Oleh M. H. Said Abdullah
BAGI pengarang, syair hanyalah tulisan yang tidak butuh melodi. Namun saat syair dinaikkan statusnya menjadi lagu, saat itu pula syair berubah jadi lirik dan diperlukan melodi sebagai alunan nada tinggi-rendah, yang membawa suasana untuk memperkuat pesan dari lagu. Karena kemampuannya sebagai instrumen pembentuk suasana lebih kuat, lagu telah menjelma menjadi bahasa penting bagi komunikasi massa.
Lagu adalah wahana universal. Lagu bisa menjadi jembatan warga lintas benua, namun lagu juga sebagai peneguhan ruang eksistensi, tak terkecuali bagi masyarakat di daerah. Kebanyakan lagu-lagu daerah, sangat konsisten menampilkan pesan atas jati dirinya. Karena ditujukan untuk menampilkan ”jati diri komunal”, biasanya lagu-lagu daerah susunan melodi dan pesan syairnya dibuat lebih sederhana.
Lagu-lagu daerah juga kental dengan penggunaan bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah ini memudahkan pesan dan makna lagu dipahami oleh warga di daerahnya, sebaliknya bagi masyarakat luar daerah, penggunaan bahasa daerah tersebut kian menegaskan eksistensinya. Dilemanya, lagu-lagu daerah tidak semua maknanya bisa dipahami oleh masyarakat luar daerah tersebut.
Walau begitu, banyak lagu-lagu daerah, terutama yang dikemas secara populer menjadi lagu-lagu hit, menasional, bahkan digemari di mancanegara. Siapa yang menyangka, lagu-lagu yang dikenalkan almarhum Didi Kempot, dengan lirik bahasa Jawa, dengan kemasan dangdut pop mampu menyihir belantika musik tanah air. Kita juga sepakat, gak mungkin ada yang menyangkal, lagu Cuma Par Ale yang dicipta oleh Mitha Talahatu pada 2016 silam adalah lagu yang enak dan populer.
Masih banyak lagu-lagu daerah yang berhasil memuncaki tangga nada lagu-lagu hit. Bisa jadi banyak orang yang tidak memahami pesan dari beberapa lagu berbahasa daerah. Akan tetapi, lagu telah mampu menjadi ”bahasa universal” yang mampu menggerakkan dan memberi energi meskipun secara sosio-kultural berbeda-beda.
Lagu-lagu daerah syarat penggambaran dan harapan masyarakat di daerah. Lagu-lagu daerah awet, tak lekang oleh waktu. Bahkan, beberapa lagu daerah tidak diketahui siapa pengarangnya. Saat ditelusuri lebih jauh, para orang tua hanya bisa menjawab itu turun-temurun, tanpa memberikan jawaban pasti sosok pengarangnya.
Musikalitas Madura
Kita perlu mengapresiasi kerja kultural oleh sejumlah penulis yang mengabadikan lagu-lagu Madura melalui Lembaga Pelestarian Kesenian Madura (LPKM). LPKM mendokumentasikan ratusan lagu-lagu Madura dengan membuat beberapa klasifikasi. Pertama, lagu daerah asli Madura; kedua, lagu rakyat gubahan; dan ketiga, lagu komponis Madura, dengan sebagian besar selaras dengan titian nada Madura.
Dari kajian yang dibuat oleh LKPM, dari 106 lagu daerah Madura, setidaknya ada 25 lagu-lagu Madura yang menampilkan citra diri komunal budaya Madura. Beberapa lagu itu antara lain Lir-saalir, Pa’-opa’ Iling, Caca Aguna, Les-balessan, Tandhu’ Majang, Es Lilin Cabbi, Kembangnga Nagara, Pahlawan Trunojoyo, Pacakang Alako, E Tera’ Bulan, Pajjar Laggu, Pajjar, dan Ngennes.
Lagu-lagu di atas, selain sangat akrab di telinga orang-orang Madura, beberapa di antaranya kuat di ingatan beberapa generasi atas popularitas lagu tersebut, seperti Lir–saalir, dan Tandhu’ Majang. Kedua lagu tersebut telah terkenal hingga tingkat nasional.
Lagu Lir-saalir menggema kembali saat peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-77 di Istana Merdeka. Tampak audiens yang melintas beberapa generasi tidak asing dengan lagu ini. Lagu yang diciptakan oleh Mahmud Yunus selintas terlihat sederhana seperti lagu percintaan pada umumnya. Namun bila kita resapi, sungguh syarat makna.
Lir-saalir syarat dengan pesan cinta dan kesetiaan memang benar. Namun, ada pesan cinta dan kasih sayang yang dibungkus dengan bait-bait yang lembut penuh metafora. Ini menandakan bahwa budaya leluhur kita menyiratkan tidak vulgar, hal itu sangat penting. Kehalusan budi sangat memberi makna bagaimana melontarkan pesan. Asumsi kita selama ini yang terpaku atas persepsi bahwa orang-orang Madura kasar, terutama dalam bertutur kata, sungguh dirobohkan oleh budi dalam lagu-lagu Lir–saalir.
Lain lagi dengan Lagu Tandhu’ Majang atau yang dikenal dengan lagu Ole Olang ini sangat terkenal diciptakan oleh orang Bangkalan bernama R Amiruddin Tjitraprawira, pada kisaran tahun 1940. Bayangkan, lagu ini jauh lebih tua dari usia republik ini, namun hingga kini lagu itu tidak lekang dimakan zaman. Musikalitasnya mampu hadir membawa semangat kebaruan zaman, dan pesannya sekuat batu karang.
Tandhu’ Majang sangat menggambarkan kegigihan, keuletan, dan semangat tanpa menyerah, sebagai simbol budaya kerja orang-orang Madura. Digambarkan dalam Tandhu’ Majang berbantal ombak, berselimut angin, hanya orang-orang yang tangguh dan berwawasan oseanografi yang cukup mampu seperti ini. Lagu ini menegaskan pesan dalam lagu nenek moyangku seorang pelaut.
Terlihat, musikalitas orang-orang Madura tidak bisa dianggap remeh. Rasa estetisnya menjalar ke mana-mana, memberi genre yang khas pada pentas lagu-lagu daerah yang naik daun menjadi lagi “abadi” nasional. Benih ini harus disemaikan, ditumbuhkan. Ragawi seniman boleh sirna, tapi karya-karyanya senantiasa dikenang sepanjang masa. Teruslah berkarya musisi Madura. (*)
)* Anggota Banggar DPR RI