, dia bukan jadi orang alim, melainkan saudagar rokok atau bikin pabrik rokok.
Saya percaya barokah itu ada. Alquran sendiri menjelaskan tentang hal itu. Namun dari kisah barokah yang kita dengar, saya merasa ada pemotongan kisah dan penyederhanaan cerita sehingga bagian cerita yang merupakan proses yang wajar hilang entah ke mana.
Maksud saya, boleh jadi Imam Nawawi memang berkhidmat dengan melinting rokok gurunya, namun dia juga adalah pelajar yang giat. Bisa saja santri yang merawat kuda dan melenyapkan pohon salak adalah santri yang tekun muthalaah. Cerita seperti itu dihilangkan. Jika tidak dihilangkan, tidak akan menjadi kisah hebat. Tidak bernilai berita yang bisa disimak dengan ketakjuban.
Karena, bagaimanapun, kisah yang penuh tiba-tiba, seketika. dan serta-merta alias instan adalah kecenderungan semua manusia. Manusia itu ’ajula, kata Alquran, alias terburu-buru. Senang kepada hal yang tidak biasa. Sebab proses yang biasa, yang wajar, itu sulit dan jelimet serta kurang menarik.
Tersebarnya kisah tentang barokah seperti itu, kendatipun secara teoretis sesuai dengan kepentingan naluriah manusia, juga disebabkan banyak pelajar atau santri yang mendahulukan ilmu daripada pengabdian. Kisah ini ditujukan kepada santri agar mereka tidak hanya menyedot ilmu gurunya, namun juga harus berbakti kepadanya.
Persis dengan pemelihara sapi perah. Mereka tidak hanya mengambil susu sapi semau mereka. Mereka juga dengan sadar merawat sapi itu dengan bagus, diberi vitamin, dimandikan, kandangnya dibersihkan, bahkan bermalam-malam dijaga takut dicuri orang. Mereka memang butuh susunya. Namun mereka juga sadar, tanpa merawat sapi dengan baik, maka susu yang mereka peroleh akan sedikit.
Begitu pula santri yang menyerap ilmu gurunya. Dia harus berkhidmat kepada sang guru, baik dengan melinting rokoknya, merawat kudanya (boleh juga ”merawat” putrinya) atau membersihkan kebunnya, maka sang guru akan rida memberikan semua yang dia miliki. Termasuk doa-doa dan harapan baik kepada santri itu. Dari doa dan harapan baik ini, Allah kemudian mengabulkannya. Ketika santri yang bersangkutan pulang, ilmu yang dia peroleh bertumbuh dan diarahkan kepada kebaikan umat.
Itulah barokah. Bagaimana menurut Anda?
*)Alumnus Pondok Pesantren Bustanul Huffaz As-Saidiyah, Sampang.