Sengketa lahan antara warga dengan negara itu sudah biasa. Di Madura, yang kerap terjadi adalah masalah lahan lembaga pendidikan. Tidak sedikit warga yang mengaku ahli waris menutup aktivitas sekolah.
DARI sekian masalah sengketa lahan, saya mencermati beberapa hal. Pada intinya, selama ini kita mengabaikan legalitas bukti kepemilikan. Asal mau sama mau, barang dilepas.
Dulu, sebagian orang dengan senang hati mengikhlaskan hartanya dimanfaatkan untuk kepentingan umum dengan harapan dapat aliran pahala. Lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan agama. Termasuk bidang tanah untuk dibangun sekolah. Namun, ikhlas saja tidak cukup jika tanpa berkas sebagai bukti legalitas.
Orientasi pikiran manusia berubah. Dulu, serah terima lahan itu tidak dibuktikan dengan sertifikat, foto, atau bukti lain untuk memperkuat pemindahtanganan. Selama pemilik itu masih ada, aman. Tidak ada gugatan. Namun, ketika si pemberi mati dan meninggalkan keturunan, orientasi mereka belum tentu sama. Beda masa beda cerita. Lain orang lain karangan.
Tidak sedikit ahli waris yang menggugat pemerintah selaku pengelola pendidikan yang membangun gedung sekolah di lahan milik leluhurnya. Berbagai alasan dilontarkan. Mulai dari tukar guling tak jelas, pemberian atau jual beli tapi tanpa bukti, serta janji-janji. Salah satu janji versi mereka, ahli waris akan diangkat jadi pegawai di sekolah yang dibangun. Atau janji lain.
Pemerintah tidak berkutik ketika rang-orang yang mengaku ahli waris menuntut. Sebab, pemerintah memang tidak punya bukti untuk memperkuat legalitas lahan. Akibatnya, ketika sekolah disegel, kegiatan belajar mengajar (KBM) terganggu. Siswa harus mengungsi ke rumah warga atau membangun gubuk bambu beralas tanah beratap seng bekas.
Betapa banyak aset yang katanya milik pemerintah belum disertifikat. Di sisi lain, tidak sedikit juga aset yang katanya milik pemerintah terbengkalai, hancur, dan penuh semak belukar. Termasuk aset yang katanya milik perusahaan negara, yakni badan usaha milik negara (BUMN).
Pemerintah mendorong masyarakat tertib aset. Misalkan melalui program nasional agraria (prona) hingga pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Program bagus, meski selalu diwarnai riak pungli. Katanya, salah satunya untuk beli patok batas. Betapa banyak tanda patok di desa penerima program ini. Patok tanah Anda ada berapa dan di mana?
Selain legalitas, masalah lain terkait pemeliharaan aset. Kita tahu negara punya banyak aset mubazir. Termasuk milik BUMN. Sebut saja aset PT Garam (Persero) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) di Madura. Sepanjang jalur rel telah berdiri banyak bangunan tempat tinggal atau tempat usaha. Ada pula yang kena atau jadi jalan aspal.
Di sepanjang jalur rel itu memang banyak tanda bahwa itu aset PT KAI. Namun, banyaknya bangunan di atas rel itu menunjukkan tidak ada pengawasan dan perlindungan aset. Selama ini terkesan ada pembiaran bangunan tumbuh subur. Atau, ada pihak yang mendapat keuntungan dari para pemilik bangunan itu?
Bisa jadi orang mendirikan bangunan di atas lahan yang bukan miliknya karena terpaksa. Tapi, bisa jadi karena rakus ingin menguasai. Bisa jadi juga karena ada aktor yang menjamin bahwa boleh mendirikan bangunan di tempat itu dengan syarat. Baik itu perjanjian resmi dalam bentuk sewa untuk jangka waktu tertentu dan dibuktikan dengan surat kontrak atau apalah namanya.
Atau, jangan-jangan ada pihak yang sok menjadi pahlawan sebagai pelindung pangguna lahan bila ada yang mencoba mengganggu. Tentu jaminan dan perlindungan ini mungkin tidak gratis.
Dugaan yang terakhir ini yang akan memicu masalah lain ketika pemilik aset akan memanfaatkan kembali. Warga sebagai pemilik bangunan bisa jadi akan mengaku telah bayar upeti. Tapi, di perusahaan justru tidak tercatat.
Masalah itu akan muncul karena pembiaran berlarut hingga menjadi penyakit akut. Mungkin tidak ada upaya pencegahan selain hanya memasang plakat informasi kepemilikan aset. Seperti upaya pencegahan agar warga tidak membangun bangunan apa pun di lahan yang bukan milik sendiri. Faktanya, banyak bangunan permanen berdiri yang mengindikasikan aset itu memang dibiarkan seolah tak bertuan.
Pemerintah beserta BUMN pemilik aset dan pihak terkait harus hadir di tengah masyarakat. Sampaikan kepada mereka tentang kepemilikan aset dan larangan pemanfaatan tanpa izin pemilik. Gandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk terlibat. Didik dan dampingi masyarakat agar tidak ngembat lahan yang memang bukan haknya.
Mereka yang selama ini membangun di atas aset negara juga harus sadar itu bukan haknya. Harus menerima kenyataan jika suatu saat akan diambil atau dimanfaatkan oleh pemiliknya. Semoga kita kaya agar mampu beli aset tanpa harus membangun di atas lahan orang lain.
Kita tentu tidak ingin sengketa lahan yang kerap berujung penyegelan dan penggusuran terus terulang. Karena itu, mari introspeksi diri untuk menjaga dan merawat hak sendiri sekaligus tidak mengambil milik pihak lain, meski kadang kata orang milik tetangga lebih menggoda. (*)
*)Pemred Jawa Pos Radar Madura