DINAMIKA kehidupan manusia bak anah panah yang meluncur begitu saja. Tidak pernah mengerti ke mana akan dituju dan tak punya kehendak atas busur. Ke semua sisi anak panahnya telah dikonsep oleh busur. Begitulah sekadar analogi imajinasi Cak Nun perihal kehidupan manusia dalam usahanya menggapai asa. Semuanya harus tunduk di bawah kendali qada dan qadar Sang Pencipta.
Manusia kian mendamba sesuatu yang menjadi tujuan. Segala gerak yang dianugerahkan Tuhan sepenuhnya diaktualisasikan untuk memenuhi hajat hidupnya. Hingga kecanduan menggerakkan anggota badan terkadang membuat manusia terlampau apatis pada tuhan-Nya. Etos ukhrawi beralih ke etos duniawi. Padahal keriuhan dunia ini ”tak terlampau penting”, betapa sederhana, amat sederhana.
Manusia sendirilah yang membuat kehidupan dunia ini terlampau begitu penting. Segala yang artifisial dan superfisial di muka bumi ini beralih menjadi kepentingan yang dikejar sampai titik akhir. Akibatnya, manusia tidak lagi memikirkan nasib sesama manusia. Segala kepalsuan-kepalsuan dijadikan instrumen untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Tak berlebihan jika abad 20−21 ini oleh Cak Nun disebut sebagai abad Talbis. Sebuah abad ketika iblis berkostum dan ber-make-up wajah seperti malaikat (hlm. 55).
Di abad Talbis inilah manusia juga gemar bertransformasi diri untuk memperdaya sesama. Dimensi baik diburukkan, dimensi buruk dibaikkan. Surga diperkenalkan sebagai neraka, neraka diperkenalkan menjadi surga. Pahlawan dituduh pengkhianat, pengkhianat dituduh pahlawan. Segala aspek kehidupan sosial, budaya, ilmu pengetahuan, peta politik, ideologi bergelimang abad Talbis.
Manusia tidak lagi peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaannya. Hasrat duniawi terkadang membuat manusia terlalu pongah memunggungi orang-orang di sekitarnya. Manusia yang diberi mandat untuk menjaga negeri ini agar tetap bermartabat ternyata terlalu angkuh mengeksploitasi kekayaan bangsanya sendiri. Naluri kemanusiaan yang berperan untuk memelihara keutuhan, keseimbangan, keadilan, dan kebersamaan yang dapat dimanifestasikan dalam laku sehari-hari ternyata mampu dikalahkan oleh hawa nafsu.
Kiai Hologram hadir sebagai bentuk ikhtiar untuk merefleksikan segala gejala kehidupan manusia. Baik relasinya dengan sesama, tanah air, dan dengan tuhan-Nya. Adalah Dmitry Itskov, miliuner Rusia yang bercita-cita ingin membikin hologram. Dia ingin memergoki sesuatu yang selama ini tersembunyi, yakni sesungguhnya manusia hanya sesosok hologram.
Manusia hologram ini merupakan kritik terhadap Tuhan. Meskipun sudah menciptakan ”manusia hibrida baru” yang ”ahsanu taqwim”, manusia tetap saja kejam pada sesama, gila kekuasaan, maniak keduniaan, merusak bumi, dan menumpahkan darah, menipu, merekayasa, menjajah, menjebak memonopoli. Cita-cita Itskov adalah merevisi software atau jiwa manusia (hlm. 133).
Esai-esai Cak Nun juga mencoba mengajak pembaca menyelami kehidupan manusia yang mudah mengagumi, mudah menjatuhkan. Cepat mencintai dan dengan segera membenci. Viral secara instan, lalu menghilang dengan tiba-tiba. Semua yang kira transparan dan nyata bisa jadi semu belaka. Begitu sebaliknya.
Apalagi mereka tunduk di bawah bayang-bayang agama globalisasi. Demikian Cak Nun menyebutnya. Tuhan agama globalisasi menyebarkan kitab-kitab suci. Seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme, liberalisme, dan seterusnya. Ke semuanya bercampur padu hingga manusia menjadi candu pada ajaran kitab suci agama globalisasi tersebut.
Padahal manusia dikaruniai kesempurnaan akal untuk membangun kesadaran spiritual dalam jiwanya. Mereka diuji sejenak oleh Allah ditumpukan materi duniawi. Agar tidak hologram, manusia harus senantiasa melewati ujian kilau duniawi tersebut dengan cara memperbanyak laku tirakat. Inilah yang barangkali harus dilakukan pemimpin di negeri ini. Menguasai Indonesia dari berbagai macam penyakit sosial serta menyucikan jiwanya yang ringkih.
Ideologi negeri ini sebenarnya menjadi pandangan ampuh untuk mengatasi berbagai problem kebangsaan. Pancasila meletakkan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama. Karena yang di depan itu adalah kehendak Tuhan yang mengonsep seluruh kehidupan ini. Sedang sila kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diharapkan berperan sebagai khalifah yang bisa menjadi penuntun arah hidup untuk diimplementasikan dalam praksis kehidupan.
Tentu dalam hal ini, akan terjadi jika masyarakat Indonesia menjadi semacam Masyarakat Tahlil. Bagi Masyarakat Tahlil, melakukan tindakan terlarang di negerinya hanya akan membuat malu diri sendiri. Karena negeri mereka la ilaha illallah. Manusianya benar-benar manusia bukan hologram. Kesadaran spiritual memancar di mercusuar kerinduan dengan sang kekasih. Mereka dengan suntuk mengerjakan sesuatu yang diperintah Allah tanpa pamrih duniawi. Gemerlap kilau duniawi sama sekali mereka tidak hiraukan.
Esai Cak Nun dalam Kiai Hologram merangkap secara halus menyadarkan kita untuk senantiasa tetap berada dalam poros kemanusiaan. Agar tidak seperti hologram, manusia harus senantiasa menyayangi dan mengasihi sesama manusia demi tercapainya era kemajuan bagi suatu bangsa. Tidak mengedepankan ego demi pemuasan hasrat duniawi, merupakan ihwal terpenting yang harus dilakukan.
Kehalusan bahasa yang gunakan membuat beberapa tulisan sulit dimengerti dan membutuhkan ruang sunyi untuk mengeja tulisannya yang kaya renungan kontemplatif guna mengevaluasi diri kita yang semakin hari seperti hologram. Buku ini hadir di tengah-tengah manusia yang dahaga akan nilai-nilai kemanusiaannya. Bisa jadi buku ini semacam momentum untuk mengevaluasi perilaku kita. (*)
MUHAMMAD GHUFRON
Arsiparis di Perpustakaan PP Annuqayah Lubangsa