DALAM perjalanan sejarah Indonesia, pesantren telah memainkan peranan besar. Dalam usaha memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan, membina akhlak mulia, dan mengembangkan swadaya masyarakat. Juga ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal, nonformal, dan pendidikan formal yang diselenggarakan.
Secara informal pendidikan pesantren telah berfungsi sebagai keluarga yang membentuk watak dan kepribadian santri. Pesantren juga telah melaksanakan pendidikan keterampilan melalui kursus-kursus untuk membekali dan membentuk kemandirian santri dalam kehidupan masa depannya sebagai muslim, dai, dan pembina masyarakat.
Pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan masyarakat dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan masyarakat. Sehingga keberadaan pesantren di Indonesia itu telah berperan menjadi potensi sangat besar dalam pengembangan masyarakat. Terutama masyarakat muslim lapisan menengah ke bawah.
Pesantren memiliki empat elemen dasar yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan berada pada suatu kompleks tersendiri. (1) Pondok. Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kiai. Umumnya kompleks pesantren dikelilingi pagar pembatas yang memisahkan dengan masyarakat umum di sekelilingnya, ada pula yang tidak berbatas. (2) Masjid. Dalam struktur pesantren, masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki pesantren. Sebab, ia merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih santri, khususnya dalam mengerjakan tata cara ibadah, pengajian kitab- kitab Islam klasik, dan kegiatan kemasyarakatan.
(3) Pengajian kitab-kitab klasik. Dalam tradisi pesantren, pengajian kitab-kitab Islam klasik lazimnya menggunakan tiga metode. (a) Sorogan, bentuk belajar-mengajar kiai hanya menghadapi seorang santri atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkatan dasar; (b) metode wetonan dan bandongan, sistem mengajar dengan ceramah. Kiai membaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu-waktu tertentu seperti sesudah salat Subuh atau Isya; (c) metode musyawarah, sistem mengajar dalam bentuk seminar untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan pelajaran santri di tingkat tinggi. Metode ini menekankan keaktifan santri. Santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku-buku yang telah ditentukan kiai. Kiai hanya menyerahkan dan memberi bimbingan sepenuhnya.
(4) Santri, jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolok ukur atas maju-mundurnya suatu pesantren. Semakin banyak santri, pesantren dinilai semakin maju. Santri ada dua macam. Santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah santri yang selama menuntut ilmu tinggal di pondok. Sedangkan santri kalong adalah santri yang tinggal di luar kompleks pesantren, baik di rumah sendiri maupun di rumah penduduk di sekitar pesantren.
Santri yang belajar dalam suatu pondok biasanya memiliki solidaritas dan kekeluargaan yang kuat. Baik antara sesama santri maupun antara santri dan kiai. Situasi sosial yang berkembang di antara santri menumbuhkan sistem sosial tersendiri. Di dalam pesantren santri belajar hidup bermasyarakat, berorganisasi, memimpin, dan dipimpin. Juga dituntut menaati kiai dan meneladani kehidupan dalam segala hal. Di samping harus bersedia menjalankan tugas apa pun yang diberikan kiai, dalam rangka memperoleh barokah dan ilmu yang bermanfaat.
Kita semakin sulit menemukan tempat yang masih belum sepenuhnya dimasuki tradisi Barat. Moh. Azizi sebagai koordinator pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Utara 2017–2018 mengatakan, ”Satu-satunya tempat yang masih kental dengan aroma islami adalah pesantren”. Sejarah mencatat, pesantren yang kini menjadi ujung tombak pendidikan di Indonesia banyak memainkan peran kunci. Ia mengantar bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Ulama-ulama pesantren juga mengukir prestasi luar biasa dalam menyusun dokumen penting bangsa sebelum Indonesia merdeka. Termasuk menyusun Pancasila, ikrar negara kesatuan, dan penyusunan UUD.
Selain itu, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari keberadaan pesantren. Seperti tentang pesantren menghargai perbedaan dan cara menyikapi keberagaman. Sampai saat ini, tidak ada konflik yang muncul dari dalam tubuh pesantren. Kemungkinan-kemungkinan konflik yang akan muncul dapat diredam hingga tak akan pernah timbul.
Semua itu merupakan nilai lebih pesantren. Pesantren memaknai keberagaman tidak dijadikan alat untuk menuai perpecahan. Akan tetapi, semua itu dianggap sebagai keniscayaan yang tak terbantahkan. Keberagaman dianggap sebagai nilai positif tersendiri karena bangsa ini terdiri atas berbagai ras, suku, dan etnis.
Itu menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Semua itu harus dijadikan salah satu khazanah yang dimiliki bangsa Indonesia. Karena itu, keberadaan pesantren tetap eksis sekalipun di luar banyak konflik berkepanjangan berlatar keberagaman. (*)
*)Ketua Perpustakaan Lubangsa Utara